8

1003 Words
Hal yang terjadi di depan mataku ini jauh lebih aneh dari kostum Wabah Hitam yang aku lihat bberapa hari lalu itu. Abe menggali tanah dengan tangannya. Ia sama sekali tidak meminta bantuanku dan aku sama sekali tidak tidak berniat membantu. Diletakkan tangan itu di dalam lubang dengan sangat lembut. “Pria baik,” bisik Abe diantara desir angin dingin yang membuatku merinding dari puncak kepala hingga ke seluruh tubuh. Lalu Abe terlihat menunduk sebelum menimbun tangan itu dengan jemarinya yang sangat panjang. Aku menyaksikan semua itu dengan terkesima. Antara takjub dan ngeri karena Abe melakukan itu semua dengan keseriusan yang luar biasa. Tidak ada kesan main-main atau apapun. Seperti ia benar-benar mengenal siapapun pemilik tangan dan lengan itu. Abe kemudian bangkit. Berjalan mundur sampai kami berdiri saling bersisian. Abe sekali lagi melirik ke arahku sebelum berbalik badan dan pergi. Cepat-cepat aku mengikutinya. Aku terengah menghampiri Abe yang hanya berdiri menunggu di samping mobil. Tangannya masih kotor akibat tanah dan ia tidak tampak terganggu karenanya. Sebelum aku sempat mengatakan apapun aku malah bersin hebat hingga membuat burung-burung gagak terkejut dan mengeluarkan suara dibalik pepohan. “Semoga kau diberkati,” Abe dengan ekspresi datar yang sama sekali tidak sebanding dengan wajahnya yang kekanakan. “Dan kau menakuti binatang,” komentarnya dengan suara baritonnya yang dalam. “Terimakasih atas informasinya,” jawabku sambil menggosok-gosok hidungku yang masih gatal. “Dan kita butuh sarapan. Aku lapar sekali.” Abe mengikuti menuju bagian belakang mobil. Di dalam bagasi mobil masih ada satu bungkus keripik dan sebungus biskuit gandum di dalam tas piknik dan beberapa buah yang membusuk mungkin akibat mobil yang sempat terparkir di tengah-tengah sinar matahari. Menyedihkan, tapi bisa menjadi bekal yang lumayan. Jadi setelah melepaskan sarung pedang dan menaruhnya di dekat tempat dudukku. Aku merangkak masuk untuk mengambil tas besarku dibagian tengah mobil. MRE keluaran marinir yang pernah aku review di salah satu live streaming-ku. Isinya adalah dua lembar roti tortillas dan tumis daging kalkun. Makanan yang masih enak walah dimakan dalam keadaan dingin. Sebelum aku sempat melakukan apapun aku mengelap tanganku dengan tisu basah dari dalam tas. Apapun yang terjai dengan dunia ini aku bersumpah aku tidak akan berubah menjadi orang bar-bar yang melupakan kebersihan. Abe mengawasiku menyiapkan sarapan kami dengan pandangan intens. Karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi di depannya. Aku hanya membuat satu tortillas dan membaginya jadi dua. Namun belum sempat ia mengambil bagiannya aku menarik kembali tanganku. “Kau mau makan dengan tangan seperti itu?” Abe yang sepertinya benar-benar melupakan apa yang baru saja ia lakukan dengan tangannya karena ia sekarang menandanginya dengan dahi mengerut dalam. Aku mengerang pelan. Menarik keluar satu tisu basah dan meraih pergelangan tangannya. Kuelap tangan itu hingga bersih dan ternyata untuk mendapatkan itu perlu lebih dari satu lembar tisu basah. “Kenapa kau melakukannya?” tanya Abe dengan setengah potong tortilla di dalam tangannya sekarang. “Apa? tanyaku dengan mulut penuh. “Kenapa seseorang bisa begitu baik bahkan setelah mengalami banyak pengkhianatan dalam hidupnya?” Perkatannya membuatku bingung. “Kau baru saja mengubur lengan seseorang yang sama sekali tidak kau kenal, Abe.” Abe menggeleng. “Jangan hitung aku. Aku memang ditakdirkan seperti itu.” Abe selalu mengatakan sesuatu yang membuat dirinya tidak terdengar seperti manusia. Well, ia adlah orang pertama yang kukatakan tampan selain diriku sendiri. Abe selalu bertingkah seperti ia adalah anak sekolah yang bertahun-tahun tinggal di asrama dan ini kali pertama ia menghadapi dunia yang sebenarnya. Kalau boleh jujur. Ia memang tampak seperti anak orang kaya. “Makanlah lebih dulu. Perut kenanyang bisa membuatmu berpikir lebih baik.   Aku mengawasi Abe yang tampak ragu-ragu dengan makanannya. Seluruh ekspresinya menunjukkan kalau ia memag tidak pernah makan makanan seperti itu. Aku menahan tawa melihatnya berusaha menelan setengah potong tortilla dingin itu. “Jadi, kau tidak pernah memberitahuku bagaimana kau bisa kehilangan sepatumu, tanyaku setelah tortilla bagianku sudah habis. “Karena aku tidak pernah membutuhkannya sebelumnya.” Abe masih berusaha untuk menghabiskan bagiannya. “Tapi kau tidak mungkin tidak membutuhkannya setiap saat.” Dari cara Abe menelan makanannya ia tampak seperti menalan pasir. “Kau tidak perlu cemas dengan keadaanku. Kau mestinya lebih memikirkan dirimu sendiri.” “Namun jika aku hanya memikirkan diriku sendiri aku tidak akan mau membawamu serta ikut denganku” Abe akhirnya berhasil menghabiskan bagiannya. Namun dengan wajah yang masih mengerut dalam ia menanggapi perkataanku dengan, “Tidak. Seberapapun besarnya keinginan kau untuk menolakku. Pada akhirnya kau akan membawaku bersamamu. Kita punya tujuan yang samam benar? Dan hatimu tahu itu sama sekali bukan hal yang benar untuk dilakukan.” Kepercayaan dirinyalah yang menggangguku. Abe sangat yakin kalau aku tidak akan meninggalkannya begitu saja dalam perjalanan ini.   “Kau kesepian. Akui sajalah. Dan perjalanan seperti ini bukan perjalanan yang bisa dilewati seorang diri." Aku menari napas kasar. Setelah membersihkan tanganku dari sisa saos tortilla aku bangkit dengan menggenggam tangkai pedang dengan erat. Kesepian. Sudah lama aku tidak ingin memikirkan kata itu. Walau seberapa bahagianya aku sekarang sudah tinggal di tempatku sendiri dan dihujani oleh semua komentar pada konten-konten pekerjaanku. Aku tetap cemburu melihat seseorang tengah mengobrol dengan teman-temannya di kedai kopi atau pasangan yang saling memeluk di trotoar... "Cepat selesaikan makananmu. Perjalanan kita masih panjang." Abe sudah menyelesaikan makanannya dari tadi. Dan ia hanya mengelap tangannya di sisi celana putihnya yang tanpa noda. Aku menutup bagasi mobil lebih keras dari seharusnya dan Abe masih cukp tenang untuk duduk di samping kursi pengemudi. "Kau tahu, kau dan Alec bisa menjadi teman yang baik. Atau mungkin ayahku juga. Aku yakin itu. " kataku setelah berhasil menghidupkan mesin mobil. "Aku juga sudah tidak sabar untuk bertemu dengannya. " Tidak ada kesan sarkartis dalam suaranya. Dan karena itulah ia membuatku jauh lebih kesal. Aku menginjak pedal gas kuat-kuat hingga membuatnya berdecit nyaring di aspal. Abe masih tidak mengatakan apapun bahkan aku hampir saja menabrak salah satu mobil boks yang terparkir di tengah-tengah jalan. Orang asing mengatakan sesuatu yang aku bahkan hindari untuk dibahas dengan diriku sendiri di saat yang sama sekali tidak aku perkirakan saat ini. Dan sekarang orangnya sama sekali tidak tampak bersalah? ***      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD