7

1049 Words
Aku terbangun ketika mendengar suara gedoran. Terduduk saat itu juga. Aku tidak sempat untuk menghiraukan pening yang terjadi akibat bangun yang tiba-tiba. Aku menyadari Abe juga sudah terbangun. Dan ia membuatku kesal dengan hanya duduk memandangi zombi-zombi marah yang saat ini sedang mencoba memecahkan kaca jendela mobil kami. Berani benar mereka mengganggu tidurku?! Aku mendesis, melompat di antara dua kursi depan untuk duduk di balik roda kemudi. Mobil ini tentu saja manual dengan tiga pedal diikuti bunyi mesin yang mengkhawatirkan ketika aku mencoba memutar kuncinya. Tanganku bergetar, kakiku menginjak pedal dengan putus asa. Gedoran itu makin keras dan salah satu zombi wanta berambut merah lepek bahkan mencoba menghancurkan kaca mobil di sebelahku dengan menggunakan dahinya. Secara mengejutkan akhirnya mobil ini meraung hidup setelah berkali-kali memutar kunci. Lampunya menyala terang, membuat pra zombi yang berkumpul di depan kap mobil terhuyung ke belakang. Aku menarik perseneling, menginjak pedal gas se dalam-dalamnya membuat mobil langsung melesat ke depan. Menghantam punggungku ke sandaran kursi.   Dua zombi terpental jauh. Aku bahkan mungkin menggilas satu-dua. Aku tidak peduli. Bahkan ketika Abe sekali lagi memandangi wajahku dengan intens. Aku menyetir dengan kecepatan penuh yang bisa ditanggung oleh mobil ini. Ketika rasanya kami sudah cukup jauh aku menginjak pedal rem kuat-kuat hingga membuat mobil ban berdecit nyaring. Kami nyaris menabrak sebuah mobil yang  terparkir tepat dihadapan kami. Uap panas yang keluar dari kap mobil mengaburkan pandangan di depan... Aku merasakan napasku memburu dengan d**a yang entah kenapa terasa begitu sesak. Sambil mencengkeram roda kemudi erat-erat dengan kedua tangan... “Ceritakan padaku bagaimana hubunganmu dengan abangmu?” Aku menoleh ke arahnya lengkap dengan pandangan tidak percaya. “Apa?” “Kau dan abangmu? Bagaimana bisa ia memanggilmu dengan... anak sapi?” Jika Abe berpikir bahwa ia ingin mengalihkan perhatianku dengan mengajukan pertanyaan itu. Dan ia berhasil arena sekarang aku tertawa kecil. “Sebelum aku bisa setampan ini aku sempat mengalami obesitas ketika masih kecil. Itulah alasan kenapa Alec memanggilku dengan anak sapi.”  “Apa kau masih menyayanginya setelah ia memanggilmu seperti itu?” Aku menyeringai. “Kau jelas anak tunggal.” Perlahan aku kembali duduk tegak. Ketengangan yang sempat kurasakan perlahan mengendur. Lalu tiba-tiba aku menyadari sesuatu. “Kau terus bertanya tentang diriku. Lalu bagaimana denganmu? Siapa yang ingin kau temui di Piedmont?” “Orang-orang penting.” Abe sambil memperbaiki duduknya dan ia memejamkan mata. “Hari masih gelap. Bukannya kita masih harus beristirahat?” Tanpa mengatakan appaun lagi Abe menolehkan wajahnya ke arah lain. Jelas-jelas menghindariku. Aku mendengus tidak percaya. Setelah memastikan bahwa kami benar-benar jauh dari serangan zombi dadakan lagi. Aku menarik tuas kursi agar aku bisa berbaring. Melirik ke arah tas besar dan pedangku yang tergeletak menyedihkan di lantai mobil sebelum mengeluarkan ponsel pribadiku lagi. Aku lupa bagaimana caranya aku masih bisa mendapatkan pesan dari Alec tadi? Bar sinyal di ponselku sekarang kosong sebelum akhirnya aku membuka galeri foto. Ada banyak foto yang dikirm oleh orangtuaku, Alec dan kebuh anggurnya, dan aku yang sering meng-spam mereka dengan banyak foto selfie hampir setiap hari. Tidak sengaja aku menemukan salah satu foto ketika kami merayakan ?Thanksgiving di rumah Alec. Istrinya tampak sangat cantik