Bab 4

1823 Words
"Hening ...." Naka menyebut nama itu, lirih hingga tidak terdengar oleh sang buah hati. Sebuah nama yang telah begitu lama tidak terucap dari lidahnya padahal dulu nama itu begitu lekat di jiwa, tidak ada satu hari pun tanpa menyebut nama itu, bahkan nama itu juga yang telah membuat dirinya berseteru dengan seseorang yang begitu berharga dalam kehidupannya. "Bu Hening tanya apa tentang Ayah?" tanya Naka pada Qinara membuat gadis kecil kecil itu kembali mengangkat pensilnya, membatalkan niatnya untuk menulis sebuah jawaban. "Bu Guru Hening tanya kenapa Ayah enggak jemput Qinara," jawab Qinara polos, lalu kembali fokus pada bukunya. Ada sesuatu yang aneh pada hati itu, hati yang dulu sempat diisi oleh Hening dalam waktu yang cukup lama, ada rasa bahagia juga karena ternyata Hening masih peduli dengannya. "Terus Qinara jawab apa?" tanya Naka lagi, ia begitu penasaran dengan pembicaraan antara sang putri dan mantan kekasihnya itu. "Ya, aku jawab kalau Ayah lagi sibuk dan Mbak Erni yang jemput. Bu Guru, 'kan, belum kenal Mbak Erni. Mungkin Bu Guru kira Mbak Erni penculik," jawab Qinara sambil terkekeh. "Iya," ujar Naka, kini malah ada sedikit kecewa di dalam sana. Jawaban Qinara itu benar, alasan Hening menanyakan kenapa ayah dari muridnya tidak menjemput hanya karena kekhawatiran sebagai seorang guru saja, tidak lebih. Yang di tanyakan Hening itu ayah dari muridnya bukan Naka sang kekasih hati, Naka yakin jika hati itu sudah tidak lagi sama, tidak lagi menyimpan rasa untuk dirinya yang bahkan tidak pernah bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan cintanya. Cinta yang dahulu terasa begitu indah tetapi juga menyakitkan. Dulu .... "Jangan pernah ada yang berani ganggu dia!" Lagi-lagi suara itu terdengar, menjadi seorang pembela bagi gadis sederhana seperti Hening, tidak ada yang salah pada dirinya hanya saja ada satu hal yang menjadi masalah bagi dirinya. Cantik. Hingga dirinya menjadi incaran para siswa lelaki dan target kecemburuan para siswi di sekolah meski hari itu baru minggu pertama dirinya menjadi murid sekolah menengah atas. "Naka, kenapa kamu belain dia? Kamu suka sama dia?" tanya Rania yang sedang berdiri di hadapan Hening dengan teman-teman satu gengnya berdiri mengelilingi gadis yang hanya bisa menunduk takut itu. Rania adalah gadis populer teman sekelas Naka, berasal dari keluarga kaya raya membuat arogan sudah menjadi sifatnya. "Iya, jadi mulai sekarang aku kasih tau sama kamu, kalau jangan pernah lagi ganggu dia. Dan satu lagi, aku titip pesan sama Bembi pacar kamu, jangan pernah lagi berusaha ngedeketin Hening. Atau kalian semua bakal berurusan sama aku!" tegas Naka, semua mata kini melotot padanya, tidak menyangka jika Naka juga menyukai Hening, karena selama ini yang mereka tahu adalah Naka seorang pemuda yang tidak pernah tertarik pada seorang siswi dan sikap dinginnya juga membuat tidak ada yang berani mendekatinya. "Ayo," ajak Naka pada Hening yang juga membolakan kedua mata, ia masih bingung dengan arti perkataan pemuda itu. Kerena hanya diam akhirnya Naka meraih pergelangan tangan Hening dan menariknya keluar dari kelasnya. "Apa, Ran? Aku enggak salah denger, Bembi berusaha ngedeketin Hening?" tanya salah seorang teman Rania membuat gadis itu semakin kesal lalu pergi sambil menjejakkan kakinya dengan keras. . "Maaf, ya, Mas Naka. Gara-gara aku Mas Naka jadi selalu repot," ujar Hening sambil mengikuti langkah Naka keluar dari komplek sekolah menuju tempat parkir yang ada di belakang bangunan itu. "Enggak, masa begitu aja repot. Aku enggak suka dengan sikap mereka, hanya karena orang tua mereka kaya lalu bersikap seolah-olah semua orang lebih rendah darinya. Kamu juga sekali-kali kalau dibully begitu ngelawan, dong, kalau kamu diem aja mereka bakal semakin menjadi," ujar Naka, Hening hanya tersenyum tipis. "Aku mana bisa seperti itu, aku harus selalu bersikap baik untuk terus bisa bersekolah di sini, Mas. Lagi pula aku juga enggak bisa bersikap kasar sama orang lain, kata ibu seorang wanita harus bisa menjaga sopan santun," jawab Hening, mereka sudah sampai di pintu gerbang belakang di mana terlihat beraneka ragam kendaraan bermotor berderet dengan rapi, semuanya milik murid sekolah itu karena kendaraan para guru dan staf sekolah memiliki tempat parkir khusus. "Tapi—." Naka batal mendebat apa yang Hening katakan saat mata mereka beradu pandang, ada ketidakberdayaan terpancar di mata Hening berpadu dengan sebuah harap yang begitu dalam. "Ya sudah, mulai besok kalau ada yang gangguin kamu, baik itu lelaki atau perempuan, bilang aja kalau kamu pacar aku. Mereka enggak akan gangguin kamu lagi." Hening menganga lalu tertawa kecil, tetapi malah terdengar sumbang tanpa rasa. "Mana bisa seperti itu, Mas Naka tenang aja, aku bakal lebih bisa jaga diri, kok," jawab Hening, Naka hanya diam. "Aku permisi dulu, sekali lagi terima kasih," sambung Hening yang lalu meninggalkan Naka, wanita itu berlari kecil mendekati sebuah pohon mangga di bawahnya terdapat beberapa sepeda motor terparkir, Naka tetap menatapnya. Kening pemuda tampan itu mengerut saat melihat apa yang Hening lakukan, gadis itu menuntun sebuah sepeda onthel butut lalu menaikinya keluar gerbang sekolah berbarengan dengan beberapa siswa lain. Selama ini Naka belum pernah melihat murid lain yang menaiki sepeda ke sekolah itu karena memang sekolah itu adalah sekolah yang cukup elite dan bergengsi di kota Surabaya hingga bisa dipastikan jika seluruh muridnya adalah kalangan menengah ke atas bahkan tidak jarang murid sekolah itu diantar jemput mengunakan mobil mewah. Sekarang Naka tahu arti kata yang Hening ucapkan tadi, ternyata dirinya memang berbeda. Istimewa. * Dita Andriyani * "Hei, rumah kamu di mana?" tanya Naka, saat melihat Hening sedang mengayuh sepedanya beberapa kendaraan lain menyalip mereka, termasuk beberapa teman sekolah yang hanya melirik sekilas lalu kembali tidak peduli. Naka sedikit terkejut mendengar nama sebuah desa yang Hening sebutkan, daerahnya cukup jauh, sekitar tiga kilo meter dari sekolah mereka. "Rumah kamu jauh juga, ya, setiap hari kamu naik sepeda?" tanya Naka, Hening mengangguk ragu jelas terlihat rasa minder karena Naka menanyakan hal itu. "Maaf, bukan maksud aku menyinggung kamu, aku cuma salut, sangat salut." Hening hanya tersenyum tipis agak rikuh saat Naka tetap melambatkan sepeda motornya demi bisa menyejajarinya. "Mas Naka duluan aja, enggak enak diliatin yang lain," ujar Hening saat mereka sudah semakin dekat dengan tempat yang mereka tuju. "Ya sudah, sampai ketemu di sekolah, ya," jawab Naka, ia tahu jika Hening merasa tidak nyaman dengan apa yang dirinya lalukan tetapi entah kenapa dirinya mulai tertarik pada gadis itu. Gadis sederhana yang terlihat begitu manis. . Jam istirahat kedua yang bertepatan dengan jam makan siang membuat kantin sekolah terlihat begitu ramai oleh murid-murid yang berniat mengisi perutnya, begitu pula dengan Naka, dirinya telah selesai menyantap seporsi bakso Malang, lalu meneguk habis es tehnya duduk di sebuah kursi kayu panjang bersama beberapa temannya. Tetapi dirinya terlihat tidak begitu fokus dengan apa yang sedang teman-temannya bicarakan, sedari tadi matanya sibuk mengawasi sekitar tetapi tidak juga melihat seorang gadis yang dicari padahal waktu istirahat sudah lama berlangsung. "Aku ke kelas dulu, ya," pamit Naka pada temannya, semua memaklumi memang selama ini Naka yang mereka kenal tidak terlalu senang bermain, lebih senang menghabiskan waktu di kelas atau perpustakaan. Naka melangkah ringan, tetapi jelas bukan kelas atau perpustakaan yang menjadi tempat tujuannya, ia menuju kelas Hening. Pemuda itu tertegun di depan pintu saat melihat Hening benar-benar ada di dalam seorang diri, perhatiannya sibuk pada sebuah buku pelajaran dan mulutnya terlihat sedang mengunyah sesuatu. "Aku rasa ini jam istirahat, kenapa kamu masih sibuk dengan bukumu?" Hening sedikit berjingkat karena terkejut mendengar suara Naka yang sudah berjalan mendekati mejanya. "Eh, Mas Naka," gumam Hening melihat pemuda itu tersenyum padanya, kini ia duduk di sebuah kursi yang ada di depan meja gadis itu melihat sekilas buku apa yang sedang Hening baca. "Aku hanya ingin memahaminya lebih dulu, setelah jam istirahat ini selesai pelajaran matematika," jawab Hening, Naka mengangguk sepakat dengan ala yang Hening katakan. "Kamu enggak ke kantin?" tanya Naka sambil melirik kotak bekal yang ada di sebelah buku yang sedang Hening baca. Sebuah kotak bekal berwarna biru muda yang sudah terlihat kusam, Naka perkirakan jika kotak bekal itu adalah kotak bekal sejak jaman Hening sekolah dasar dulu. Menu di dalamnya juga tidak kalah sederhana, hanya nasi putih dan tempe orek ada sepotong tahu yang sudah Hening makan separuh. "Enggak, Ibu selalu bawain aku bekal. Aku harus berhemat," jawab Hening tanpa rasa malu, ia melanjutkan makannya. "Mas Naka udah makan?" tanya Hening membuat Naka yang sedang melamun kembali tersadar. "Sudah, tadi makan bakso di kantin," jawab Naka sekenanya, ia tetap fokus menatap wajah Hening yang sedang makan sambil membaca buku. "Terus ngapain Mas Naka ke sini?" tanya Hening sambil menatap pemuda itu, yang ditanyai menjadi sedikit gugup bingung alasan ala yang akan dia ucap. "Enggak ... tadi cuma lewat terus liat kamu sendirian di dalem kelas aja. Jadi aku ke sini mastiin kalau kamu baik-baik aja," jawab Naka asal, sedikit tergagap. "Aku baik-baik aja," ujar Hening, setelah meneguk air putih dari botol minuman yang juga terlihat lusuh. "Aku harus selalu baik-baik saja, semuanya baru saja di mulai. Bersekolah di sini adalah sebuah gerbang untuk meraih masa depan yang lebih baik. jadi apapun yang terjadi aku harus bisa menjalaninya dan selalu tetap berusaha menjadi yang terbaik." Naka mengulum senyum mendengar semangat Hening, meski Naka tidak mengetahui apa yang sebenarnya sedang Hening hadapi tetapi Naka yakin jika Hening memang bisa menjadi yang terbaik. Sudah ia ketahui jika Hening bisa bersekolah di sekolah itu karena sebuah beasiswa, maka semakin kagumlah Naka padanya terlebih saat melihat jika gadis si hadapannya itu begitu penuh semangat dan energi positif. Suara bel yang terdengar nyaring membuat Naka sadar dari kekagumannya pada Hening yang masih saja fokus pada bukunya, seolah kehadiran Naka sama sekali tidak mengusik kenyamanannya dengan ilmu yang sedang ia pelajari. Suara bel itu juga yang menyadarkan Hening untuk kembali menyimpan kotak bekal dan botol minumannya ke dalam tas. "Aku ke kelas, ya," pamit Naka, pemuda itu bahkan melangkah mundur seolah tidak ingin berhenti menatap gadis itu. "Iya, Mas," jawab Hening tanpa menatap Naka ia masih sibuk memasukkan botol air minum ke dalam tas yang sudah ia gunakan sejak kelas dua sekolah menengah pertama, setelah sebelumnya menggunakan tas yang ibunya belikan saat ia naik ke kelas empat sekolah dasar. * Dita Andriyani * "Sepeda kamu kenapa?" tanya Naka saat melihat Hening berjongkok sambil memegangi ban belakang sepeda yang masih tersandar di bawah pohon mangga, Naka tetap berada di atas sepeda motornya. "Bannya kempes banget," jawab Hening yang hanya sekilas menoleh pada Naka memastikan jika memang pemuda itu yang menanyainya, lalu berdecak pelan sambil menatap ban sepedanya. "Coba aku lihat." Naka turun dari motor tanpa melepas helm yang ia kenakan laku berjongkok di sebelah Hening, aroma parfum yang Naka pakai terasa lembut membelai indera penciuman gadis itu yang lalu beringsut agak menjauh. "Wah, ini, sih, bukan kempes biasa. Kamu lihat ini, ini pasti ulah anak-anak nakal itu." Naka menunjuk sebuah lubang yang ada di ban itu, sebuah lubang yang lebih mirip sebuah sayatan. "Yah ... kenapa bisa begini?" Hening terlihat kesulitan menelan saliva. "Bagaimana ini?" Naka melihat kedua mata Hening berkaca-kaca. "Kamu tenang aja, aku temenin kamu cari tukang tambal ban, ya," ujar Naka, yang lalu mengambil sepeda itu. "Kamu bisa bawa motor, 'kan, kamu bawa motor aku, biar sepeda kamu aku yang pegang." "Tapi ... tapi masalahnya ...." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD