Aku menegak habis air putih dari botol kemasan sebelum melemparkannya ke semak-semak di samping jalan bebas hambatan. Entah sudah berapa jauh perjalanan yang ditemouh dengan berjalan kaki ini. Sesekali aku memriksa sertas map yang sudah lusuh di tangan akibat diremas dengan tangan yang berkeringat.
Aku sudah mencoba semua mobil yang terparkir di pom bensin itu dan nihil. Pantas saja pria itu mengambil mobilku dengan sangat cepat. Setengah diriku bertanya-tanya bagaimana ia berhasil tetap hidup selama empat hari tanpa membawa apapun.
Satu-satunya hal yang patut disyukuri dari semua hal gila yang terjadi saat ini adalah penempatan waktu kedatangannya. Aku tidak bisa bayangkan jika semua ini terjadi di musim panas.
Tunggu. Aku rasa aku melupakan sesuatu.
Aku berbalik dan mendapati Abe juga berhenti melangkah. Balas memandangiku dengan dahi mengerut. Kedua tangannya berada di dalam saku celana. Hingga aku menyadari ia masih tidak memakai alas kaki. Jemari kakinya yang kotor dan hitam akibat aspal sekarang bergerak-gerak di bawah pipa celananya.
Pemandangan itu membuatku mengerang pelan.
Aku kemudian mengedarkan pandangan. Sebuah SUV tua terparkir tidak jauh dari kami.
“Ayo, kita butuh istirahat,” ajakku lalu mulai berlari. Walau jalanan bebas hambatan ini terlihat sepi. Aku takut jia tiba-tiba terjadi serangan zombi yang tidak disangka-sangka lagi. Apalagi dengan keadaanku yang lemas akibat muntah dan berjalan seharian.
Aku melirik melalui belakang bahuku dan entah kenapa merasa lega Abe mengikutiku rapat, namun masih tanpa mengatakan apapun. Aku membuka pintu penumpang di sebelah pengendi dan mendorong Abe masuk. Dahiku mengerut dalam begitu menyadari aku baru saja menyentuh punggung dengan otot-otot yang kuat, tidak sesuai dengan posturnya yang ramping.
Aku sendiri masuk ke kursi penumpang di belakang. Melepas tas besarku dan sarung pedang, melemparkannya di lantai mobil. Menarik napas panjang sambil meluruskan kaki di atas jok. Abe mengawasiku menyelip di antara kursinya dan kursi sopir untuk menekan tombol pengunci pintu. Tidak senagja aku melihat kunci mobil yang menggantung di sana.
Mudah-mudahan keberuntunganku masih ada, tapi aku masih terlalu lelah untuk mencobanya.
“Coba kita lihat apakah ada sesuatu yang bisa kita dapatkan di sini.”
Aku memulai pada bagian bagasi belakang mobil. Memekik senang begitu menyadari mobil ini berisi perlangkapan memancing, sebuah tas piknik, dan kotak es. Disudut bagasi terdapat sepasang sepatu boot kulit berwarna cokelat dengan tapak yang sangat tebal. Aku meraih sepatu itu lebih dulu dan sangking buru-burunya puncak kepalaku menubruk langit-langit mobil. Sambil menggosok-gosok puncak kepalaku aku menyerahkan sepatu itu ke dalam pelukan Abe.
Namun ia malah menatapku dengan pandangan penuh tanya.
Aku mengedikkan dagu ke arah sepatu itu. “Mungkin akan agak kebesaran.” Aku kembali memutar tubuh ke arah bagasi dan membuka tas piknik dan sekali lagi menemukan apa yang aku cari. Aku menarik keluar serbet kotak merah-putih dari dalam tas piknik. (Mengingatkanku akan perlengkapan mamasakku di apartemen.) Lalu membuka kotak es yang langsung menyerangku dengan bau apak es yang mencair. Membuat dua botol air putih dan beberapa kaleng bir mengapung-apung. Aku memabasahi serbet itu dengan air, memerasnya.
“Namun sebelumnya bersihkan kakimu dengan ini.”
Abe mengerjap. Ia malah tampak kebingungan. Memandangi kain basah yang ada di tangannya kemudian wajahku
“Apa? Apa kau tidak pernah melihat pria yang penuh kepedulian sebelumnya?”