dengan gaun putih. Aku ingat aku mengomentari wanita itu seperti hantu yang sangat cocok menggentayangi rumah peternakan. Sebagai hadianya aku mendapatkan tamparan keras di belakang kepala dari ibuku. Foto itu sangat membantu membuatku jauh lebih rileks dan aku tidak ingin membuang baterai ponselku lebih lama lagi. Jadi kumatikan ponsel itu kembali dan mengikuti jejak Abe untu kembali tidur. Besok adalah hari yang panjang. Aku harus cukup tidur untuk mengadapi apapun yang hari panjang besok itu suguhkan padaku. *** Sekali lagi aku terbangun dengan Abe yang sedang memandangi wajahku. “Pagi,” sapaku serak dan Abe masih tidak bergerak. “Kenapa? Ada yag salah dengan wajahku?” Abe menggeleng. “Dia bisa memberimu wajah apapun dan Dia memilih wajah ini untukmu.” “Maaf?” Aku mencoba duduk tegak sambil mengucek-ucek mata. Jelas Abe masih sama setengah sadarnya denganku. “Siapa Dia yang kau maksud? Apa aku mengiler?” Bibir Abe menipis. “Seseorang yang sama sekali kau tidak kenal. Dan tidak. Kau tidak mengiler.” Aku sama sekali tidak ingin menebak apa yang ia maksud. “Tidak ada siapapun. Mari kita menghirup udara sejuk sejenak sebelum melanjutkan perjalanan melelahkan ini.” Setelah meraih pedang di belakang kursi Abe, aku membuka pintu lebih dulu dan langsung disambut dengan terpaan udara dingin membuatku merinding dan merapatkan jaketku. Deskan alam datang tiba-tiba membuatku berteriak, “Aku ingin buang air. Dan tolong jangan berkeliaran terlalu jauh. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan akibat kebiasaan sebelum memasuki pepohonan yang ada di sisi jalan. Agak kesulitan membuka resleting celana akibat tali sarung pedang yang melintang di badan dan berusaha secepatnya menyelesaikan urusanku. Aku menoleh dari atas bahu ketika meyadari puncak kepala Abe tiba-tiba menghilang di balik mobil. Membuatku bertanya-tanya. Sekali lagi melihat ke kiri dan ke kanan sebelum menyeberang dan memutari mobil SUV tua kami dan sekarang aku mendapati Abe sedang berjongkok. Hal pertama yang menarik perhatianku adalah warna sepatunya yang sangat kontras dengan pakaian dan warna kulitnya yang kecokelatan. Lalu akhirnya pandangan jatuh kepada apa yang sedang Abe pandangi sedari tadi.  Sesuatu yang mencuat di antara ban depan dan bemper . Aku mengerjap begitu menyadari apa itu. Sebuah lengan dengan secarik ujung pakaian yang masih melekat terjepit di sana. Saat itu juga datang keinginan untuk muntah. Belum lagi ditambah dengan hawa dingin dan perut yang kosong. Aku tidak sempat melarang Abe yang malah menjulurkan tangan ke arah jemari tangan itu, menjabatnya mantap. Sebuah senyum terlukis di wajahnya. Namun aku tidak tahu jenis senyum apa itu. “Tewas akibat wabah seperti mati di medan perang. Bukan begitu, James?” Abe sekarang menoleh padaku. Masih dengan senyum yang sama dan tangan yang menjabat tangan seseorang yang putus. Zombi. Aku tidak yakin jika siapapun yang kehilangan tangan itu masih bisa disebut sebagai seseorang atau tidak/ Pemandangan itu benar-benar menggangguku. “Tolong kau lakukan sesuatu dengan tangan itu dan berhenti memanggiku dengan James...” “James. Namamu James. Pemberian orangtuamu. Seharusnya kau menyukainya.” Abe kemudian bangkit. Tangan itu masih bertaut di tangannya. “Kita harus menguburnya.” Abe memutar melalui bagian depan mobil dengan tangan hingga lengan itu berayun di samping tubuhnya. Aku tidak tahu apa aku harus mengikutinya apa tidak. Tapi Abe sudah menyeberang jalan menuju pepohonan... ***      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD