Seorang siswa kemeja putih yang keluar dari celana biru dongkernya melipir ke halaman belakang sekolah SMA Dharma Wijaya. Rambut hitam- nya nampak acak-acakan. Tidak ada badge nama di kemejanya. Yang ada hanya badge sekolah ternama SMP Dirgantara terpasang di sisi lengan kanan berlatar merah.
Suara bel masuk terdengar. Alih-alih masuk, untuk mengikuti kegiatan MOS lagi, dia justru mengeluarkan rokok dari kemeja sakunya. Dengan cuek, di selipkannya di antara bibir. Cicin asap mengudara di sekitarnya.
Gasta—pemuda itu memejamkan matanya sebentar. Tiba-tiba senyum tipisnya perlahan tersungging, ketika di benaknya terlintas wajah seseorang. Fikirannya hanya berhasil tertuju padanya. Pada gadis cantik berpipi agak bulat yang tingginya sedagu Gasta, dengan kulit putih dan wajah cantik. Gadis yang berhasil menarik perhatiannya di bus kala itu. Mata bulat dengan pipi gembul yang menggemaskan itu sering tertawa dan gampang sekali mengakrabkan diri. Bertanya ini itu. Senyumnya membuat Gasta gugup. Gasta akui itu.
Aneh rasanya. Baru kali ini pemuda itu merasa sebahagia ini. Melihatnya berlari di lapangan tadi, dan menjadi pusat perhatian banyak cowok, Gasta seolah tidak rela. Awalnya, dia sempat ragu untuk mendekat, takut jika gadis bernama Denta itu melupakannya. Jujur saja, sebenarnya Gasta tidak benar-benar di hukum tadi. Pemuda itu hanya sengaja, mencari cara agar Denta melihatnya di sekolah ini. Dan benar saja, gadis itu masih mengingat nya.
Dulu, setelah pertemuan mereka di bus, Gasta sempat datang ke Ganesha Utama. Niatnya ingin bertemu Dicky—teman satu SD-nya. Tapi Gasta justru bertemu dengan Denta. Dia sudah berniat mendekat kala itu, ingin menyapa. Firasatnya mengatakan, gadis itu pasti masih mengingat dirinya. Gasta ingat, ketika gadis itu mengatakan pertemuan mereka adalah takdir. Anehnya Gasta merasakan jantungnya berdebar-debar seolah tidak mau berhenti. Satu hal yang dia tau, dia sudah jatuh cinta pada pesona gadis yang sering dia ibaratkan gadis bus, mengingat dia tidak tau namanya.
Namun, Gasta tak jadi melangkahkan kakinya, saat sosok pemuda tampan melangkah mendekati gadis itu. Sosok itu memiliki kulit yang putih dan tinggi yang setara dengan cowok pada umumnya. Tidak sejangkung dirinya. Membuat Gasta menarik diri, merasa tidak yakin. Di benaknya sudah berfikir bahwa akan percuma jika gadis itu masih mengingatnya. Dia sudah memiliki pacar. Tapi seolah memang di takdirkan, dia kembali bertemu dengan gadis itu di SMA, Gasta jadi kembali memperhatikannya. Membuat Gasta yakin jika dia tidak akan mengulang kesalahan yang dulu, menarik diri dan tidak yakin pada dirinya sendiri.
Sampai suara derap langkah mendekat membuatnya menoleh kesal karena ketenangannya terusik. Empat orang siswa--berpenampilan biasa, atau bisa di katakan memenuhi aturan dan tidak berantakan, datang menghampirinya. Gasta bisa melihat, keempatnya sempat saling dorong dengan agak gemetar tadi. Sebelum akhirnya memutuskan untuk berdiri di dekat Gasta. Seingatnya, mereka berempat adalah teman satu gugusnya di MOS.
"Ada apa?" Begitu selesai bertanya, dia kembali menghisap rokoknya.
"Lo...ngerokok?" tanya pemuda bergigi kelinci dengan mata yang melebar sempurna.
"Ini di sekolah. Emangnya boleh ngerokok?" sambar pemuda yang bertubuh tinggi.
"Kenapa? Mau ngadu?" tanyanya sinis, kembali menghisap rokoknya, “Aduin aja,” lanjutnya masa bodoh.
"Eh enggak!!" ralatnya cepat.
"Kami di sini mau bilang makasih. Tadi, lo udah bantuin kami pas mau di hukum sama OSIS. Sampai rela baku hantam sama KETOS-nya," oceh pemuda berkulit putih.
"Sorry! Gue sama sekali nggak ada niat bantu kalian," balas Gasta setengah sinis, “Lagian gue nggak kenal kalian,” sambungnya tak bersahabat.
Empat pemuda berkepala plontos itu bergeming. Yahh, Gasta mungkin tidak mengenal satu pun dari mereka. Namun, mereka berempat mengenal cowok ini dengan baik. Ayolah, siapa yang tidak kenal Gasta Nismara Alvredo? Hanya dia satu-satunya siswa yang tidak mau di plontos rambutnya. Satu-satunya siswa yang selalu mangkir dari perintah OSIS. Bahkan dengan sengaja, membawa mobil sport pribadi ke sekolah, padahal untuk anak kelas sepuluh apalagi yang baru MOS, sangat di larang. Dalam garis besarnya, tidak di perbolehkan.
"Tetep aja lo ud—“
"Lo b***k?" Potongnya, menghentikan ucapan pemuda bertubuh kurus.
"Meskipun lo kukuh bilang kalau nggak niat bantuin kami, tapi kami tetep kukuh mau berterimakasih sama lo," ujar pemuda bertubuh jangkung sungguh-sungguh.
"Terserah," balas Gasta datar.
"Mm, lo Gasta Nismara Alvredo kan? Btw, kita satu gugus MOS.”
Pertanyaan itu sama sekali tidak di gubris oleh Gasta. Wajahnya masih sama, tertata datar seperti tadi, membuat ke empat pemuda itu hanya tersenyum sabar. Mereka tau, bahwa pemuda di depan mereka ini, memiliki sifat yang keras kepala, teguh pada pendirian dan pemberontak. Tapi mereka yakin, dia cowok yang baik.
"Gue Sandy. Di sebelah gue Alex, dan dia Nugraha. Yang paling ujung Leo," katanya memperkenalkan diri, tapi Gasta masih belum juga tertarik. Jangankan menyahut, melirik saja sudah ogah. Dia lebih mementingkan nyebat rokok.
"Oh ya," sambung Sandy, membuat Gasta kali ini melirik sekilas.
"Apalagi?" sahut Gasta terdengar ketus.
"Kami mau temenan sama lo,” katanya terdengar tulus.
Gasta melengos, enggan peduli sama sekali. Tidak merasa tertarik dengan namanya teman lagi. Apalagi sahabat. Dia sudah pernah percaya sahabat, tapi kini dia di tinggalkan.
“Pergi lo semua, gue nggak perlu temen,” sinisnya.
“Mau lo nolak kayak apapun, kami tetep bakal mau jadi temen lo,” ujar Sandy di angguki cepat oleh yang lain.
Sandy tersenyum sekilas, agak merasa kesal ucapannya tidak di gubris sama sekali oleh Gasta, "Tadi...gue lihat lo di lapangan, lari-lari bareng sama Denta," ujar Sandy seolah memancing.
Dan berhasil. Gasta langsung menoleh sepenuhnya pada pemuda berambut plontos dengan rahang tegas itu. Raut wajah Gasta seolah bertanya, kenapa pemuda ini bisa mengenal Denta.
"Tau darimana lo, kalau dia namanya Denta?" tanya Gasta penasaran, membuat Sandy terkekeh kecil, sementara Gasta semakin mengeryit tidak mengerti.
"Gimana gue nggak kenal? Dia adik sepupu gue," katanya, membuat Gasta langsung tersentak kaget, "Lo naksir dia?" tanya Sandy dengan seringaian tengilnya.
Gasta melengos keras, "Bukan urusan lo," sahutnya ketus.
Sandy mengangguk-anggukan kepala seolah mengerti, "Gue tau lo serius naksir sama dia,” katanya serius.
“Nggak usah sok tau lo,” sengit Gasta.
Sandy tertawa pelan, “Sok tau gimana, orang jelas-jelas gue lihat lo berani panas-panasan Cuma buat kasih dia topi dan nemenin lari biar dia nggak malu lari sendirian di lapangan,” katanya dengan gaya tanpa beban, “Lo juga kelihatan nggak terima pas lihat dia lari sendirian dan di lihatin banyak kakak kelas.”
Leo—si cowok keturunan China itu ikut menyeringai, “See? Elo naksir sama Denta,” katanya sok tau, membuat Gasta mendecak malas, “Nggak aneh sih, dia emang cantik. Bahkan hari pertama MOS, dia udah di gilai banyak cowok.”
“Saingan lo banyak Gas,” timpal si gigi kelinci, “Nggak Cuma anak seangkatan, bahkan bosgeng sekolah yang sekarang, katanya juga lagi ngegebet Denta.”
Si cowok kurus dengan garis wajah lembut mengangguk membenarkan, “Bahkan rumor-rumornya, dia yang jadi kandidat utama calon ratu MOS tahun ini,” katanya tanpa beban.
“Tapi...gue harap lo mau ngerti. Dia udah punya cowok. Cowoknya bukan anak sini,” ucap Sandy dengan pembawaan masih tenang dan santai.
Gasta diam. Merapatkan bibir sejenak tanpa menatap Sandy.
Pemuda itu mengangguk pelan sekali, seolah mengerti, “Gue udah tau,” jawabnya singkat.
Memang, apalagi yang dia harapkan?
Denta membalas perasaannya? Atau Denta jadi kekasihnya?
Ayolah, dia dan Denta baru mengenal dan itu belum lama. Bahkan Gasta rasa ini terlalu cepat untuk dia menyukai seorang gadis setelah Melody.
***