Abe menggeleng. Ia menaruh sepatunya di atas jok pengemudi sebelum mengangkat satu kakinya di pangkuan dan mulai mengelap telapak kakinya “Aku hanya lebih sering menemui kepedulian dengan maksud lain di belakang. Itu saja.”
Aku mendengus keras, melemparkan kaki samping. Setengah berbaring dengan tas besarku yang menjadi bantal diantara pintu mobil. “Bukannya semua orang seperti itu. Contohnya saja pria yang mencuri mobil kita beberapa saat lalu.” Tiba-tiba teringat di dalam kotak piknik di belakang ada sekantong kripik kentang. Aku membukanya dan wangi barbeque langsung memenuhi seisi mobil tua ini.
Aku makan dalam diam. Sedangkan Abe masih sibuk membersihkan kakinya. Keheningan ini sangat canggung sehingga akhirnya aku memutuskan untuk memulai ber cerita sambil sesekali mengunyah keripik.
“Dulu ketika aku masih kecil, Dad dan abangku - Alec sering sekali mengotaak-atik mobil. Sedangkan aku dan ibuku menghabiskan waktu dengan membuat berbagai maca cemilan. Kalau tidka salah ingat dulu mobil ayahku mirip dengan mobil ini. Mom akan memarahi Dad karena setelah mereka mengotak-atiknya, pada akhrinya mobil itu akan berakhir di bengkel. Tapi Alec selalu membela ayahku. Katanya karena kegiatan itu adalah satu-satunya hal yang paling ditunggu ayahku setiap akhir pekan. Ketika pada akhirnya seluruh keluarganya berkumpul bersama.”
Aku menyeringai, melirik Abe yang sekarang tengah sibuk membersihkan kakinya yang satu lagi. “Menurutmu jika dulu aku bertanya tentang bagaimana menghidupkan mobil tanpa kunci apakah ayahku akan bersedia mengajariku apa tidak?”
Aku memandangi Abe yang mencoba sepatu yang sudah sangat jelas kebesaran di kakinya yang ramping. “Jika seseorang di masa lalu tahu apa yang akan terjadi sekarang. Aku rasa dunia akan jauh lebih hancur daripada ini. Manusia itu sangat suka mengkhiraukan masa depan.” Abe menoleh dari atas bahunya untuk memberiku senyum hingga kedua matanya menyipit. “Benar, kan?”
Aku memutar bola mata. Mengalihkan pandangan keluar jendela. Langit sudah mulai menguning, tanda senja akan datang sebentar lagi. Aku bergerak untuk mengaduk-aduk kotak es mengambil dua botol air. Walau besar sekali dorongan untuk menegak sekaleng bir. Aku rasa aku butuh tetap sadar selama aku belum sampai di rumah Alec.
Dan rasa-rasanya aku bisa menghabiskan satu tong anggur jika sudah sampai di sana.
Setelah hening yang panjang dan satu bungkus kripik yang habis, aku memutuskan untuk memeriksa ponsel pribadiku. Layarnya yang cerah membuatku mengerjapkan mata sejenak. Sebuah pesan suara masuk dengan nama Alec tiba-tiba muncul Aku memutarnya dnegan mendektkan ponsel ke telinga.
Apa kau memilih tinggal? Sebesar itukah kau benci dunia luar. Mom khawatir dan walaupun Dad tidak mengatakan mengatakan apapunn tapi ia selalu berkomentar tentang disegala kesempatan. Apalai ketika ia melihat anak sapi....
Sesegera itu juga aku memaki. Ingin sekali rasanya menonjok wajah Alec sekarang. Aku bersedia memberikan apapun yang aku punya sekarang untuk bisa melakukannya.
“Ada apa?” Abe bertanya setelah memperbaiki kursinya menjadi lebih santai.
“Seseorang yang menyebalkan.”
“Biar kutebak. Apa itu abangmu yang kau ceritakan dengan sayang tadi?” Entah kenapa aku bisa mendengar senyum dalam nada bicaranya.
“Yep! Dan ia baru saja membandingkanku dengan anak sapi.”
“Terlalu rumit. Hubungan kalian.”
Aku mendengus geli. “Apa kau anak tunggal?”
Abe sekarang menyelipkan kedua lengannya di belakang kepala sebagai bantal. “Tidak juga. Aku punya beberapa, tapi kami tidak saling mengurusi urusan yang lainnya.”
***