"Qinara, kamu tidak ke kantin, Nak?" tanya Hening yang melihat Qinara hanya diam di kursinya ketika semua teman-teman sekelasnya sudah keluar untuk beristirahat, ada yang bermain di taman atau membeli makanan ringan di kantin, sekolah itu memiliki sebuah kantin yang mendapatkan pengawasan dari pihak sekolah juga dinas kesehatan setempat hingga hanya makanan sehat yang dijual di sana sehingga para orang tua tidak perlu khawatir akan makanan yang dibeli dan dikombinasi oleh putra-putri mereka selama berada di sekolah.
"Enggak, Bu." Qinara terlihat bingung dan malu-malu, sesekali ia melirik Hening yang masih duduk di kursinya, wanita itu juga dapat merasakan jika ada yang aneh dengan gadis kecil itu.
"Kamu sakit?" tanya Hening lagi, wanita yang memakai setelan jas berwarna biru muda itu mendekati Qinara yang masih diam di tempatnya.
"Enggak," jawab gadis kecil yang rambutnya di kuncir kuda dengan pita berwarna-warni, gadis kecil itu terlihat cantik, tetapi Hening merasa tidak bisa menemukan kemiripannya dengan wajah Naka.
"Terus kenapa? Dari tadi Ibu perhatikan kamu murung, ada sesuatu yang kamu tidak mengerti tentang pelajaran yang Ibu berikan? Kamu bisa bertanya jika seperti itu." Hening duduk di sebelahnya menatap bola mata jernih yang mengerjap-ngerjap menatapnya.
"Aku mau minta maaf sama Ibu Guru, karena permintaan aku kemarin. Ayah dan Mama bilang itu tidak sopan." Qinara menatap Hening yang diam dalam keheningan. "Maafin aku, Bu Guru."
Sebenarnya, sejak semalam Hening sudah berusaha melupakan apa yang Qinara pinta kemarin. Itu hanya celotehan anak kecil yang tidak seharusnya ia pikirkan meski hal itu membuat pikirannya melayang seolah mengungkit kisah silam tetapi sekarang gadis kecil itu kembali mengingatkannya dan dengan polosnya pula ia minta maaf meski Hening tahu jika itu semua atas perintah kedua orang tuanya.
Hening tersenyum manis, bibir ranumnya yang berpoles lipstik berwarna soft orange tertarik ke kedua sisi. Meski dalam lubuk hatinya juga kini berada dalam sebuah rasa yang begitu sulit ia jabarkan.
"Enggak apa-apa, Qinara. Ibu juga sudah tidak memikirkannya, bahkan ibu tidak menganggap itu sebuah kesalahan. Kamu tidak perlu minta maaf," jawab Hening, tangannya bahkan sudah terulur untuk mengelus pipi gadis mungil berusia tujuh tahun itu saat sebuah rasa terasa meremas hati.
Tangan yang masih mengambang di udara itu ia tarik kembali dan menyatukan dengan tangan satunya lalu saling meremas seolah berusaha saling menguatkan, saat ingin menyentuh Qinara seolah ia akan menyentuh sebuah luka yang berkali-kali ia rasakan dulu.
"Qinara, Mama kamu—." Hening menjeda, terjadi pergolakan rasa dalam daada. Ingin tahu tetapi lebih takut mendapatkan luka. "Mama kamu cantik."
Kedua mata Qinara berbinar mendengar apa yang Hening katakan, Qinara juga merasa jika Meisya sangat cantik gadis kecil itu lebih mengidolakan wanita itu daripada seorang tokoh princess dalam sebuah dongeng.
"Iya, Bu Guru, Mama memang cantik, Mama juga baik. Mama sayang sekali sama aku, sama dedek Qei, Sama Ayah juga." Hening tersenyum tipis mendengarkan Qinara yang begitu bersemangat bercerita tentang Mamanya.
"Iya, Mama kamu pasti sayang sekali sama kalian." Hening berusaha tersenyum lebih lebar, menutupi kecewa akan kenyataan dan sebuah rasa ketidakadilan yang setan bisikkan, sekuat tenaga Hening berusaha menampik rasa itu.
"Iya, Bu Guru. Aku juga sayang Mama. Kata Ayah, Ayah juga sangat bersyukur ada Mama dan Mama mau jadi Mama aku," celoteh Qinara, Hening hanya tersenyum miris mendengarnya.
Ternyata benar, rasa ingin tahunya hanya membuat luka, sakit tetapi tidak berdarah dan itu terasa lebih menyiksa.
"Ya sudah, Ibu Guru mau ke kantor. Lebih baik sekarang Qinara menyusul teman-teman ke kantin atau bermain di taman." Hening menyudahi pembicaraan itu.
Pembicaraan yang membuat dirinya merasa, entah ....
Sudah tidak berhak, itu pasti tetapi juga merasa jika semua ini tidak adil. Merasa sudah tidak pantas mengetahui tetapi rasa ingin tahu itu juga timbul tanpa diminta, meskipun dia tahu jika sebuah luka kadang akan muncul hanya karena rasa ingin tahu.
"Iya Bu Guru," jawab Qinara, dengan langkah kecilnya Qinara keluar ruangan kelas mengikuti Hening yang juga melangkah keluar tanpa menoleh menatap lurus ke depan seperti yang selama ini ia lakukan.
Tetapi kadang takdir memang seironis itu, banyak waktu yang telah ia lalui untuk melangkah ke depan tetapi takdir itu membawa dirinya kembali ke belakang. Mempermainkan rasa yang sudah berusaha ia kubur dalam-dalam selama belasan tahun.
"Ini adalah salah satu konsekuensi yang harus aku terima ketika aku memutuskan untuk kembali ke kota ini, sebuah keputusan yang seharusnya tidak aku sesali, tetapi aku tidak tau sebelumnya jika rasanya akan seperti ini. Menyakitkan? Aku sendiri bahkan tidak tahu ini rasa sakit atau bukan, bukankah selama ini aku sudah terbiasa untuk tidak menyalahkan keadaan. Tetapi mengapa rasanya seperti ini." Hening bersenandika dalam lamunan meski kakinya masih terus melangkah.
"Bu Nining." Suara lelaki dewasa membuyarkan lamunan itu. "Ibu mau ke mana?"
Hening tersenyum pada rekan guru yang menyapanya. "Ya mau ke kantor, dong, Pak."
Lelaki itu menatap heran. "Lah, itu kantor sudah terlewat," jawab lelaki itu sambil menunjuk ke arah pintu yang sudah beberapa meter Hening lewati.
Hening merasa malu tetapi berusaha tersenyum natural bahkan tertawa kecil.
"Oh, iya, bisa enggak keliatan, ya," ujar Hening, lelaki itu ikut tertawa.
"Makanya, Bu, kalau jalan jangan sambil melamun, untung saya lihat kalau enggak bisa bablas sampai ke gerbang depan pasti!" Hening menggelengkan kepala mendengar apa yang lelaki itu katakan lalu mereka tertawa bersama.
"Pak Damiri bisa aja!" Hening memutar tubuhnya dan kembali berjalan menuju kantor yang menjadi tujuannya.
Sementara lelaki yang menggunakan pakaian seragam berwarna sama dengan Hening itu entah hendak pergi ke mana.
.
Hari yang semula pagi telah berganti siang, bel sekolah telah berbunyi tanda sesaat lagi suasana sepi akan berganti dengan riuhnya para bocah yang bersorak gembira karena waktu belajar telah usai.
"Anak-anak, kerjakan soal di halaman 75 sebagai pekerjaan rumah, besok pagi dikumpulkan." Hening menunjuk halaman buku pelajaran yang sedang ia pegang.
"Baik, Bu Guru," jawab semua muridnya kompak, lalu sementara sang ketua kelas meminta semuanya berdoa sebelum pulang Hening merapikan buku-buku dan tasnya, ia juga ingin segera pulang.
Iya, dia hanya ingin segera pulang.
Wanita itu berdiri di depan pintu lalu membiarkan satu persatu muridnya menyalaminya sebelum pulang, sampai pada giliran Qinara yang mencium tangannya ada rasa ingin menahannya tetapi ia urungkan dalam kebimbangan. Hanya menatap bocah kecil itu terus berjalan sambil asik mengobrol dengan temannya.
"Kemarin saja orang tuanya terlambat menjemput," gumam Hening, sebenernya sebuah kata yang tidak perlu karena hanya telinganya sendiri yang mendengar dan sebenarnya telinga itu juga tahu jika kata itu hanya sebuah alasan saja.
Iya, Hening sedang berusaha membohongi dirinya sendiri berusaha tetap mempertahankan logika tetapi hatinya tetap saja tidak bisa mengelak.
Hingga seolah ada yang menuntun langkahnya hingga setelah semua muridnya keluar kelas ia langsung berjalan menjejaki lorong yang tadi Qinara lewati.
Dari kejauhan ia melihat jika Qinara berbicara dengan seorang wanita yang tetap berada di atas sepeda motornya, wanita itu memakaikan helm kecil pada gadis itu.
"Qinara, Qinara tunggu." Hening mengeraskan suaranya hingga Qinara menoleh dan wanita itu juga menatapnya.
"Qinara pulang sama siapa? Ayah enggak jemput?" Spontan pertanyaan itu Hening ucapkan karena wanita yang menjemputnya Qinara bukanlah Meisya.
"Ayah sibuk, Bu Guru, ini Mbak Erni." Wanita yang disebut namanya oleh Qinara tersenyum sambil mengangguk memberi hormat, Hening balas tersenyum agak kikuk saat menyadari. apa yang telah ia lakukan.
"Ya sudah, Qinara hati-hati," pungkas Hening, Qinara mengangguk ceria lalu menaiki boncengan motor matic berwarna hitam itu, tidak menunggu waktu lama Erni melakukan kendaraannya, hari ini Meisya tidak meneleponnya dan mengatakan akan menjemput Qinara begitupun dengan Naka, maka dari itu sudah menjadi tugasnya untuk menjemput Qinara.
"Bu Hening, Bu Hening tidak perlu khawatir seperti itu. Semua yang menjemput murid-murid sekolah ini adalah orang-orang yang sudah didaftarkan saat pendaftaran sekolah, baik itu ayah, ibu, atau pengasuh mereka." Seorang satpam menghampiri dirinya yang masih mematung.
"Iya," jawab Hening singkat lalu kembali berjalan ke parkiran untuk mengambil mobilnya, Hening bukan tidak tahu aturan sekolah itu tetapi memang dirinya hanya ingin mengetahui sesuatu.
Mengapa Naka tidak menjemput putrinya? Tanpa Hening sadari hal itu membuatnya merasa kecewa.
* Dita Andriyani *
"Hei, anak ayah belum tidur?" Naka mengambil alih Qeila dari gendongan sang pengasuh.
"Ayah ... ayah ...." batita cantik yang belum begitu lancar berbicara itu berceloteh dengan gembira ia menciumi pipi sang Ayah, lalu tertawa karena merasa geli akibat bulu-bulu yang tumbuh di dagu dan sebagian pipi lelaki yang sedang menimang-nimangnya.
Rasa sedih dan prihatin begitu Naka rasa jika sedang menatap Qeila, anak itu begitu kurang merasakan kasih sayang sang ibu, Ibunya mulai sakit-sakitan sejak melahirkan dirinya. Jika dibandingkan Qinara jauh lebih beruntung, setidaknya gadis itu sempat merasakan pengasuhan sang ibu, berbeda dengan Qeila.
"Qeila sudah makan?" tanya Naka pada sang putri, gadis itu terlihat lucu, mulut mungilnya membuka sebelum menjawab pertanyaan sang ayah. Menguap.
"Mamam, dah," jawab Qeila, ia sudah makan, Naka mengetahui apa maksud perkataan putri kecilnya itu.
"Qeila udah ngantuk?" tanya Naka saat melihat sang putri menguap dengan mata sedikit berair.
"Su ... su," pinta bocah kecil itu sambil mengulum telunjuk mungilnya.
"Mbak, tolong buatin s**u, ya, biar saya yang ngelonin Qeila," pinta Naka pada Tini yang berdiri tidak jauh darinya.
"Iya, Pak." Wanita itu segera menuju dapur sementara Naka membawa putrinya ke kamar.
.
"Qeila, Sayang, ayah tidak anak meminta kamu menjadi anak yang kuat dalam menjalani kehidupan yang tidak sempurna ini. Ayah tau, kamu adalah seorang anak kecil yang hanya harus merasa bahagia dan ayah akan selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk membuat kamu bahagia meski tanpa seorang Ibu. Ayah hanya ingin kamu berdoa agar Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk kita," bisik Naka lirih, kedua mata Qeila perlahan mulai sayu dengan bibir mungil yang menyedot s**u dari sebuah botol.
Seolah-olah mata kecil itu berbicara jika dirinya adalah anak yang kuat meski ayahnya tidak pernah meminta.
Naka menoleh saat mendengar pintu kamar terbuka, ia tahu jika pasti bukan Mbak Tini yang melakukannya, pegawainya itu tidak berani memasuki kamar Qeila jika sedang ada dirinya kecuali diminta. Lelaki itu tersenyum melihat Qinara berjalan mendekat, agak berjingkat karena tahu sang adik akan tidur, biasanya jam segini Qeila memang sudah tidur.
"Dedek Qei, sudah tidur, Yah?" tanya Qinara setengah berbisik, ia menaiki ranjang dan duduk di belakang tubuh sang ayah yang sedang menina bobokan Qeila.
"Sebentar lagi," jawab Naka sambil menepuk-nepuk kaki Qeila.
"Ayah, aku ada PR, aku mau ngerjain sama ayah," bisik Qinara, tangan mungil itu memang memegang sebuah buku sejak memasuki kamar tadi.
"Iya, Sayang. Tapi ... Qinara sudah makan?" tanya Naka, masih dengan suara pelan meski Qeila sudah sepenuhnya terpejam.
"Udah, tadi aku makan sama Dedek Qei," jawab gadis kecil yang sudah mengenakan piyamanya.
Biasanya dia akan mengerjakan pekerjaan rumah yang gurunya berikan dengan Mbak Erni tetapi kadang kala ia juga akan menunggu sampai sang ayah pulang bekerja seperti sekarang meski sudah menjelang malam.
"Oke, sekarang kita kerjakan soal-soal itu, ya," ujar Naka sambil beringsut turun dari ranjang saat merasa Qeila sudah lelap dalam tidurnya, Qinara melakukan hal yang sama.
Naka memanggil Mbak Tini untuk menemani Qeila yang sudah lelap sebelum membantu Qinara mengerjakan tugasnya.
.
"Ada tugas apa, Sayang?" tanya Naka saat Qinara sedang mengambil sebuah buku tulis dari dalam tasnya.
"Ini, Yah, bahasa Indonesia. Soalnya ada lima," jawab Qinara sambil menunjuk buku pelajarannya, Naka yang duduk di sebelah sang putri memperhatikan semua yang tertulis di buku itu.
"Sekarang Qinara baca dulu, fahami makna cerita ini, terus nanti jawaban dari pertanyaan itu ada di dalam cerita ini. Nanti kalau ada yang enggak Qinara fahami bisa tanya Ayah," ujar Naka yang hanya menempatkan dirinya sebagai pendamping pembelajaran putrinya, lalu memintanya memikirkan yang benar jika pemikiran awal Qinara salah, bukan memberitahu semua jawaban dan membiarkannya gadis kecil itu tidak belajar.
"Iya, Ayah," jawab Qinara yang lalu membaca sebuah cerita yang ada di buku pelajarannya.
Dalam diam Naka membelai rambut panjang sang putri, jika mau dipikirkan atau dibandingkan, Qinara juga memiliki ketidak beruntungan besar dalam hidupnya. Karena bahkan sebelum gadis kecil itu lahir ke dunia ini pun, laki-laki yang telah menyebabkan dirinya ada telah menolaknya seolah Qinara hanya sebuah noda yang tidak ada harganya, padahal dia hanya anugerah yang tidak berdosa.
Hal itu yang membuat dirinya terus berjanji jika menyayangi Qinara dan Qeila adalah hal yang utama, tidak ada bedanya.
"Ayah, Ayah tau enggak. Tadi, pas aku mau pulang sama Mbak Erni, Bu Guru Hening ngejar-ngejar aku sampe depan gerbang," ujar Qinara, ia gadis itu berhenti membaca buku saat tiba-tiba teringat hal itu, mendengarnya Naka mengerutkan kening tiba-tiba juga ia merasa sangat tertarik mendengarnya.
"Kenapa?" tanya Naka sambil memperhatikan raut wajah sang putri yang terlihat ceria, seperti apa yang akan ia katakan adalah hal yang lucu.
"Bu Hening nanyain Ayah," jawab Qinara yang sudah kembali menatap bukunya bahkan tangannya sudah siap menuliskan sebuah jawaban.
"Hening ...."