BAB 8 : Pekerjaan Rasa Hukuman
Candy tercengang. Akhirnya mereka sampai tempat tujuan yang ternyata tidak lain adalah kediaman utama keluarga Nars yang lebih terlihat seperti mansion megah. Candy entah mengapa merasa bahwa dia akan mengalami hal buruk.
Mereka bertiga memasuki rumah mewah itu setelah pintu dibukakan oleh asisten rumah tangga yang berseragam maid. Candy terus memperhatikan seragam mereka dan entah mengapa dia merasakan hawa tidak enak.
Benar saja. Baru beberapa langkah Candy akhirnya melihat Ryan berbalik dan menatap Candy lekat-lekat. “Kasih dia seragam” Ryan langsung kembali berjalan diikuti oleh Barsh. Candy tidak bisa berkata-kata, dia benar-benar merasa dipecundangi habis-habisan.
“Pak bos”. Cicilan kecil lolos dari bibir Candy.
Ryan yang sedang menatap layar laptop di teras tampak sedikit terusik saat suara panggilan Candy terus bergema. “Apa sih?” Ryan menoleh, sesaat terpaku saat melihat tampilan Candy dengan seragam Maidnya. Entah mengapa Ryan merasa dia sangat cocok dengan seragam itu, bukan aneh dan terlihat rendahan. Candy malah terlihat semakin cantik.
Ryan langsung menggeleng kecil. “Wah lo emang cocok yah pake baju rendahan” Candy menghela nafas kesal, melirik Barsh yang masih berdiri di samping Ryan. Seolah tau Candy benar-benar menahan diri untuk tidak menyerang sang tuan.
“Cuci mobil gue” Candy menatap tangannya. Pasrah jika dia harus mencuci mobil sekarang ini. “Yang mana?” Ryan menunjuk bagasi panjang yang menempel dengan tembok, menyajikan barisan mobil yang tertata rapi menghadap rumah.
“Iya yang mana?” Ryan mengangkat kepalanya menatap Candy malas. “Semuanya punya gue b**o, yang bagasi sebelah kiri baru punya bokap sama nyokap gue”. Candy lupa menutup mulutnya, refleks dia menunjuk barisan mobil itu dan mulai menghitung.
“16 gila ajah kapan kelarnya” Ryan menatap Candy yang masih tampak sulit mencerna apa yang dilihatnya entah mengapa menyusahkan Candy tampaknya akan menjadi hobi baru baginya. “Biar cepet kelar yah cepet kerjain lah b**o” Candy meringis dan mulai berlari menuju bagasi mobil yang cukup jauh di depanya.
“Sial banget, awas ajah si Barsh itu ga ada gue kasih pelajaran” Candy masih mengumpat meski kakinya masih berlari dan menghampiri salah satu mobil di sana. Mulai menyirami mobil itu secara asal dan menggosoknya dengan air sabun.
Terlihat jelas bahwa Candy belum pernah melakukan hal ini sebelumnya sampai-sampai pekerjaan yang dilakukan terlihat begitu berantakan dan membuat pakaian nya basah sana-sini.
Candy bertolak pinggang, merasa benar-benar pegal dengan pekerjaan yang dilakukannya. Padahal dia baru mencuci enam mobil dan masih ada sepuluh lainya yang menanti. Candy duduk di pijakan kaki pada mobil yang tampaknya dipakai untuk jalanan terjal atau semacamnya.
Meluruskan kakinya, gadis itu masih memegang selang di tangan dan memejamkan mata sambil bersandar. “Kalo kaya gini gue harus minta kenaikan gaji” gumam gadis itu sebelum terlelap dalam tidurnya.
Ryan terlalu asik bekerja sampai tidak sadar dengan langit yang sudah mulai gelap. Pria itu melihat ke arah bagasi dan melihat siluet sosok yang tampaknya tertidur di sana. Ryan berjalan menghampiri tersenyum kecil saat melihat penampilan Candy yang amat berantakan dengan rambut dan pakaian yang basah, meski tampak mulai berangsur mengering.
Ryan semakin tersenyum—memutar selang membuat air mengalir dan langsung menyemprot pada wajah Candy. Membuat gadis itu berteriak terkejut, menatap Ryan kesal dan melempar selang ke sembarang arah.
“Lo ga bikin mobil gue tambah bersih malah bikin kotor ajah, kayaknya emang ga ada yang bisa lo lakuin selain godain orang yah. Dasar lacur” Candy menata Ryan langsung. “Apa alesan lo ngomong kaya gitu?” Ryan semakin tersenyum meremehkan.
“Selama kuliah gue denger lo nempel sama cowok dan ngebuat nilai lo jadi sebagus sekarang. Kalo bukan lacur penggoda trus apa hem?” Candy sedikit tersenyum. “Ah, Rafael? Lagian kalo dia gue manfaatin yah salah dia sendiri kenapa sampe ga sadar dimanfaatin” Candy kembali tersenyum kecil.
“Jam kerja gue udah abis, gue pulang” Candy tidak peduli lagi. Ia langsung menuju gerbang tanpa membawa tas dan berganti pakaian terlebih dahulu. Ia merasa benar-benar muak dengan semua sikap dan perkataan Ryan.
Candy tidak tau lagi, apa dia bisa bertahan atau tidak.
Menghadapi Ryan adalah siksaan terberat untuknya.
* * *
“Aku pulang” Candy berseru pelan membuat sang ayah langsung menghampiri dan menariknya duduk. Dia memang pulang selarut ini namun itu karena dia mampir ke rumah Salsa untuk meminjam pakaian, untung pakaian adik Salsa pas di tubuhnya.
“Jelasin” Ayah Candy tidak ingin basa-basi lagi. “Oh aku ikut tes di kampus dan gitu ajah keterima jadi asisten sekretaris wakil direktur Nars Group. Lagian aku ga mau juga nganggur lama-lama jadi yah aku terima” Ayah Candy mengangguk mengerti.
Pria lemah lembut itu menyentuh lembut kepala Candy “Yaudah kamu istirahat sana” Candy mengangguk dan beranjak menuju kamarnya sebelum berbalik saat ayahnya memanggil.
“Bie, maaf” Candy mengangguk. “Aku juga minta maaf karena kebawa emosi” Ayah Candy kembali mengangguk paham dan Candy kembali menuju kamarnya. Merebahkan tubuhnya yang benar-benar ingin beristirahat.
Belum pernah ia merasa selelah ini meski harus latihan seharian sekalipun.
Ryan benar-benar manusia menjengkelkan yang membawa malapetaka untuknya.
* * *
Salah seorang pelayan menghampiri Ryan. Membungkuk hormat saat sang tuan hendak masuk mobil. “Tuan ini adalah pakaian nona tadi” pelayan itu memberi Ryan bingkisan yang berisi pakaian dan tas Candy.
Ryan menerimanya, melemparnya ke dalam mobil. “Nyonya dan Tuan akan sampai besok pagi, nyonya berpesan bahwa anda harus ikut sarapan bersama beliau” Ryan menghela nafas dan mengangguk.
Pelayan itu juga memberikan sebuah keranjang dengan hewan berbulu hitam lebat di dalamnya. “Michalina Caroline Ingrid sudah baik-baik saja. Dokter sudah memberikan vitamin agar Caroline tidak mudah sakit lagi”.
Ryan tampak tersenyum sempurna saat melihat sosok berbulu hitam dalam keranjang itu. Ia langsung mengambil dan memasukan binatang itu ke dalam mobil.
Akhirnya Ryan kini benar-benar masuk ke dalam mobil dan langsung melaju menuju penthouse pribadinya. Ryan memang menyetir sendiri karena Barsh sudah disuruhnya untuk pulang. Barsh itu hampir 24 jam selalu menguntitnya. Terkadang Ryan bertanya apa orang itu tidak lelah dan ingin beristirahat?.
Entah terlalu konsisten dengan pekerjaannya atau apa Ryan juga tidak mau terlalu ambil pusing, toh memang itu juga yang menjadi pekerjaanya.
Tidak butuh waktu lama Ryan sudah tiba di tempat tujuan, dengan malas ia melirik barang-barang Candy dan mendesah pelan.
“Bodo lah, biar orangnya sendiri ajah yang ngambil”.