Bagian 16

1963 Words
“Kenapa lo nusuk gue dari belakang sih, Bang?!” tanya River dengan nada tinggi “Salah gue apa sama lo?! Dulu, lo cuekin Tissa seakan lo cuma nganggep dia sahabat dan nggak lebih. Lo nggak pernah nunjukin ke dia kalau selama ini lo suka sama dia, kalian sahabatan udah lama! dan lo juga punya banyak waktu buat mengungkap perasaan lo dia” River menjeda ucapannya sebentar. Dia menatap Arsen dengan penuh emosi, sementara sang empu memilih untuk diam dan membiarkan River mengeluarkan emosi yang beberapa hari ini di tahan. “Gue berusaha mati-matian buat berteman sama Tissa, gue yang berusaha buat ada disaat dia lagi butuh sandaran dan lo malah pacaran dengan cewek lain tanpa peduli sama dia. Dan pada akhirnya, saat gue dan Tissa sama-sama jatuh cinta, lo datang dan seenaknya meminta Tissa buat jadi pacar lo.” Arsen maju selangkah, dia menatap intens River yang nafasnya memburu “Gue punya alasan sendiri untuk itu, dan Tissa udah tau alasannya. Lagi pula, gue nggak pernah maksa Tissa buat nerima tembakan gue kok” jawab cowok itu santai. “Lo emang nggak maksa, tapi lo bilang sama dia soal perjanjian kita, b*****t!” “Karena gue nggak pernah menutupi apapun dari Tissa, Ver. Kenapa sih lo jadi emosi sama gue kayak gini? lagian, apa lo nggak inget sama Lami? apa lo mau ingkar janji untuk yang kedua kalinya dengan ninggalin dia gitu aja?!” River terdiam, sudah lama cowok itu tidak mendengar nama yang baru saja Arsen sebut, Lami. Cewek yang dulu mengisi relung hati River kecil, cewek yang direlakan oleh Arsen untuk River, tapi pada akhirnya Arsen lah yang harus menjaga cewek itu. Arsen menjaga raga Lami, tapi hati? Lami masih terus menjaganya sendiri, hanya untuk River. River menjatuhkan tubuhnya di sofa kamar Arsen, cowok itu mengusap kepalanya frustasi. Masalah dengan Tissa saja belum kelar, tapi sekarang Arsen malah menambah masalah dengan mengingatkan si perfect smile lips and eyes itu pada gadis masa lalunya. “Udah lama gue nggak denger nama itu, gue juga nggak tau dimana Lami sekarang. Opa sama Oma udah bantu sebisanya, gue nggak tau harus gimana lagi, Bang” ucap River, kali ini begitu lirih hingga membuat Arsen tak tega juga “Gue menyukai Tissa bukan berarti gue lupa sama Lami, gue cuma pengen nyenengin diri sendiri. Apa itu salah? Lami adalah masa lalu” “Tapi lo punya janji sama dia, River” “Lami juga punya janji sama gue, Bang. Dia bilang bakal terus ada buat gue, dan kalapun gue pergi, dia bakal nunggu gue kembali” River bangkit dari duduknya, dia melenggang pergi keluar kamar. Arsen urung untuk mengejar, cowok itu mengerti kalau River butuh waktu untuk sendiri dan menenangkan pikirannya. Begitupun dengan dia. Mungkin  banyak yang bingung dengan kisah mereka, bingung lantaran siapa yang harus disalahkan disini. Arsen merebahkan tubuh di ranjang, dia memejamkan mata. Mencoba menarik kesimpulan dari sudut pandangnya sendiri. Sudut pandang Arsen : Dulu, dia harus merelakan Lami untuk River lantaran dia merasa sebagai Kakak yang harus mengalah pada adiknya, hingga River dan Arsen membuat perjanjian itu. Perjanjian agar di masa depan River tak lagi mengambil apa yang Arsen inginkan. Disini, Arsen hanya menagih janji itu. Apa salah? tidak. Disisi lain, kenapa dia menyembunyikan perasaan nya dari Tissa tak lain dan tak bukan karena cowok itu menyadari kelemahannya yakni mudah bosan. Dia tidak ingin hubungan yang hanya sementara dengan Tissa, karena Arsen tidak ingin kehilangan cewek itu maka dia memutuskan untuk menjadikan Tissa sebagai sahabatnya. “Apa tindakan gue selama ini salah? tapi gue udah merasa benar disini” gumam Arsen sembari membuka mata. Cowok itu memejamkan mata kembali, mencoba menarik kesimpulan dari sudut pandang River. Sudut pandang River : Dia ingin bahagia, not fixated on the past. Bukan berarti River ingin melupakan Lami, dia masih terikat janji dengan gadis itu. Hanya saja, River juga tidak ingin menunggu seseorang yang bahkan tidak diketahui keberadaanya. Untuk itu, River menyukai Tissa, bukan sebagai pelampiasan. River tulus menyukai Tissa, dia juga tidak buta. River tau Tissa juga suka dengan dia, entah apa alasannya cewek itu mau menerima Arsen. River ingin bahagia di masanya sekarang, dia tidak ingin menyia-nyiakan waktu hanya untuk menunggu saja. Tapi sekarang, Tissa sudah di renggut oleh Arsen, dan River tidak bisa membantah kenyataan itu. Kini dia tidak tau harus berbuat apa lagi. Hubungannya dengan Tissa masih tidak baik-baik saja, begitupula hubungan dia dengan Arsen. Ketukan pintu membuat Arsen membuka matanya lagi, dia menoleh saat Mama nya muncul disana “Arsen, makan malam dulu yuk” “Iya, Ma” Sembari berjalan di belakang sang Mama, Arsen terus berfikir. Kini tinggal satu sudut pandang lagi untuk masalah ini. Yakni sudut pandang Tissa, sudah sampai disini Arsen tidak ingin menunda lagi. “Arsen? kamu mau makan sambil berdiri gitu?” Lamunan cowok itu ter buyar, dia tersenyum canggung. Lantas menarik kursi untuk ia duduki. Mama Mirna menyiapkan piring di depannya, Arsen sudah kembali melamun, kini dia akan menyimpulkan dari sudut pandang Tissa. Sudut pandang Tissa : Dulu, dia menyukai Arsen. Hingga Tissa menolak didekati oleh cowok-cowok lain, terbukti selama 3 tahun menempuh SMP Tissa tak pernah sekalipun pacaran. Begitu pula sekarang, tapi sepertinya Arsen hanya menganggap Tissa sebagai sahabat. Sakit, Tissa coba menekan perasaan itu hingga lenyap, sebenarnya belum benar-benar lenyap kalau Tissa ingin mengembalikan perasaan itu lagi, dia masih bisa. Lantas River muncul, membuat Tissa merasakan kenyamanan yang berbeda saat berada di dekat cowok itu. River yang selalu ada buat dia, River yang mau menerima 2 sisi kehidupan Tissa. Hingga pada akhirnya River menembaknya, dan Tissa menolaknya. Anggap saja Tissa bodoh, dia punya alasan kuat untuk menolak River tapi dia tetap mempertahankan perasaannya itu sampai sekarang. “River udah kenyang, Oma. Mau istirahat aja” “Yasudah, besok kamu diantar Opa ya” River mengangguk, cowok itu berjalan tanpa menoleh sedikitpun kearah Arsen yang sudah tersadar dari lamunan nya. Netra cowok itu mengikuti kemana perginya punggung River meski sudah bisa menduga kalau adiknya itu akan pergi ke kamar. “Arsen, kamu ada masalah apa sama River?” tanya Mama nya dengan lembut. Cowok itu menggeleng, dia tidak ingin membebani kedua orang tuanya dengan masalah yang tengah di hadapi sekarang “Kalau ada apa-apa cerita ya sama Mama. Jangan diem terus” “Iya, Ma. Lagipula Arsen udah gede, udah bisa menyelesaikan masalah sendiri” Senyum di wajah wanita yang sudah  menua itu muncul, diusapnya kepala anaknya dengan sayang “Yaudah, kamu selesaikan dulu makan malam nya.  Dari tadi cuma di aduk-aduk mulu, apa perlu Mama suapin?” goda Mama Mirna membat Arsen spontan menggeleng. “Apa kata dunia kalau seorang Arsen Tajendra Purnama pas makan masih minta di suapin?” “Bisa aja kamu bantah nya, Sen” sela Papa Johan sembari terkekeh mendengar jawaban Arsen. (^_^)(^_^) Hari ini Regan tak fokus sama sekali dengan materi yang disampaikan oleh guru yang tengah mengajar, sudah dua mata pelajaran yang Regan lewati begitu saja tanpa terserap di otaknya. Cowok itu terlalu banyak melamun, semenjak kejadian kemarin sore dimana dia bertemu dengan Tissa di restoran membuat perhatian Regan tersita sepenuhnya. Tak sengaja netra cowok itu menangkap Sisi yang hendak keluar kelas "Si!" Panggil Regan tiba-tiba, Sisi spontan menghentikan langkah kakinya. Lantas menoleh. “Teh botol 2, ntar gue ganti uangnya” tambah Regan santai. Cewek berkuncir kuda itu mengacungkan jempolnya seraya tersenyum manis, ada waktu di mana Regan merasa Sisi itu cewek yang baik dan dewasa juga imut dengan gigi kelincinya. Tapi entah kenapa Regan tak begitu tertarik, dia suka Sisi menjadi temannya. Lain hal nya dengan Amanda, cewek yang menjadi kakak kelas nya juga cewek yang belakangan ini memberikan warna baru dalam hidup Regan. Setelah kepergian Sisi kini Regan kembali tersedot masuk ke dalam lamunan nya, dia masih ingat jelas akan pertemuan nya dengan Tissa kemarin. Flashback On. “Rido?” Pria yang dipanggil itu pun terkejut, dia tak menyangka akan bertemu seseorang dari masa lalunya disini. Papa Rido menoleh ke arah Regan yang berdiri di sampingnya, ternyata anak nya juga tak kalah kaget saat mengetahui siapa cewek yang berdiri di hadapannya sekarang, Tissa. Papa Rido kembali memusatkan pada seseorang yang begitu dia kenal itu "Hendric? Rain?" tanya pria itu memastikan kalau dia tak salah mengenali. Tunggu, sebelum berlanjut akan dijelaskan sedikit. Rain dan Safa memanglah sepupu, tapi semenjak mereka menjalin rumah tangga masing-masing tidak pernah ada kabar lagi, jadi wajar kalau mereka saling melupakan satu sama lain. Tidak pernah ada pertemuan keluarga yang berlangsung membuat mereka tidak mengenal para kerabat barunya. Termasuk Tissa dan Regan yang sebenarnya adalah sepupu. Begitupula Mama Safa yang kemarin bertemu dengan Tissa, tak menyadari kalau cewek berpipi itu adalah keponakan nya.  Kedua pria yang saling berhadapan itu lantas berpelukan, sudah lama sekali mereka tak saling bertemu satu sama lain "Gila, makin tua makin cakep aja." gurau Papa Tissa, alias Daddy Hen. Papa Rido tertawa, tangan kokoh pria itu merangkul pundak Regan "Anak gue, cakep kayak Papa nya" perkenal Papa Rido dengan bangga. Daddy Hen menatap Regan, mengembangkan senyum. Disusul usapan di kepala cowok yang masih bingung akan situasi yang sedang terjadi "Tissa, sini" panggil Daddy Hen, cewek berpipi chubby itu beringsut mendekat, Papa Rido kaget. Dia ingat cewek itu, cewek yang pernah bermain kerumah nya. "Kamu?" "Ha-hai, Om" sapa Tissa malu-malu. "Kalian sudah saling kenal?" semua atensi langsung terpusat pada wanita cantik berkulit putih pucat itu, Papa Rido mengerjap beberapa saat "Astagaaa" pria itu tanpa permisi langsung memeluk Mommy Rain, sahabat lamanya yang belasan tahun tak di ketahui keberadaan nya dimana. "Rain, kamu apa kabar?" yah, dari dulu hingga sekarang panggilan mereka masih menggunakan aku-kamu. Mommy Rain tersenyum senang, "Very well, gimana kabar kamu sama Safa?" "Baik juga" Akhirnya para orang tua itu larut dalam pembicaraan mereka, masuk ke dalam restoran dan meninggalkan kedua remaja yang masih bingung di tempatnya. Mereka saling tatap "Lo pasti tau sesuatu, kan?" tanya Regan membuka mulut untuk pertama kalinya. Tissa berdiri gugup, dia belum pernah segugup ini saat berbicara dengan Regan sebelumnya. "Yaaa,.. gue tau sedikit. Tapi gue nggak pernah tau kalau kedua orang tua kita saling mengenal" jawab Tissa yakin, dia memang tau sedikit soal masa lalu keluarganya yang berhubungan dengan keluarga River. Tapi dia tidak pernah tau soal keluarganya yang mengenal keluarga Regan.  "Apa aja yang lo ketahui tentang masa lalu mereka?" "Rahasia, ini sama sekali nggak ada hubungan nya sama keluarga lo" Mereka berdua menyusul masuk ke dalam restoran, Regan duduk di samping Papa Rido dan Tissa duduk di samping Mommy Rain. Setelah memesan keduanya sama-sama terdiam, hanya mendengar gurauan sesekali yang dilontarkan oleh para orang tua itu. Hingga tak sengaja, mereka menyerempet soal kehidupan seseorang, seseorang yang sampai sekarang tak pernah dibahas lagi. "Maksud Papa?" tanya Regan menyela, Papa Rido terdiam. "Kamu sama Tissa itu masih kerabat jauh. Tante Rain sama Mama itu masih sepupuan, wajar kalau kamu nggak tau soalnya keluarga kita sudah terpecah lama sekali" perjelas Papa Rido membuat Regan syok. Jadi, dia dan Tissa masih punya hubungan darah? Akhirnya, satu kotak pandora berhasil di buka. Yakni, hubungan Tissa dan Regan. Lamunan Regan ter buyarkan saat sesuatu yang dingin menjalar di wajahnya “Owh, dingin, Si” “Ya kan minuman, kalo panas namanya kopi” jawab Sisi. “Emang kopi bukan minuman ya, Si?” Skak mat. Sisi tampak kelimpungan membuat Regan tertawa, cowok itu lantas mengambil uang 20 ribuan untuk diberikan kepada Sisi “Thanks, Re. Sebenernya nggak usah di ganti, tapi yaudahlah. Hehe, mayan buat naik ojol kan” Regan tersenyum lebar, tingkah Sisi yang terlalu polos membuat Regan takut kalau sampai cewek itu baper dengan sikap dan perilakunya, tapi semoga saja itu tidak terjadi. Regan tidak ingin menyakiti cewek sebaik Sisi. “Tidur, Ver?” “Hm” “Tissa lagi?” River mendongak, dia menatap Regan dengan intens “Hari ini gue bakal ke London, lo ikut nggak?” Regan yang tengah meneguk minuman kini tersedak. Apa pula ini? kenapa mendadak River akan pergi ke London? “Maksud nya lo bakal lari dari semua masalah ini, gitu?” “Gue cuma pengen nenangin diri aja, tempat paling tenang buat gue di mana lagi kalau bukan di London?”  “Gue percaya lo cowok, dan gue percaya lo kuat.” kata Regan sembari menepuk pundak River bersahabat. "Tapi sorry, gue nggak bisa ikut lo ke London" "It's okay"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD