25

4091 Words
Sudah cukup. Aku tidak ingin melewati sesi pembakaran mayat lagi untuk hari ini.Jadi aku mencoba menenangkan diri dengan melihat-lihat isi rumah. Tidak seperti rumah peternakan Alec yang penuh dengan berbagai macam binatang, tempat pengolahan wine, dan sebagainya. Rumah ini hanya punya dua bangunan. Salah satunya tempat tinggal dan salah satunya adalah kandang kosong yang sepertinya sudah lama sekali tidak dipakai. Hanya berisi dengan jerami-jerami kering berserakan, tumpukan kayu bakar yang tidak tertata, dan sarang laba-laba di setiap sudut yang bisa kulihat.  Satu-satunya proteksi yang wanita itu lakukan untuk rumahnya hanya papan tipis yang ia paku disetiap jendela. Sedangkan pintunya sendiri hanya dipasang sebuah palang sederhana dengan paku yang dipasang sembarangan. Aku baru mengetahui kenapa ia melakukan semuanya seperti karena wanita itu tinggal di sini sendirian entah sudah sejak lama. Aku menemukan pigura foto pernikahan tergeletak di atas bantal di ranjang kamar utama. Dan aku tidak melihat mobil di manapun. Jadi aku menebak mereka berpisah sebelum semua kekacauan ini berlangsung dan sang suami tidak pernah kembali. Aku tidak bisa membayangkan betapa menderitanya ia... Dari celah jendela lantai dua rumah ini aku mendapati Abe berdiri memunggungiku dengan api yang membumbung tinggi di depannya. Keempat mayat tersebut tersembunyi dibalik tumpukan kayu bakar yang disusun Abe sedemikian rupa sehinga entah kenapa mengingatkanku pada acara pembakaran mayat di India. Abe tidak mengatakan apapun selama ia menyusun kayu-kayu itu. Ia juga bahkan tidak menahanu ketika aku langsung berbalik pergi begitu ia menyulut api di atas mayat-mayat itu. Aku meninggalkan pemandangan itu dan memutuskan untuk turun menuju dapur. Sebisa mungkin tidak melihat ke arah lantai yang bernoda darah kehitaman dan bekas muntah yang dilap sembarangan. Isi dapur milik wanita itu ternyata jauh lebih menyedihkan.  Nyaris tidak ada yang bisa dimakan kecuali beberapa bungkus biskuit gandum yang aku rasa ia makan sedikit demi sedikit. Kulkasnya berbau apak dan menusuk hidung ketika aku membukanya. Tidak ada yang bisa aku dapatkan dari rumah ini. Toh, tidak akan ada yang cukup bodoh untuk mengumpulkan harta di masa seperti ini. Dari betapa mengilat dan rapinya rumah ini dulunya. Aku tahu seisi rumah ini memakai perabot mahal. Kecuali jika wanita itu punya gudang senjata yang bisa dijarah. Dengan revolver tua miliknya itu aku ragu. Namun aku membuka setiap pintu yang ada. Mencoba semacam keberuntungan. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah senapan tergantung di balik lemari sepatu. Bahkan dengan dua kotak pelurunya yang besar. Senapan itu terlau besar untuk ukuran tubuh wanita itu. Ia akan terlempar ke belakang jika mencoba menembakkannya dan tidak memiliki kuda-kuda yang sesuai. Jadi aku mengambil senapan itu dan menyampirkan talinya di bahuku. Senapan dan sarung pedang sekarang saling beradu di belakang lenganku. Dua kotak peluru itu jelas cukup berat dari kelihatannya. Dengan penemuan itu dan juga revolver milik wanita itu berada dibalik lingkar pinggang celanaku. Aku memutuskan sudah waktunya kami pulang. Namun begitu aku berada di pekarangan rumah pertanian ini. Aku tidak menemukan Abe di manapun. Sisa-sisa asap pembakaran jasad membumbung tinggi di udara. Apinya sudah tidak terlihat. Sudah tidak ada lagi sisa jasad yang terlihat. Hanya ada abu hitam bertumpuk dan sisa belulang. Aku tidak ingin membayangkan jika suatu hari aku akan berakhir seperti itu. Dad-lah yang meminta kami untuk membakar jasad-jasad para zombi agar mereka tidak punya kesempatan untuk tiba-tiba bangkit dan melakukan apapun yang mereka lakukan sebelumnya.   Mobil kami terparkir disisi hutan yang lain. Dan sekrang aku menuju ke sana. Aku mencabut sisa anak panah yang masih menempel di batang pohon sebelum memungut folding bow dan tabung silinder yang masih di tempatnya. Aku mencoba mengedarkan padnangan lagid an masih tidak ada tanda-tanda Abe... Ia malaikat. Ia tahu bagaiana caranya pulang jika misalhnya aku memutuskan untuk meninggalkannya. Dengan bawaan yang begitu banyak aku menembus pepohonan untuk mencari jalan keluar. Suara langkahku diatas ranting dan dedaunan kering melatari suara nyanyian burung-burung. Aku terus berjalan menembus hutan dengan kepala menunduk ketika aku akhirnya mendengar suara yang aku kenali. “Kau salah jalan, ngomong-ngomong.” Aku mendongak dan mendapati Abe melayang tepat di atasku. Kedua sayapnya mengembang dengan sempurna hingga menutupi sinar matahari. Aku menyadari jika warna sayap Abe tidak benar-benar putih. Lebih ke arah abu-abuan, seperti sayap burung merpati. Setiap helainya sepertinya sama besarnya dnegan telapak tanganku. Ia juga masih memakai sepatu yang aku . berikan padanya waktu itu. Pakaiannya yang sangat kontras itu tidak mengurangi sikap penuh kuasanya dan pandangan merendahkan yang ia arahkan padaku. Pandangan yang sebenarnya aku sudah tahu kehadirannya sejak aku pertama kali mendapatinya memandangiku... Pelahan Abe turun dengan satu kali kepakan. Begitu kakinya menginjak tanah sayapnya menghilang saat itu juga. “Dari mana saja kau?” “Mencari udara segar.” Rambut ikalnya yang tampak jauh tidak rapi dari biasanya sekarang lebih tidak rapi lagi. Rambut itu sekarang telah menutup hingga bagian bawah alisnya. Aku memberinya tatapan penuh curiga. “Di atas sana jauh lebih baik daripad di bawah sini. Asal kau tahu saja.” “Kalau begitu kau pulang saja!” sungutku lalu melanjutkan jalan dengan semua bawaanku itu.. “Aku tidak bisa, James. Tugasku di sini belum selesai.” Abe mengejar hingga ia menghalangi jalanku. Sayapnya sekarang telah terlipat di belakang tubuhnya. Ujungnya menyembul di atas pundaknya. “Boleh kubantu?” Ia mengulurkan telapak tangannya. Bibirnya membentuk segaris tipis. Ia tetap pada posisinya hingga aku menyerahkan kotak peluru ke dalam tangannya. “Aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di dalam kepalamu, Abe. Tapi aku bisa menebak kau baru saja memberi laporan sama atasanmu, kan?” kataku setelah dua kotak itu telah berpindah tangan. Ia mengedikkan bahu. “Jangan mempertanyakan sesuatu yang yang kau sudah tahu jawabannya, James.” Ia kemudian berbalik badan dan aku terpana karena sayapnya itu masih ada di punggungnya. “Apa kau akan kembali dengan sayapmu masih terlihat seperti itu?” James memberi lirikan penuh persekongkolan dari ujung bahunya sebelum ia menggerakkan punggungnya dan sayapnya menghilang saat itu juga. Aku mengerjap-ngerjap. Seakan-akan sayap itu memang tidak pernah ada. Abe memimpin jalan dan aku masih terus memandangi punggungnya. Sesekali aku memerhatikan Abe memandang langit sambil sesekali melirik keadaanku di belakangnya. “Apa kau punya halo juga?” tanyaku lagi tanpa bisa kutahan. “Ada,” jawabnya setelah ia memutari balok kayu yang sangat besar dan aku mengikutinya. “Apa kau bisa menunjukkannya sekarang?” “Tidak. Halo hanya bisa terlihat di tempat-tempat khusus.” Sekarang Abe berhenti melangkah untuk menungguku berjalan bersisisan dengannya. “Sepertinya itu masih berat. Berikan senapan itu padaku.” Aku mengerutkan dahi. Namun kuserahkan juga senapan itu padanya. Begitu barang itu berpindah tangan Abe dengan gerakan secepat kilat sudah mengokang seapan itu dan mengacungkan corongnya ke arahku. Kami berdiri seperti itu hingga akhirnya ia tersenyum lebar. Menurunkan senapan ke samping tubuhnya. “Balasanku untuk kau yang mengacungkan panah padaku tadi.” Pandangan matanya malah menunjukkan bahwa jauh dalam hatinya ia sama sekali tidak bercanda. Aku bahkan tidak menyadari jika detak jantungku telah berpacu dengan cepat dan aku baru menarik napas begitu Abe menurunkan senapan dari wajahku.  Akhirnya kami menemukan mobil kami yang masih baik-baik saja. Aku mengedarkan pandangan dan mendapati kami satu-satunya manusia yang terlihat. Abe melemparkan semua bawaannya di kursi belakang dan ia duduk rapi di sebelah sopir. Aku memutari mobil dan memasukkan tabung silinder di atas jok dan gagang pedangku diletakkan di samping kursi pengemudi agar aku mudah menjangkaunya. Begitu aku memutar roda kemudi dan kembali ke jalanan, Abe membuka percakapan dengan. “Bagaimana menurutmu dengan kejadian yang menimpa wanita yang kita temui tadi?” Bayangan wajah penuh permohonn dari wanita itu berkelabat di mataku sejenak sebelum aku menanggapi dengan, “Tidak ada.” “Ayolah. Aku tahu kau punya pendapat soal itu. Apalagi setelah kau menelusuri isi rumahnya tadi.” “Kenapa pendapatku begitu berarti?” tanyaku kembali dan menyadari langit sudah mulai menggelap dengan awan hitam. Sebuah kilat menyabar di kejauhan menjadikannya tampak jauh lebih menyeramkan akibat padang hijau yang tidak berujung di kanan-kiri jalan daripada diantara pencakar langit New York. “Karena Tuhan menimbang banyak pendapat kalian daripada para malaikat. Kau ingat. Jadi bagaimana pendapatmu?” Sekarang Abe terdengar seperti para siswi sekolah menengah yang sedang menyampaikan gosip di kafetaria. Aku menghela napas panjang. “Aku rasa ia sengaja membuka pintu rumahnya dan menerima tamu-tamu itu. Namun berubah pikiran di tengah-tengah kejadian. Kalau tidak kenapa ia memeggang revolver itu? Dan ketika pikiran itu datang semua sudah terlambat.” “Benar, kan?” serunya dengan suara melenging. Ia benar-benar seperti seorang siswi si pembawa gosip yang beritanya ditanggapi sesuai dengan ekspektasinya. “Kenapa ia melakukan itu?” “Karena ia putus-asa. Karena ia tidak punya makanan apapun untuk bertahan lebih lama. Ia sendirian tanpa suaminya. Dan masih banyak lagi hal yang mungkin ia pertimbangkan sebelum membuka pintunya...” “Tapi ia bisa meminta bantuan?” “Kepada orang asing yang tinggalnya beberapa mil jauhnya. Kita adalah tetangga terdekatnya dan kita datang ke sini dengan mobil.” Aku menoleh ke arahnya dan mendapati Abe menggeleng-geleng. “Lalu bukannya kalian punya insting bertahan hidup yang lebih baik?” “Revolver itu buktinya, Abe. Apa kau lupa?” “Dan ia bisa saja menembaknya dan bertahan?!” Ia terdengar keras kepala sekarang “Ketika kau ketakutan kau akan melupakan segala hal yang kau rencanakan sebelumnya.” Lucu juga karena Abe memang terdengar tidak terima – atau lebih tepatya – tidak percaya dengan keputusan yang diambil oleh wanita itu. “Bunuh diri adalah hal yang paling tidak sukai yang pernah kalian lakukan di Bumi. Dan betapa mengerikannya Dia mengizinkan itu terjadi.” Aku tertawa keras sekali bertepatan dengan aku yang memutar untuk memasuki perkarangan rumah pertanian Alec. “Lucu juga seorang malaikat bisa mengatakan hal seperti itu.” “Jujur saja. Walaupun kami yang paling dekat dengan-Nya. Bukan berarti kami tahu semua apa yang sedang Dia rencanakan Semua orang tampak melakukan tugasnya masing-masing. Aku melihat Mom dan Brooke melanjutkan proyek mengerjakan pagar. Sedangkan aku tidak melihat Alec dan Dalla di manapun. Aku rasa mereka masih dalam tahap pemindahan angur yang telah diolah ke dalam tong-tong di belakang. Sedangkan Gray sedang berbaring di atas rumput dengan dua kakinya terlipat di bawah dagunya. Sama sekali tidak terpengaruh Ketika kami turun dengan barang bawaanku kami, Dad yangs edari tadi memerhatian kami dari kejauhan amat senang dengan senapan yang aku temukan. “Darimana kau dapatkan ini?” Aku bertukar pandang dengan Abe sebelum ia mengedikkan bahu dan kabur masuk ke rumah lebih dulu. “Ceritanya panjang, Dad. Nanti aku akan ceritakan.” Jadi aku menyimpan semua barang-barang itu di ruang tamu. Mengambil Glock 17-ku dari dalam tas selempang sebelum bergabung dengan tim yang mengerjakan pagar. “Kenapa kalian pergi jauh sekali hanya untuk berlatih menembak dan memanah?” Mom sambil memegangi papan yang sedang dipaku oleh Dad. “Permintaan Abe. Katanya ia butuh tempat yang sepi untuk mengajariku karena aku mudah teralihkan.” Dan entah kenapa aku malah bertukar pandang dengan Brooke yang sedang membawa papan lain untuk dipasang. “Yeah, aku setuju dengannya.” Dad mengedip ke arahku dan aku memutar bola mata. “Jadi apa sudah ada kemajuan dengan kemampuanmu?” Dad bertanya lagi sambil terus memukul-mukul paku. “Aku rasa lebih mudah mengatakan paling tidak aku tidak begitu buruk dari beberapa hari lalu.” Begitu Dad selesai Mom melepaskan sarung tangannya, melemparkannya ke dadaku yang refleks kutangkap kemudian berkata. “Aku harus menyiapkan makan malam dan seseorang harus membantuku.” Ia kemudian meraih lengan Brooke dan menariknya bersamanya. Kami para pria hanya bisa mengamati kepergian mereka dari kejauhan sebelum Dad mengerang panjang. “Well, sekarang tinggal kau dan aku. Dan mari kita selesaikan pagar sialan ini sebelum hujan turun.” Aku menggumam mengiyakan sambil memakai sarung tangan yang ditinggalkan padaku tadi. Dad dan aku bekerja dengan kecepatan yang bertambah seiring dengan suara petir yang terus menggelegar. “Aku tahu kau sangat terganggu dengan ide memegang dan membawa-bawa senjata dan menghabiskan banyak waktu diluar rumah seperti ini, James. Tapi dunia telah berubah. Kita semua berubah.” Dad sambil membantuku memasang papan pada kerangka pagar yang telah tertancap. “Yang benar kitalah yang dipaksa untuk berubah, Dad.” Dad menatapku dengan pandangan curiga sejenak sebelum berdecak-decak. "Astaga, tidak pernah terpikir olehku akan datang masa di mana aku akan mendengar kau berkata seperti itu. Apalagi bersedia untuk tidak memakai segala macam produk skincare entah untuk berapa lama nanti." Aku menghentakkan kaki sebagai bentuk protes dan itu membuat Dad terkekeh. Sebagai pria yang berusia akhir dua puluhan sikap seperti itu sama sekali tidak macho. Tapi peduli setan. Dunia akan kiamat sebentar lagi. Sebagai anak bungsu dalam keluarga ini aku punya privillage untuk melakukan itu. “Jangan sampai Brooke melihatmu bertingkah seperti tadi, oke?” Dad menepuk-nepuk pipiku sebelum memberiku geraman untuk melanjutkan pekerjaan kami lagi. *** Langit benar-benar gelap sekarang dan bau hujan sudah tercium di udara. Tinggal sedikit lagi kerangka pagar yang belum ditutup dan kami bekerja secepat yang kami bisa tanpa membuat tangan kami terpaku atau terpukul martil. Namun tinggal satu papan lagi dan hujan sudah turun tanpa aba-aba. Aku mendengar Dad memaki dalam bahasa ibunya sebelum menarik lenganku untuk berlari masuk ke rumah bersamanya. Kami benar-benar basah dari atas hingga bawah setelah menuutp pintu di belakang kami. Aku mendengar Mom menggerutu. Karena sepertinya Alec dan Dalla juga masuk dalam keadaan basah dari pintu belakang. “Jangan ke mana-mana. Kalian akan membasahi seluruh lantai!” Mom berteriak dan Brooke muncul dengan tumpukan handuk di dalam pelukannya. “Dan kalian harus mencuci pakalian kalian sendiri besok!” Dad dan aku mengucap terimakasih bersamaan setelah menerima handuk kami. Sama-sama mencoba untuk mengeringkan pakaian kami dari tetesan-tetesan air. Terdengar suara bersin dari ujung sana disela-sela suara petir yang menyambar. Setelah rasanya kami cukup kering aku membuka sepatuku dan melemparkannya di samping pintu. Membungkus diri dengan handuk basah. Hujan di musim gugur adalah sesuatu. “Dalla dan Alec akan memakai kamar mandi di atas.” Mom memberitahu kami sebelum memutar bola mata. Ia mengambil-alih handuk dari tangan Dad sebelum membantu suaminya mengeringkan rambutnya “Ayahmu akan mandi lebih dulu. Karena kau selalu mandi yang paling lama.” Aku menerima nasibku dengan tetap berdiri di depan pintu. Mengawasi punggung Mom yang mengantar suaminya ke kamar mandi.   “Kau mau duduk?” Brooke membawakanku kursi dari meja makan karena kursi tersebut terbuat dari kayu tanpa bantalan. Aku mengucapkan terimakasih lalu duduk di sana. “Jadi itu alasan Gray ikut masuk dengan kami. Dan juga Abe.” Suara hujan memang cukup keras tapi aku masih bisa mendengar Gray mengeong dari kejauhan seakan-akan mengejekku. Aku menyeringai. “Tidak ada pemanas di rumah ini. Ibumu berkata aku bisa menghidupkan perapian...” Namun aku sudah meraih tangan Brooke yang hangat. “Tinggal saja di sini.” Dan sekarang aku memegang tangannya dengan kedua tanganku. “Kau sudah cukup hangat untukku.” Hening lama dan tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Tidak ada keberadaan Abe di manapun. Jadi sekarang aku menempelkan dahiku di perut Brooke dan menikmati hangat tubuhnya disekitarku. “Kalau kau tidak sebasah ini. Aku mungkin akan memelukmu juga.” “Well, kita bisa melakukan itu nanti.” Brooke melepaskan satu tangannya untuk mencubit puncak telingaku lembut. Aku kembali menangkap tangannya dan kami tetap seperti itu.... Sudah cukup. Aku tidak ingin melewati sesi pembakaran mayat lagi. Jadi aku mencoba menenangkan diri dengan melihat-lihat isi rumah. Tidak seperti rumah peternakan Alec yang penuh dengan berbagai macam binatang, tempat pengolahan wine, dan sebagainya. Rumah ini hanya punya dua bangunan. Salah satunya tempat tinggal dan salah satunya adalah kandang kosong yang sepertinya sudah lama sekali tidak dipakai. Hanya berisi dengan jerami-jerami kering berserakan, tumpukan kayu bakar yang tidak tertata, dan sarang laba-laba di setiap sudut yang bisa kulihat.  Satu-satunya proteksi yang wanita itu lakukan untuk rumahnya hanya papan tipis yang ia paku disetiap jendela. Sedangkan pintunya sendiri hanya dipasang sebuah palang sederhana dengan paku yang dipasang sembarangan. Aku baru mengetahui kenapa ia melakukan semuanya seperti karena wanita itu tinggal di sini sendirian entah sudah sejak lama. Aku menemukan pigura foto pernikahan tergeletak di atas bantal di ranjang kamar utama. Dan aku tidak melihat mobil di manapun. Jadi aku menebak mereka berpisah sebelum semua kekacauan ini berlangsung dan sang suami tidak pernah kembali. Aku tidak bisa membayangkan betapa menderitanya ia... Dari celah jendela lantai dua rumah ini aku mendapati Abe berdiri memunggungiku dengan api yang membumbung tinggi di depannya. Keempat mayat tersebut tersembunyi dibalik tumpukan kayu bakar yang disusun Abe sedemikian rupa sehingga entah kenapa mengingatkanku pada acara pembakaran mayat di India. Abe tidak mengatakan apapun selama ia menyusun kayu-kayu itu. Ia juga bahkan tidak menahanku ketika aku langsung berbalik pergi begitu ia menyulut api di atas mayat-mayat itu. Aku meninggalkan pemandangan itu dan memutuskan untuk turun menuju dapur. Sebisa mungkin tidak melihat ke arah lantai yang bernoda darah kehitaman dan bekas muntah yang dilap sembarangan. Isi dapur milik wanita itu ternyata jauh lebih menyedihkan.  Nyaris tidak ada yang bisa dimakan kecuali beberapa bungkus biskuit gandum yang aku rasa ia makan sedikit demi sedikit. Kulkasnya berbau apak dan menusuk hidung ketika aku membukanya. Tidak ada yang bisa aku dapatkan dari rumah ini. Toh, tidak akan ada yang cukup bodoh untuk mengumpulkan harta di masa seperti ini. Dari betapa mengilat dan rapinya rumah ini dulunya. Aku tahu seisi rumah ini memakai perabot mahal. Kecuali jika wanita itu punya gudang senjata yang bisa dijarah. Dengan revolver tua miliknya itu aku ragu. Namun aku membuka setiap pintu yang ada. Mencoba semacam keberuntungan. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah senapan tergantung di balik lemari sepatu. Bahkan dengan dua kotak pelurunya yang besar. Senapan itu terlalu besar untuk ukuran tubuh wanita itu. Ia akan terlempar ke belakang jika mencoba menembakkannya dan tidak memiliki kuda-kuda yang sesuai. Jadi aku mengambil senapan itu dan menyampirkan talinya di bahuku. Senapan dan sarung pedang sekarang saling beradu di belakang lenganku. Dua kotak peluru itu jelas cukup berat dari kelihatannya. Dengan penemuan itu dan juga revolver milik wanita itu berada dibalik lingkar pinggang celanaku. Aku memutuskan sudah waktunya kami pulang. Namun begitu aku berada di pekarangan rumah pertanian ini. Aku tidak menemukan Abe di manapun. Sisa-sisa asap pembakaran jasad membumbung tinggi di udara. Apinya sudah tidak terlihat. Sudah tidak ada lagi sisa jasad yang terlihat. Hanya ada abu hitam bertumpuk dan sisa belulang. Aku tidak ingin membayangkan jika suatu hari aku akan berakhir seperti itu. Dad-lah yang meminta kami untuk membakar jasad-jasad para zombi agar mereka tidak punya kesempatan untuk tiba-tiba bangkit dan melakukan apapun yang mereka lakukan sebelumnya.   Mobil kami terparkir disisi hutan yang lain. Dan sekarang aku menuju ke sana. Aku mencabut sisa anak panah yang masih menempel di batang pohon sebelum memungut folding bow dan tabung silinder yang masih di tempatnya. Aku mencoba mengedarkan pandangan lagi dan masih tidak ada tanda-tanda Abe... Ia malaikat. Ia tahu bagaimana caranya pulang jika misalnya aku memutuskan untuk meninggalkannya. Dengan bawaan yang begitu banyak aku menembus pepohonan untuk mencari jalan keluar. Suara langkahku diatas ranting dan dedaunan kering melatari suara nyanyian burung-burung. Aku terus berjalan menembus hutan dengan kepala menunduk ketika aku akhirnya mendengar suara yang aku kenali. “Kau salah jalan, ngomong-ngomong.” Aku mendongak dan mendapati Abe melayang tepat di atasku. Kedua sayapnya mengembang dengan sempurna hingga menutupi sinar matahari. Aku menyadari jika warna sayap Abe tidak benar-benar putih. Lebih ke arah abu-abuan, seperti sayap burung merpati. Setiap helainya sepertinya sama besarnya dengan telapak tanganku. Ia juga masih memakai sepatu yang aku . berikan padanya waktu itu. Pakaiannya yang sangat kontras itu tidak mengurangi sikap penuh kuasanya dan pandangan merendahkan yang ia arahkan padaku. Pandangan yang sebenarnya aku sudah tahu kehadirannya sejak aku pertama kali mendapatinya memandangiku... Perlahan Abe turun dengan satu kali kepakan. Begitu kakinya menginjak tanah sayapnya menghilang saat itu juga. “Dari mana saja kau?” “Mencari udara segar.” Rambut ikalnya yang tampak jauh tidak rapi dari biasanya sekarang lebih tidak rapi lagi. Rambut itu sekarang telah menutup hingga bagian bawah alisnya. Aku memberinya tatapan penuh curiga. “Di atas sana jauh lebih baik daripada di bawah sini. Asal kau tahu saja.” “Kalau begitu kau pulang saja!” sungutku lalu melanjutkan jalan dengan semua bawaanku itu.... “Aku tidak bisa, James. Tugasku di sini belum selesai.” Abe mengejar hingga ia menghalangi jalanku. Sayapnya sekarang telah terlipat di belakang tubuhnya. Ujungnya menyembul di atas pundaknya. “Boleh kubantu?” Ia mengulurkan telapak tangannya. Bibirnya membentuk segaris tipis. Ia tetap pada posisinya hingga aku menyerahkan kotak peluru ke dalam tangannya. “Aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di dalam kepalamu, Abe. Tapi aku bisa menebak kau baru saja memberi laporan sama atasanmu, kan?” kataku setelah dua kotak itu telah berpindah tangan. Ia mengedikkan bahu. “Jangan mempertanyakan sesuatu yang yang kau sudah tahu jawabannya, James.” Ia kemudian berbalik badan dan aku terpana karena sayapnya itu masih ada di punggungnya. “Apa kau akan kembali dengan sayapmu masih terlihat seperti itu?” James memberi lirikan penuh persekongkolan dari ujung bahunya sebelum ia menggerakkan punggungnya dan sayapnya menghilang saat itu juga. Aku mengerjap-ngerjap. Seakan-akan sayap itu memang tidak pernah ada. Abe memimpin jalan dan aku masih terus memandangi punggungnya. Sesekali aku memerhatikan Abe memandang langit sambil sesekali melirik keadaanku di belakangnya. “Apa kau punya halo juga?” tanyaku lagi tanpa bisa kutahan. “Ada,” jawabnya setelah ia memutari balok kayu yang sangat besar dan aku mengikutinya. “Apa kau bisa menunjukkannya sekarang?” “Tidak. Halo hanya bisa terlihat di tempat-tempat khusus.” Sekarang Abe berhenti melangkah untuk menungguku berjalan bersisisan dengannya. “Sepertinya itu masih berat. Berikan senapan itu padaku.” Aku mengerutkan dahi. Namun kuserahkan juga senapan itu padanya. Begitu barang itu berpindah tangan Abe dengan gerakan secepat kilat sudah mengokang seapan itu dan mengacungkan corongnya ke arahku. Kami berdiri seperti itu hingga akhirnya ia tersenyum lebar. Menurunkan senapan ke samping tubuhnya. “Balasanku untuk kau yang mengacungkan panah padaku tadi.” Pandangan matanya malah menunjukkan bahwa jauh dalam hatinya ia sama sekali tidak bercanda. Aku bahkan tidak menyadari jika detak jantungku telah berpacu dengan cepat dan aku baru menarik napas begitu Abe menurunkan senapan dari wajahku.   Akhirnya kami menemukan mobil kami yang masih baik-baik saja. Aku mengedarkan pandangan dan mendapati kami satu-satunya manusia yang terlihat. Abe melemparkan semua bawaannya di kursi belakang dan ia duduk rapi di sebelah sopir. Aku memutari mobil dan memasukkan tabung silinder di atas jok dan gagang pedangku diletakkan di samping kursi pengemudi agar aku mudah menjangkaunya. Begitu aku memutar roda kemudi dan kembali ke jalanan, Abe membuka percakapan dengan. “Bagaimana menurutmu dengan kejadian yang menimpa wanita yang kita temui tadi?” Bayangan wajah penuh permohonn dari wanita itu berkelabat di mataku sejenak sebelum aku menanggapi dengan, “Tidak ada.” “Ayolah. Aku tahu kau punya pendapat soal itu. Apalagi setelah kau menelusuri isi rumahnya tadi.” “Kenapa pendapatku begitu berarti?” tanyaku kembali dan menyadari langit sudah mulai menggelap dengan awan hitam. Sebuah kilat menyabar di kejauhan menjadikannya tampak jauh lebih menyeramkan akibat padang hijau yang tidak berujung di kanan-kiri jalan daripada diantara pencakar langit New York. “Karena Tuhan menimbang banyak pendapat kalian daripada para malaikat. Kau ingat. Jadi bagaimana pendapatmu?” Sekarang Abe terdengar seperti para siswi sekolah menengah yang sedang menyampaikan gosip di kafetaria. Aku menghela napas panjang. “Aku rasa ia sengaja membuka pintu rumahnya dan menerima tamu-tamu itu. Namun berubah pikiran di tengah-tengah kejadian. Kalau tidak kenapa ia memeggang revolver itu? Dan ketika pikiran itu datang semua sudah terlambat.” “Benar, kan?” serunya dengan suara melenging. Ia benar-benar seperti seorang siswi si pembawa gosip yang beritanya ditanggapi sesuai dengan ekspektasinya. “Kenapa ia melakukan itu?” “Karena ia putus-asa. Karena ia tidak punya makanan apapun untuk bertahan lebih lama. Ia sendirian tanpa suaminya. Dan masih banyak lagi hal yang mungkin ia pertimbangkan sebelum membuka pintunya...” “Tapi ia bisa meminta bantuan?” “Kepada orang asing yang tinggalnya beberapa mil jauhnya. Kita adalah tetangga terdekatnya dan kita datang ke sini dengan mobil.” Aku menoleh ke arahnya dan mendapati Abe menggeleng-geleng. “Lalu bukannya kalian punya insting bertahan hidup yang lebih baik?” “Revolver itu buktinya, Abe. Apa kau lupa?” “Dan ia bisa saja menembaknya dan bertahan?!” Ia terdengar keras kepala sekarang “Ketika kau ketakutan kau akan melupakan segala hal yang kau rencanakan sebelumnya.” Lucu juga karena Abe memang terdengar tidak terima – atau lebih tepatya – tidak percaya dengan keputusan yang diambil oleh wanita itu. “Bunuh diri adalah hal yang paling tidak sukai yang pernah kalian lakukan di Bumi. Dan betapa mengerikannya Dia mengizinkan itu terjadi.” Aku tertawa keras sekali bertepatan dengan aku yang memutar untuk memasuki perkarangan rumah pertanian Alec. “Lucu juga seorang malaikat bisa mengatakan hal seperti itu.” “Jujur saja. Walaupun kami yang paling dekat dengan-Nya. Bukan berarti kami tahu semua apa yang sedang Dia rencanakan  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD