02 | Bertemu Kembali Di SMA

2218 Words
Pagi itu, udara di Jakarta sangat panas. Matahari sudah sangat terik-teriknya, padahal sekarang baru jam tujuh lewat. Gasta, pemuda tampan itu mendecak malas, terpaksa harus menutup bagian atap mobil sport-nya yang tadi sengaja di buka, tapi kini terpaksa di tutup karena kulit putihnya terasa terbakar matahari. Mobil SLK sport warna putih yang di kemudikan Gasta terus melaju cepat, dalam keheningan. Membelah jalanan ibukota yang ramai lancar pagi ini. Melewati bangunan-bangunan tinggi bertower yang menuding angkasa, berpadu mesra dengan langit seolah menyapanya. Sambil menyetir, sejenak Gasta melepaskan dua kancing teratas kemeja putihnya. Merasa kegerahan. Bahkan dia melempar dasi berwarna biru dongker khas SMP ke kursi samping. Hari ini, adalah hari pertama MOS SMA. Tapi rasanya dia masih belum puas menikmati liburan kemarin. Bermesraan dengan kasur dan PS kesayangannya. Bahkan, dia tidak mengenakan atribut MOS sama sekali, seperti yang di perintahkan. Dia hanya membawa satu ransel, satu buku, dan satu bolpoin. Iya, dia benar-benar tidak niat sekolah. Gasta mengumpat sesaat, ketika ada pengendara motor yang melanggar rambu lalu lintas, nyaris saja dia tabrak, untung tidak jadi. Bisa panjang dan ribet urusannya. Sambil mengunyah permen karet, Gasta memutar setirnya ke kiri, menuju jalan Panglima Polim, dimana sekolah barunya berada. Melewati pertokoan elite di kanan kiri jalan. Namun, saat hampir sampai di depan gerbang megah SMA Dharma Wijaya, cowok itu menginjak remnya mendadak. Memicingkan mata saat melihat sesuatu. Jarak mobil Gasta dengan gerbang sangat dekat. Tapi karena ingin melihat lebih jelas, akhirnya, dia memilih menurunkan kaca mobil, dan melihat siapa gadis yang baru turun dari CBR warna biru itu. “Yey alhamdulillah, gue ada temennya telat, huhuhuhu,” riang cewek itu berlari, setelah melompat dari CBR warna biru yang di kemudikan seorang laki-laki dewasa. Sudah pasti itu ayahnya. Cewek itu terlihat sedikit kesusahaan membenarkan tas kardusnya dan juga topi karton warna pink di kepalanya. Gadis cantik berkuncir dua itu, langsung melesat menghampiri gadis jangkung yang dari tadi sudah ada di depan gerbang. Gadis satunya yang agak macho itu nampak meruntuk kecil, memandang gerbang depan dengan perasaan cemas. Sepertinya cewek itu juga telat hari ini. “Loh, tuh cewek yang waktu itu, kan?” kata Gasta yang tanpa sadar wajahnya jadi merekah senang, “Dia sekolah di sini juga?” lanjutnya dan terus memperhatikannya. “Eh mbak, anak baru juga, kan? Telat juga ya?” tanya Denta cengengesan dari balik punggung si cewek macho itu. Jelas Gasta bilang cewek itu macho, karena dari potongan rambut dan gelang hitam di tangannya, kelihatan sekali cewek itu tidak ada tampang feminim sama sekali. Berbeda dari gadis yang dia temui di bus hari itu. Gadis dengan nametag Ivon Melenia itu menoleh, sedetik kemudian mendesah lega, “Iya, nih. Kesiangan bangun. Dari SMP mana?” tanyanya mencoba ramah. “SMP Ghanesa Utama. Lo?” balas Denta ramah, membuat Gasta yang memperhatikan jadi tersenyum tanpa sadar. Ternyata cewek itu memang eassy going dan gampang berteman. Padahal di awal pertemuan mereka, Gasta merasa gadis itu sangat mengganggu karena berisiknya minta ampun. “Gue dari Bandung,” balas cewek itu agak canggung. Denta mengangguk paham, “Eh, bisa tolongin gue nggak? Tolong fotoin dong! Agak jauhan ya, biar kelihatan gerbang depannya heheh,” ujar Denta sambil nyengir kuda, “Harus yang bagus ya!” pesannya dengan riang. Gasta yang mendengar itu jadi mendelik dan ternganga kecil melihat tingkah ajaib cewek itu. Udah telat, masih sempat-sempatnya mau foto. Narsis sih, tapi kok lucu, ya? Gemesin banget. Gasta jadi tersenyum gemas tanpa sadar. Ivon meringis kecil, walau sebenarnya tidak tahan untuk tidak menghujat gadis aneh ini, “Perasaan kita udah telat, deh. Mending kalau kita mohon-mohon ke satpam supaya dibukain gerbangnya. Kenapa malah minta foto?” tanyanya kepada Denta. Untung ini adalah pertemuan pertama mereka, sehingga Ivon belum mau ngeluarin taring dulu. Mau jadi kalem untuk sementara waktu. Dengan rauit wajah tanpa dosa, Denta mengibaskan tangan santai, “Halah, nggak papa. Nanti aja habis fotoin gue. Lagian ini moment sekali seumur hidup, ye kan? Mau gue kasih lihat ke bokap gue. Opa, oma gue di Belanda, pasti juga udah nungguin gue kirim foto ke mereka,” tutur Denta bangga, dan Ivon pun pasrah mengikuti perintah Denta. Sementara cewek itu mulai berpose dengan banyak gaya. “Maju dikit, maju dikit. Nah-nah cakep,” kata si cewek yang motoin. Denta kemudian mengubah pose menjadi sok imut, dengan dua jari terangkat lalu meringis kecil. “Udah cantik belum gue?” tanya Denta dengan ekspresi wajah sok hot, membuat cewek yang motoin agak tertawa pelan, “Harus yang pas loh, biar badan gue kelihatan semok.” Gasta di dalam mobilnya tak tahan untuk tak meledakkan tawanya pelan, ketika Denta mengatakan dirinya semok. Padahal cewek itu sangat kurus, padahal dia itu tergolong gadis yang tinggi. “Woy, anak baru! Malah foto-fotoan lagi. Udah telat juga.” Tiba-tiba, seorang siswa beralmamater OSIS datang membuka gerbang, dan langsung menyemprot keduanya dengan galak. Mata kedua siswi kompak berbinar senang. Padahal tadinya mereka sudah berpikir, tidak akan bisa mengikuti kegiatan MOS di hari pertama. “Masuk cepetan!” kata si ketos itu jutek. Ivon dan Denta mengangguk sopan, “Siap kak.” Keduanya pun langsung mengekori si ketos. Meski kini justru keduanya sibuk bisik-bisik, heboh sendiri. “Ketos-nya ganteng ya. Sayang banget gue udah punya pacar,” kata Denta sudah kecentilan sendiri. “Kalau belum, pasti udah gue sepik duluan deh. Eh, ngomong-ngomong, cowok gue anak Cendrawasih loh. Dia satu angkatan sama kita juga. Namanya Azka,” katanya langsung curhat, sementara Ivon hanya mendelik sensi dibuatnya, “Ganteng loh anaknya. Iyalah, mana mungkin cowok gue jelek, heheh.” Gasta masih di mobilnya, dan tetap betah memperhatikan punggung Denta yang menjauh. Diam-diam tertawa pelan, melihat si ceriwis itu terus nyerocos berbicara, dengan raut wajah yang menggebu-gebu heboh. *** Sial. Itulah kata yang sedang menggambarkan keadaan Denta sekarang. Sudah terlambat di hari ke- tiga MOS, sampai di sekolah, dia juga kelupaan membawa atribut MOS sesuai ketentuan yang di minta OSIS. Di hari pertama, dia juga terlambat sebenarnya, tapi masih di beri toleransi sama OSIS. Berbeda dengan hari ini. Terlebih dia nggak Cuma terlambat, tapi lupa bawa atribut segala. Atribut itu sendiri mulai dari topi bola, kalung peserta berisi tanda pengenal diri, sampai kaos kaki beda warna Denta juga kelupaan. Bersyukur dia tidak lupa memakai baju sekarang. Tidak lucu jika dia harus telanjang di depan umum. Dia bahkan yakin kalau hidungnya tidak menempel, pasti kelupaan juga. Jadilah sekarang, Denta menjadi bulan-bulanan senior. Cewek itu di suruh berlari mengelilingi lapangan sebanyak tiga putaran. Siang- siang bolong di saksikan ratusan mata siswa, cewek berseragam kemeja putih dan bawahan biru dongker itu terus berlari. Menahan malu serta tatapan mengejek para senior cewek. Berbeda lagi dengan para cowok yang justru bersiul-siul menggodainya. Sejak hari pertama MOS—banyak seniornya terutama siswi—yang terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya kepada Denta. Pun dengan siswanya yang kentara sekali menampakkan ketertarikan. Di pinggiran lapangan outdoor, ketiga temannya mulai dari Dira, Gista dan Ivon sudah berdiri, sembari terus berteriak menyemangatinya. Mereka adalah teman-teman barunya di sini. Sebenarnya dengan Gista, dia sudah lama cukup akrab meski berbeda SMP. Mengingat gadis itu adalah tetangga Azka--pacar nya satu tahun setengah ini. Sementara dengan Ivon dan Dira, Denta mengenal mereka, di hari pertama MOS dan langsung akrab saja. Meski Denta akui, Ivon adalah cewek yang macho dan cuek, namun dia mudah mengakrabkan diri. Beda halnya dengan Dira yang dasarnya punya mulut nyablak dan gampang membaur, sama sepertinya. "Semangat Nta!! Anggap aja lo lagi ngejar oppa Sehun! Okay sista??" teriak Dira dengan suaranya yang cempreng. "Oke boskuhhh," balas Denta berusaha untuk menampilkan senyum terbaiknya. Hiks. Padahal dia mau nangis saja rasanya, karena menjadi bahan tontonan seperti ini. Mulai dari teman seangkatan sampai kakak kelas. Malu nya itu loh, bukan main. Apalagi Sandy—sepupunya ikutan melihatnya di hukum sekarang. Wajahnya begitu sengak membuat Denta gemas sekali ingin melempari wajahnya dengan sepatu. Namun, ketika di putaran kedua, terdengar suara teriakan yang cukup riuh dari berbagai lantai. Denta bisa melihat ke gedung sekolah dimana para murid yang di d******i cewek berteriak histeris ke lapangan. Dia awalnya berfikir, bahwa mereka kesurupan massal atau gimana. Tidak tau saja jika ada orang yang memicu keriuhan ini. Namun, Denta melengos tidak peduli, dan tetap melanjutkan lari siangnya. Sampai dia terkejut, ketika seorang cowok jangkung tiba-tiba menyamai langkahnya. Pemuda itu jelas siswa baru, mengingat seragam yang dia pakai masih seragam SMP. Apalagi papan nama yang menggantung di lehernya, semakin menegaskan bahwa dia adalah murid baru, sama sepertinya. Yah, cowok itu berlari bersama Denta, membuat gadis itu merasa tidak malu sendirian sekarang. Awalnya, Denta tidak berniat untuk mendongak, melihat wajah pemuda itu, sampai sesuatu menyentuh kepala Denta, membuat gadis tersentak kaget selama beberapa detik lamanya. "Pakai!" Pemuda itu memakaikan topi putih miliknya di kepala Denta, membuat gadis itu reflek melirik kepalanya sendiri. "Eh tapi kan ini topi elo," kata Denta sambil melepaskan topi yang masih nangkring di kepalanya. "Pakai aja!" suruhnya, membuat gadis itu tanpa sadar tersenyum. "Beneran? Makasih ya bro," katanya cengengesan, kembali memakai topinya di atas kepala. Lumayan, seenggaknya wajah Denta tidak terbakar sinar matahari yang terik ini. Gadis itu masih tersenyum, melihat pemuda yang masih berlari di sebelahnya. Tadinya gadis itu tidak merasa aneh sama sekali, sampai beberapa detik lamanya dia baru tersadar. Mata nya sontak saja melebar dengan mulut menganga. "Loh, elo yang waktu itu kan? Yang di bus?" tanya Denta nyaris tidak percaya, akan bertemu pemuda ini lagi. Gasta melirik, sedetik kemudian dia nampak mengangguk dengan bibir yang terus merapat. Dia menyeka keringatnya sebentar, melanjutkan lari siangnya. "Ihhh bener ternyata," kata gadis itu bersorak kegirangan, membuat Gasta jadi ikut tersenyum melihatnya. Walau sangat singkat sekali. "Makasih loh ya buat topinya! Baik banget, heheh. Eh, nama lo siapa, sih?" tanyanya jadi penasaran, karena saat itu belum kenalan. Gasta langsung memperlihatkan kalung yang berisi tentang data dirinya, tanpa berniat untuk membuka mulutnya sama sekali. Nama : Gasta Nismara Alvredo. Kelompok : Elang Hitam "Oh, jadi nama lo Gasta. Kalau gue Denta," seru Denta. Gasta hanya mengangguk singkat sebagai jawabannya. "Asli, gue baru tau loh kalau kita satu sekolah. Ahh, kemarin-kemarin gue kemana aja ya?" celoteh Denta, sambil terkekeh dan terus berlari, "Ngomong-ngomong, sejak kapan lo tau kalau gue masuk sekolah ini?" katanya lagi. "Kemarin." "Kemarin? Pas kapan? Kok lo nggak nyapa gue sih?" cerocosnya. "Di kantin." Gasta ingin menyahut jujur jika dia sudah melihatnya sejak hari pertama, tapi malu. Pasti Denta bakalan mikir kalau Gasta ngikutin dia beberapa hari ini. "Oh, pasti waktu gue adu mulut sama kakak kelas itu ya? Yah. Ketauan banget dong ya kalau gue itu bar-bar," kata Denta sambil terkekeh geli. Kemarin siang Denta memang sempat beradu mulut dengan siswi angkatan kelas dua belas, yang mengatai Denta pelakor gara-gara Julian--siswa kelas 12, yang tak lain bukan adalah pacar si cewek medusa itu, mendekatinya. Padahal kan, Denta tidak berniat merebut. Toh ketika Julian meminta nomornya, dia tidak memberinya. Lagipula, Denta sudah memiliki Azka. Buat apa repot-repot memberikan nomornya pada cowok lain, jika bukan untuk keperluan yang penting. Sampai kemarin adu jambak antara Denta dengan gadis itu tak terhindar kan lagi. Yang satu nyolot, yang satu lagi tidak mau kalah. Bersyukurnya Denta, dia memiliki porsi tubuh yang menjulang, sehingga dengan mudah mengalahkan kakak kelasnya itu. Dia fikir, mentang-mentang Denta masih junior bakalan kalah gitu? BIG NO. "Gue di katai pelakor. Padahal, pacar itu cewek aja yang deketin gue. Gue mah enggak. Lagian cowoknya juga jelek kok, serius deh," katanya padahal tidak di tanya. "Ngomong-ngomong, lo di hukum kenapa? Perasaan lo udah pakek atribut lengkap deh, kecuali topi sih. Topi bola lo kemana emang?” kata Denta meneliti penampilan Gasta dari ujung kepala sampai kaki. “Di tas.” "Terus, alasan lo di hukum kenapa? Pasti lo bandel ya? Atau—lo nggak ngikutin perintah OSIS makanya di hukum,” tebak Denta. "Iya,” balasnya kalem. "Tuh kan. Gue kesel deh sama senior di sini, apa-apa mainnya hukum. Sok berkuasa banget. Awas aja, kalau udah nggak MOS bakal gue bantai mereka," gerutunya sebal. "Bawel ya?" "Siapa?" "Elo." Bukannya mengamuk, Denta justru nyengir kuda merasa yang di katakan Gasta memang benar adanya. Sudah Denta duga, dia cowok yang baik. Meskipun wajah tampannya selalu tertata datar, dan sorot matanya terkesan cuek. Suara Gasta juga mahal sekali. Dia begitu dingin seperti es batu kantin. Oh iya, berlari bersamanya, membuat rasa malu Denta menguar entah kemana. Bahkan kalaupun memutari lapangan sampai sepuluh kali, dia yakin pasti tidak akan terasa kelelahan. Denta bahkan baru sadar, jika lapangan outdoor jadi ramai oleh para siswi yang menonton sekarang. Denta yakin, rata-rata dari mereka pasti pada berniat buat cabe-in Gasta. Siswa baru angkatan kelas sepuluh, yang memiliki paras yang tampan rupawan. "Ihhhh, Rose Blackpink nggak kuku nggak nana ngeliat yang ganteng gini." Itu suara Gista yang terdengar sudah kecentilan bukan main, karena melihat Gasta dari pinggir lapangan. "Ekhem-ekhem, sejak kapan tuh temen gue deket sama pangeran-nya MOS? Curiga deh gue!" kata Dira sambil batuk-batuk manjah. "DENTA MAH GITU YA, BARU JUGA MOS UDAH NYEPIK-NYEPIK AJA!!" "YANG DI CENDRAWASIH JANGAN DI LUPAIN NYET!!!" Sontak saja Denta melotot mendengar penuturan Gista barusan. Temannya yang mungil itu, sudah bersorak heboh, di sambut oleh teriakan Dira tidak kalah kencang. Apa-apaan sih mereka? Siapa juga yang mau ngelupain Azka? "DIEM DEH!!" semprot Denta jadi galak seketika, kemudian tatapannya beralih pada Gasta, "Sorry, temen-temen gue emang pas pembagian otak datengnya telat, jadi nya dapet ampas doang," katanya jadi malu sendiri. "Iya." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD