Bagian 17

2315 Words
London. Wanita yang masih mengenakan piyama tidur itu berjalan menuju dapur, dia hendak meminum s**u. Tangan yang awalnya memegang pintu kulkas kini harus terhenti saat bel rumahnya berbunyi, wanita dengan paras ayu meski usianya sudah memasuki kepala 4 itu mengerutkan kening, siapa yang bertamu sedini hari begini? Dengan was-was wanita itu berjalan menuju pintu, lantas membukanya. “River?!” “Hai, Mom” Mommy Ra terdiam beberapa saat, dia masih tak percaya kalau remaja yang berdiri di depan nya ini adalah River. Wanita itu takut, kalau ini hanya ilusi dan imajinasinya saja lantaran dia merindukan keberadaan River. Tapi lamunan wanita itu langsung ter buyarkan saat menyadari kalau River menggigil kedinginan di depannya. Suhu kota London dini hari biasanya mencapai minus, jadi tak heran kalau River sekarang menggigil kedinginan. Si perfect smile lips and eyes  merapatkan coat coklatnya “Mom, may I can come in now? it’s very cold here” Tanpa lama-lama lagi Mommy Ra langsung merangkul bahu River yang kedinginan, membawa remaja itu masuk ke dalam rumah lantas mendudukan nya di depan perapian. Yaps, dirumah Mommy Ra masih ada perapian. Biasanya tempat itu digunakan untuk mereka ngobrol santai tentang betapa serunya hari-hari yang mereka lewati satu sama lain. River dan Mommy Ra kalau dalam mode curhat sudah seperti teman sebaya. Wanita yang belum sempat minum s**u itu menatap anaknya dengan bingung “Kenapa kamu dateng nggak bilang-bilang dulu ke, Mommy?” “Mendadak” Mommy Ra jelas tak percaya dengan jawaban River barusan, wanita itu duduk di samping River yang tengah menghangatkan diri. Mereka saling diam beberapa saat, sebelum Mommy Ra kembali berceletuk “There is problem, River?” tanya wanita itu, dia yakin ada sesuatu yang tidak beres tengah terjadi pada putranya. Tidak mungkin River tiba-tiba datang tanpa alasan seperti ini. “Mom, Im scared” ucap remaja itu sembari menatap Mommy Ra dengan sendu. Mommy Ra langsung memeluk River, membuat putranya merasakan kenyamanan. Berada di pelukan Mommy Ra membuat River merasa aman, dia merasa tidak akan pernah ada yang bisa menyakitinya selama ada Mommy Ra di sampingnya. Jemari lentik milik sang Mommy mengelus surai hitam nan tebal itu dengan sayang, dia jadi teringat kalau River dan Arsen tengah berantem. Apa kedatangan River karena itu? “Mommy denger kamu bertengkar sama Arsen, because of a girl, right?” tanya Mommy Ra lembut “River, jangan mempersulit diri kamu sendiri. Masa depan kamu masih panjang, there are still many girls you will meet in the future” “Tapi nggak semua cewek bisa bikin aku tertarik, Mom” Senyum di wajah Mommy Ra muncul, anaknya sudah dewasa. River kecil yang begitu menggemaskan sudah menjelma menjadi remaja pada umumnya, remaja yang penuh dengan romansa. Mommy Ra menangkup wajah River, dia menatap anaknya dengan intens “Kamu pasti capek, istirahat dulu ya. Lagian masih pagi” River mengangguk "Mommy buatin madu hangat buat kamu" “Makasih, Mom" cowok itu tersenyum "Mommy kerja?" “Sure” River bangkit sembari menyeret kopernya menuju kamar yang beberapa bulan belakangan ini dia tinggalkan. Saat kakinya memasuki ruangan tersebut, netra River langsung menyebar, kamar beserta dekorasinya masih sama. Dinding yang polos dengan satu foto menggantung disana, di ujung ruangan ada satu set komputer dengan lemari di sampingnya. River menjatuhkan tubuh di ranjang, masih empuk seperti biasa. “Coward” gumam River, lantas cowok itu memejamkan mata untuk tidur. (^_^)(^_^) “Re!” Langkah kaki Regan terhenti, tapi cowok itu tak menoleh sama sekali. Tissa terus berusaha mengejar Regan, tadi saat dia tengah melakukan panggilan dengan Daddy Hen dan Om nya ternyata Regan menguping pembicaraan mereka. Sekarang cowok itu tau satu hal, kalau ada sesuatu yang tengah direncanakan Tissa dengan kedua pria tersebut. Rencana yang akan membuat River kembali sakit hati, Regan masih belum tau niat Tissa yang sebenarnya itu apa. Tapi saat ini cowok itu tengah marah. "Regan gue bisa jelasin semua nya. Please lo jangan salah faham" Kini mereka berdua saling berhadapan, Regan menatap Tissa dengan tatapan tajam "Jelasin apa? Udah jelas-jelas gue denger sendiri kalo lo lagi ngerencanain sesuatu buat nyakitin River, Tiss" Tissa menyapukan pandangan, bukan tempat yang tepat untuk membicarakan masalah ini disini. Cewek itu menarik lengan Regan, membawanya ke lorong laboratorium yang lumayan sepi, mereka berhenti di depan loker-loker milik siswa siswi SMA Bina. Tissa memusatkan atensinya pada wajah bete Regan "Gue akan jelasin semua nya ke elo sekarang, please jangan menyela" akhirnya Tissa menceritakan segala hal yang dia sembunyikan selama ini kepada Regan tentang apa yang dia dan Daddy beserta Omnya rencakan. Regan terdiam mendengarkan, syok tentu saja setelah mengetahui semua hal yang diceritakan oleh Tissa. "Gue berharap lo ngerti posisi gue disini" akhir cerita Tissa, cowok tampan berambut coklat itu terdiam beberapa saat. "Dan ternyata tebakan gue bener kan, Tiss. Rencana lo itu bakal nyakitin River banget. Bukan hanya River, mungkin semua orang yang terlibat" Tissa menunduk, dia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Dia tau posisinya serba salah disini, tapi cewek itu tak bisa mundur lantaran takut malah membuat rencana yang sudah disusun akan berantakan. Netra almond Tissa menatap Regan lagi, dia teringat sesuatu. Kemana perginya River? Tumben sekali Regan sendirian terus hari ini. "Lo kenapa sendirian terus hari ini? River kemana?" “Kenapa lo malah tanya ke gue? Bukankah seharusnya lo tau karena itu tugas lo? Memata-matai River?" “Regan!” tegur Tissa, sialan! Berani sekali cowok itu membuka identitasnya. Awas saja kalau Regan melangkah lebih jauh, memberitahu River soal rencana ini misalnya. Maka Tissa tidak akan tinggal diam.  Atensi Regan tercuri pada sosok yang tengah berjalan ke arah mereka, seketika raut wajah cowok itu berubah jadi sumringah. Sosok itu adalah Amanda, cewek yang mungkin ditaksirnya akhir-akhir ini. Tissa yang menyadari perubahan wajah Regan kini ikut menoleh, penasaran dengan siapa Regan tersenyum. Amanda tiba, cewek itu menepuk pundak Tissa layaknya teman akrab, padahal mereka berdua tidak akrab sama sekali. "Hai, Tissa" sapa Amanda. Tissa hanya mengangguk dan tersenyum canggung. Dia kembali menatap Regan "Re, lo belum jawab pertanyaan gue. Dimana River?" “Gue nggak tau” jawab Regan spontan, tangan cowok itu menyambar lengan Amanda dan menarik nya untuk segera enyah dari hadapan Tissa. Cewek berpipi itu hanya bisa menatap kepergian Regan dengan perasaan tak tentu. Bukan hanya River yang memusuhinya sekarang, Regan pun turut serta setelah dia tau rencana Tissa. Frustasi, itulah yang dirasakan nya sekarang, Tissa bersandar pada loker-loker yang ada di belakangnya. Menunduk beberapa saat untuk memikirkan beban apa saja yang dia tanggung.  BRAAKK!! Tissa spontan mendongak lantaran kaget dengan gebrakan yang tepat di samping telinganya. Cewek itu mendapati Mita yang berdiri di hadapannya dengan serangai menyebalkan. Tissa mengelus dadanya, menetralisir rasa kagetnya sebelum menghadapi kakak kelasnya. “Kayaknya lo beneran ngeremehin omongan gue ya? ikut!” “Kak! lepasin!” Tissa memberontak, yakali dia akan ikut dan nurut begitu saja. Tissa bukan cewek lemah, sudah berapa kali harus di bilang, hm? Masih mencoba melepaskan cengkraman Mita dari bahunya Tissa kembali berteriak  “Kak Mita lepasin! gue ada salah apa sih sama kakak? gue nggak pernah cari gara-gara sama kakak, kenapa kakak malah jahatin gue kayak gini?!” Langkah kaki Mita terhenti, begitu pula langkah kaki Tissa yang ikut berhenti. Dia melepaskan cengkraman nya, lantas menatap Tissa dengan menantang “Gue kan udah bilang, putusin Arsen!” bentak Mita, Tissa memejamkan mata lantaran merasakan adanya 'hujan micin' yang mengenai wajahnya. Dengan sedikit jijik Tissa mengusap cipratan itu, lantas menatap penuh kesal ke arah Mita “Kenapa harus? kakak tertarik sama Arsen? Nggak mungkin! Gue tau Kak Mita nggak pernah tertarik sama Arsen. Karena sekarang Kak Mita lagi tertarik sama Kak Johnny” Mita terdiam, bagaimana cewek berpipi di depannya ini bisa tau masalah privasi seperti itu? padahal Mita tidak pernah berkoar-koar kalau dia menyukai cowok, apalagi yang di sukai itu adalah ketua osis. “Diem, bayi! lo tau apa tentang gue, hah?!” Mita yang merasa mulai tak aman kini mencoba mengintimidasi adik kelasnya dengan sentakan-sentakan tajam. Tapi Tissa tidak takut, dia sudah mempersiapkan semua nya. “Kak Mita stop!" Tissa berteriak "Jangan dorong-dorong gue terus!" lanjut cewek itu, selangkah mundur menjauhi kakak kelas berandalannya. "Gue tau tentang Kak Mita dan keluarga Kakak! Kalo kakak terus bikin ulah sama gue, jangan salahin kalau aib keluarga kakak menyebar di seluruh SMA Bina" “Lo ngancem gue?!” bentak Mita, suaranya sedikit gemetar. Tissa tau kalau kakak kelasnya ini tengah ketakutan, cewek itu merapikan poninya. Lantas menatap Mita dengan berani “Terserah Kakak mau nanggepin nya gimana. Satu hal yang perlu kakak inget, sekali lagi kakak bully gue dan nyuruh gue buat putus sama Arsen, siap-siap aja kakak say good bye untuk SMA Bina” “b***h!” Tissa melenggang pergi tanpa menanggapi u*****n Mita barusan, dia lega. Cewek itu harus berterima kasih pada si pengirim amplop coklat. Amplop itu berisi tentang riwayat Mita yang ternyata anak di luar nikah, Papa Mita adalah salah satu donatur di Bina dan kalau sampai statusnya diketahui banyak orang maka citra Papa nya akan tercemar. Demi citra itu, Papa Mita tidak akan segan-segan untuk mengeluarkan anaknya dari SMA Bina. Tissa masih belum tau siapa pengirim amplop coklat itu, tapi siapapun dia Tissa sangat berterima kasih. Kini satu masalah sudah diselesaikannya dengan baik. Sekarang Tissa hanya perlu mencari cara agar bisa mendapatkan maaf dari Regan dan River. Tissa tidak ingin saat rencana itu dijalankan hubungan persahabatan nya masih renggang seperti ini. Biar bagaimanapun dan dia di pihak manapun, Tissa akan tetap jadi teman River yang akan selalu ada untuk cowok itu, untuk menghadapi segalanya. Pipi bakpao cewek itu mengembang lantaran dia melebarkan senyumnya. Mungkin Tissa adalah cewek pertama yang bisa menakhlukan manusia sebrutal Mita, dan dia bangga akan itu. Kalau kakak kelasnya saja bisa diatasi, kenapa yang lainnya tidak? Tissa tidak akan pernah takut pada siapapun. (^_^)(^_^) Cowok yang saat ini duduk di depan tv itu berulang kali mengecek pintu rumah, ponsel dan suara mobil yang memasuki garasi. Dia tengah menunggu Papa dan Mama nya pulang kantor, tadi dia juga sudah mengirimkan pesan di grup keluarga agar kedua orang tuanya cepat pulang lantaran ada hal penting yang ingin Regan bicarakan. Pucuk dicinta ulam pun tiba, terdengar suara sepatu pantofel milik Mama dan Papanya, Regan langsung menoleh. “Regan” panggil Mama Safa, wanita itu menjatuhkan tubuh di sofa. Hari yang begitu melelahkan untuk wanita karir macam Mama Safa, kerjaan menumpuk yang menuntut otaknya untuk bekerja keras setiap harinya. Seandainya bukan Regan yang meminta mungkin dia dan sang suami akan lembur di kantor dan pulang larut malam nanti. Cowok itu langsung duduk di samping sang Papa, wajah pria itu juga sama menunjukan raut kelelahan. “Pa!” “Bentar, Re. Biar Papa nafas dulu, takutnya nanti nggak sempet kan bisa berabe" River dan Mama Safa saling tatap, lantas keduanya menepuk jidat. Bagaimana bisa Papa Rido mengucapkan kalimat seperti itu? bikin takut saja. Saat  selesai acara bernafasnya, Papa Rido menatap Regan dengan wajah serius, meski dia lelah malam ini tapi Papa Rido tetap menuruti permintaan Regan “Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan?” “Ini soal masa lalu Papa dan Mama, juga keluarga River" Kedua orang tua itu saling melempar tatapan penuh arti, Mama Safa tak lama kemudian yang menjawab “Regan, dengerin Mama. Jangan terlalu ikut campur urusan mereka, masalah ini bukan jangkauan kamu. Kalau kamu pengen ngerti masa lalu Papa sama Mama, it’s okay. Tapi kalau kamu mau tau masa lalu River dan keluarganya, kita nggak bisa ceritain itu” Sudah bisa Regan duga kalau kedua orang tuanya akan enggan untuk menceritakan masa lalu River dan keluarga mereka. Cowok itu begitu penasaran, sekelam apa masalalu keluarga River, kalau mengingat cerita Tissa tadi Regan menyimpulkan kalau latar belakang River bukan dari keluarga yang baik-baik saja. “Kenapa? River itu temen aku, Ma. Lagipula, bukan nya Papa yang nyuruh aku buat mata-matain River? Jadi nggak salah dong kalau aku pengen tau masalah dia" “Regan bukan begitu maksud Papa” ucap Papa Rido, kali ini lebih pelan agar Regan mau mengerti. Saat Papa Rido hendak membuka mulut lagi Mama Safa sudah menyela lebih dulu dengan nada yang tidak santai sama sekali “Pokoknya Mama nggak mau kamu ikut campur masalah mereka, titik.” “Ma!” Tegur Papa Rido yang tak diindahkan oleh Mama Safa, wanita itu bangkit dari duduknya dan melangkah untuk masuk ke dalam kamar. Tapi langkah Mama Safa harus terhenti saat suara Regan kembali  berceletuk “Kenapa? Apa Mama takut kalau aku tau dulu Mama lah penyebab Mama dan Papa River bercerai?” Wanita cantik itu terdiam, tangannya terkepal kuat. Dia menderap kearah Regan dan langsung menampar cowok itu “Jaga bicara kamu, Regan!” emosi Mama Safa naik membuat Papa Rido harus memegangi wanita itu agar tidak menampar Regan lagi. Cowok dengan wajah tampan itu menatap sang Mama dengan sorot mata tajam. Tanpa mengucap sepatah kata apapun lagi Regan berlari menuju kamar, membanting pintu dan menguncinya. Di bawah, Mama Safa terduduk dengan air mata yang mulai mengalir, jemari lentik nya gemetar. “Aku udah nampar Regan, Pa” “Ssshh” Papa Rido memeluk istrinya dengan erat “Tenangin diri kamu dulu, kalian sama-sama emosi tadi” Mama Safa menangis, dia kelepasan menampar Regan lantaran kenangan itu diingatkan kembali. Kenangan yang ingin sekali dilupakan oleh Mama Safa sampai wanita itu butuh perawatan dengan seorang psikiater ternama. Lagipula, dari mana Regan tau semua informasi itu? “Regan bakalan semakin benci sama aku, Pa” “Nggak akan, Regan bukan anak yang seperti itu, Ma” jawab Papa Rido sembari menghujani kecupan di kening sang istri. “Dia cuma lagi emosi aja sekarang, kita ke kamar ya. Nanti biar Papa yang bicara sama Regan dengan kepala dingin” Mama safa mengangguk dengan di tuntun oleh suaminya menuju kamar. Dari awal wanita itu sudah salah langkah dalam memperlakukan Regan sampai cowok itu menjadi seperti ini, Mama Safa dan Papa Rido tau kalau Regan anak yang berprestasi, hanya karena tidak ingin Regan berpuas diri mereka pura-pura tidak tau dan terus menggembleng Regan. Tapi ternyata tidak semudah itu, justru Regan malah menjadi seperti ini, jauh dari kedua orang tuanya dan merasa tidak pernah diperhatikan dan dianggap. Di dalam kamar Regan membaringkan tubuhnya dengan mata terpejam, dadanya bergemuruh naik turun. Tangan cowok itu meraba pipi nya yang panas akibat tamparan Mama Safa “Apa gue keterlaluan ya tadi?” Cowok itu menghela nafas, dia beranjak dan membuka laptop mengetikkan beberapa kata. Hampir 30 menit Regan tenggelam dalam aktivitasnya, hingga cowok itu  menutup laptop dengan hembusan nafas. Tak lama notifikasi di ponselnya berbunyi, Regan mendapatkan email. Dengan segera cowok itu bangkit, lantas mempersiapkan sesuatu sebelum dia beranjak untuk tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD