Setelah kejadian itu Alec bekerja dengan kecepatan luar biasa. Entah ia biasanya bekerja secepat itu atau karena ia masih kesal dengan kejadian yang menimpanya atau karena ia ingin cepat-cepat keluar dari kungkungan pepohonan anggur yang menyesakkan. Alec bekerja bersama Brooke dan gadis itu dengan mudahnya mengikuti kecepatan kerja Alec. Keranjang demi keranjang anggur terisi dengan cepat. Alec bahkan sudah tidak mendengar Dad yang menyuruhnya berhati-hati dengan gunting tajam yang ada di tangannya
Kalau kalian ingin tahu aku mengerjakan apa. Dad dan aku sedang sibuk membakar dua zombi yang baru saja kami basmi di luar garis area pepohonan anggur Alec dan membuat ceruk di sana. Aku baru ternyata cara Dad membakarnya tidak ada bedanya dengan ia membakar dua bonggol kayu. Api membumbung tinggi menghanguskan kedua jasad zombi itu dengan segera.
Aku dan Dad mengamati kedua jasad itu hangus dengan bunyi derik halus yang aku rasa berasal dari daging yang terbakar dengan pikiran kami masing-masing. Hingga aku mendengar suara geraman lantang yang membuat kami berbalik. Aku mendapati Alec sedang mendongak sambil memegang pinggangnya. Berteriak ke arah langit dengan lantang,
“Setelah semua yang aku perjuangkan selama ini. Bisa-bisanya Kau tiba-tiba melakukan ini semua?!” Suara teriakannya membuat burung-burung berterbangan dan bahkan membuatku berjengit kecil.
Aku tidak pernah melihat Alec semarah itu dan itu membuatku terpana.
Brooke-lah yang membuatku makin terheran-heran. Ia juga terlihat sama kesalnya dengan Alec. Apa mungkin karena terbawa perasaan? Dan gadis itu sekarang membanting keranjang terakhirnya ke tanah dan menatapku seakan-akan memang akulah penyebab semua ini.
“Bantu mereka. Biar aku yang mengawasi ini.” Dad dari balik bahuku dan aku memnggumam sebagai tanggapan. Aku memperbaiki letak selempang pedang di bahuku sebelum mengambil keranjang yang baru saja Brooke lempar ke tanah menuju sebuah rumah kayu di belakang kandang tempat Alec melakukan pengelohan sederhana untuk anggur-anggurnya. Produksi Alec memang masih kecil, namun cukup menjanjikan. Aku ingat Mom pernah cerita kalau ia telah memasok wine buatannya untuk beberapa restoran lokal disekitaran Virginia dan kualitas buah anggurnya sendiri juga dilirik oleh produsen wine yang lebih besar.
Dan seperti yang biasa seorang Tuhan lakukan. Memotong usaha seseorang ditengah-tengah ia berjuang.
Pemikiran itu membuatku teringat akan follower-follower-ku dan entah kenapa itu membuatku sedih.
“Butuh bantuan?”
Aku baru saja meletakkan keranjangku di depan alat besar terbuat dari besi yang entah apa namanya ketika aku mendengar suara Abe.
“Kami mendengar suara teriakan dari kejuahan dan sekarang asap api yang membumbung. Apa terjadi sesuatu?”
Aku mengangguk. “Kami sempat diserang dan itu membuat Alec menggila. Lebih baik kita selesaikan semua ini sekarang.”
Abe dan aku sekarang berdiri bersisian. “Jadi bagaimana dengan para hewan? Apa baik-baik saja?”
“Mereka merasakan ketakutan, tapi selebihnya baik-baik saja. Karena memang seharusnya tidak ada yang perlu ditakutkan. Hanya perlu meningkatkan kehati-hatian saja.”
“Jadi apa sebenarnya alasanmu datang ke sini, Abe? Untuk selalu menguliahiku? Atau kau adalah malaikat pelindung?”
“Aku datang untuk menjagamu tetap aman. Memberimu pengetahuan yang dibutuhkan. Dan tidak. Aku bukan malaikat pelindung.” Aku mengikuti kecepatan berjalan Abe dan Tuhan, ia berjalan cepat sekali.
“Dan kau tidak bisa berbohong.”
“Namun bukan berarti aku tidak bisa membuatmu bingung.”
Abe dan aku sekarang mengambil masing-masing keranjang. Brooke menyusul dengan keranjang baru. Alec tidak terlihat di manapun sedangkan Dad masih setia menunggu kedua jasad itu musnah. Bau dging terbakar yang sengit membuatku merengut. Serpihan abu perak berterbangan ke udara.
Abe sekarang tetap dia dengan adanya Brooke di dekat kami. Kami bertiga mondar-mandir sebanyak dua kali lagi sebelum akhirnya semua anggur terangkut di depan mesin rumit dengan berbagai tabung itu. Alec muncul kemudian dengan keadaan yang lebih baik. Ia lalu menghidupkan mesin genset yang berdengung. Memutari kami untuk menghidupkan beberapa tombol hingga terdengar bunyi mesin.
“Terimakasih untuk bantuannya. Kalian sudah bisa meninggalkanku sekarang.”
Dengan Brooke yang berjalan ditengah-tengah kami, kami meninggalkan ruang pengolahan. Asap hitam dari kejaihan telah memudar dan aku melihat Dad pulang dengan senapannya berada di pundak. Beliau tampak sama sekali tidak terganggu dan santai..
***
Walau sebenarnya aku tidak terkejut dengan sikap Mom merasa tetap harus memberi kami semua makan tiga hari sekali dengan keadaan yang tidak tentu sama sekali seperti ini.
Jadi di sini kami. Sekali lagi berkumpul di ruag makan Alec dengan menu makan siang yang lebih istimewa dari sarapan tadi. Satu piring besar dendeng untuk masing-masing orang dan kentang tumbuk. Aku mendengar alasan Mom melakukannya dari percakapannya dengn Brooke adalah karena apa yang baru saja terjadi dengan Alec. Sehingga ia merasa harus mmebangkitkan seluruh semangat orang-orang lagi adalah dengan memberi mereka makanan istimewa.
Well, apapun aalsannya aku tidak akan mengeluh. Mengingat Abe secaraa tegas juga memberitahu Dad jika aku harus kembali berlatih untuk memakai senjata jarak jauh. Dad yang perhatiannya terpecah akan Alec dan aku mengatakan itu adalah ide yang bagus.
“Karena kau sama sekali tidak bisa terus-menerus mengandalkan pedang itu, James. Walau bagaimanapun tajamnya pedang itu.” Dad sembil menyugar rambutnya ke belakang. Mereka mendiskusikan tentang aku seakan-akan aku sedang tidak bersama mereka mengawasi Alec bekerja dari kejauhan. Alec memerhatikan buah anggur yang hancur dalam mesin strimmer dengan saat intens, seakan-akan ia ingin ikut menceburkan diri di sana sebelum kami menyahuti panggilan Mom untuk membersihkan diri untuk menyantap makan siang.
Alec menyusul setelah ia memastikan semua anggur telah dihancurkan. Ia menjelaskan pada Dad yang khawatir bahwa tidak masalah untuk membiarkan mesin bekerja sendiri. Ia punya timer kecil di dalam sakunya untuk memberitahunya kapan harus kembali bekerja. Dan sekarang Alec tengah bersama istrinya di ruang keluarga. Punggung keduanya menghadap kami yang berada di ruang dapur yang menyambung dapur. Dalla hanya duduk di sana sambil mengelus-elus pundak suaminya. Aku tahu tidak ada percakapan yang sedang terjadi. Karena Alec adalah tipe pria yang paling benci jika ia malah dipaksa untuk menceritakan apa yang sebenarnya ia rasakan .
Aku rasa semua pria merasakan hal serupa.
Jadi Brooke-lah yang mengambil-alih tugas Dalla untuk membantu Mom menyiapkan makan siang. Bukannya aku tidak ingin membantu. Sungguh. Namun keduanya bekerja dengan sangat cepat. Brooke sepertinya sudah tahu apa yang ahrus ia lakukan. Sama dengan ketika ia bekerja bersama Alec di kebun anggur tadi. Membuatku bertanya-tanya. Jadi setelah membantu mengelap meja makan akhirnya aku bertanya,
“Jadi Brooke. Apakah kau mau memberitahuku apa pekerjaanmu sebelu semua hal ini terjadi?”
Brooke mengangkat wajahnya setelah ia merapikan letak piring yang sebenarnya sudah rapi. “Aku bekerja paruh waaktu di banyak tempat. Supermarket, toko buku, restoran. Kau sebutkan saja.”
“Dan tidak kuliah?” Hati-hati aku bertanya sehingga membuatnya memberi pandangan mematikan.
“Ayahku lebih memilih menghabiskan uangnya untuk mencari istrinya yang hilang dan membiayai adik tiriku. Aku sedang mencoba untuk mengumpulkan dana kuliahku sendiri selama aku juga memasukkan aplikasi untuk semua lowongan beasiswa apapun yang sedang buka. Namun sepertinya sekali lagi aku harus berjuang untuk diriku sendiri.”
Aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Itu alasan kenapa Brooke juga ikut marah dengan keadaan yang dialami oleh Alec. Karena ia tahu bagaimana rasanya. Ia berempati dengan kepedihan Alec.
Semua kejadian ini mengingatkanku beberapa pekan sebelum Alec menikahi Dalla. Kami menghadiri undangan makan malam orangtua kami. Alec datang dalam keadaan seperti ia baru habis dirampok dengan pakaian kerjanya yang kusut. Dengan senyum miring mengerikan ia kemudian menyampaikan perubahan rencana pernikahannya dan juga salah satu berita yang awalnya kukira tidak akan pernah kudengar seumur hidupku.
“Lokasi pernikahan dipindahkan di rumah pertanian orangtua Dalla dan setelah itu kami akan tinggal di sana. Kami memutuskan untuk mengelola rumah dan seluruh asetnya itu setelahnya.”
Dad dan Mom saling pandang. Aku ingat aku tidak jadi menyuap akibat apa yang ia katakan. Alec yang cemerlang. Diterima bekerja di perusahaan tempat Dad pensiun dan mendapatkan namanya sendiri di sana. Memutuskan untuk menjadi peternak dan petani anggur. Aku juga ingat nada bicaranya hari itu karena memang tidak akan pernah aku lupa seumur hidupku.
Alec tidak meminta restu. Alec hanya memberi kami apa yang ia telah putuskan. Suaranya mantap dan jelas. Walau ada binar ketakutan, gairah, dan permintaan tolong yang tidak terucap dari matanya.
Secara mengejutkan Dad dan Mom menerima keputusan itu dengan sangat baik.
“Hey! Bagiamna kalian bisa setenang ini dengan keputusan Alec dan tidak mengatakan apapun dengan pilihanku?” rajukku setengah karena hanya ingin mencairkan suasana. Bahkan Alec terlihat menahan senyum.
“Karena kami tahu betapa tidak dewasanya kau.” Dad dengan santai lalu melanjutkan makan.
Jadi Alec masa sekarang ini mengingatkan aku pada Alec di hari itu. Namun sepertinya kejadian ini jauh lebih buruk dari yang Alec masa lalu pernah pikirkan.
Mataku masih tertuju pada punggung Alec dan sekarang pria itu sudah melepaskan kedua tangannya dari wajah dan saling pandang dengan istrinya. Keduanya sekarang saling menempelkan dahi. Kedua tangan Dalla berada di tengkuk Alec.
Aku merasa aku tidak seharusnya melihat itu jadi aku mengalihkan pandangan. Memutuskan untuk mencuci piring sisa pekerjaan Mom dan Brooke. Tidak berapa lama kemdian melalui bahuku aku melihat Dad juga telah selesai mandi dan datang ebrsama Gray dalam gendongannya.
“Aku mendapati bocah ini tengah mengacak-acak konter kamar Alec dan Dalla.”
Gray mendesis sebelum turun dalam pelukan Dalla dan kabur naik ke atas konter dapur dan duduk dengan d**a membusung.
Aku juga menyadari perubahan signifikan dari Gray . Ia dengan cepat mendapatkan berat tubuh idealnya hanya dengan menjadi kesayangan Mom. Setiap kali Mom melewatinya ia mendapatkan garukan dibelakang telinga. Setelah itu kucing sialan itu melirik ke arahku seakan-akan ia telah menggeser posisiku sebagai anak bungsu keluarga Kim. Aku balas menyeringai ke arahnya sebelum dengan cepat menyelesaikan pekerjaanku.
Mom berteriak mengumummkan kami sudah boleh makan bersamaan dengan aku yang sedanag mengelap tangnku di serbet. Kami semua sepertinya memilih untuk duduk di tempat yang sama ketika kami sarapan tadi. Alec mengedarkan pandangan dan memberi kami senyum menenangkan.
Aku juga ingat senyum itu. Senyum yang menunjukkan kalau ia baik-baik saja. Dan aku tahu Alec akan melakukannya. Dan tentu saja sebelum siapapun berhasil menyuap ataupun menggigit dendeng mereka. Time Alec berbunyi membuatnya langsung melempar serbetnya di atas meja kemudian berlari pergi...
***
“Jadi bagaimana denganmu? Apa kau juga marah dengan Tuhan?”
Aku baru saja menarik panah dari badan pohon ketika tiba-tiba Abe bertanya dengan kedua tangan bertaut di belakang tubuh.
“Apa itu pertanyaan jebakan? Karena aku merasa tidak aman rasanya menjawab pertanyaan semacam itu kepada seseorang yang bekerja sangat dekat Tuhan.” Aku mendengus geli. Aku menunduk sambil menikmati suara derik langkahku menginjak tanah yang penuh dengan dedaunan kuning musim gugur dan ranting pohon kering.
“Walaupun aku melaporkan seluruh pekerjaanku pada-Nya. Bukan berarti aku tukang pengadu. Dan sekali lagi, James Tidak sopan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.”
Aku memungut folding bow dari tanah sebelum memasang anak panah. Membidik batang pohon yang lebih jauh sekarang. Aku bersyukur karena Abe memberiku pemanasan dulu sebelum melakukan semua bidikan ini. Karena sekarang aku merasakan panas menyengat di kedua lenganku dan pegal di bahuku akibat menari anak panah pada senar entah sudah berapa kali.
Abe kemudian mendekat. Menendang kakiku agar mengambil kuda-kuda yang lebih lebar lalu mendoorng naik folding bow agar lebih lurus. Kemudian mundur lagi.
“Jadi kau melaporkan semua hal yang terjadi sekarang ini pada-Nya? Kapan?” Aku melirik ke arahnya sekilas.
“Fokus, James. Kalau kau tidak ingin kehilangan nyawamu lagi.”
Aku mendengus keras sebelum melepaskan anak panah. Hasilnya adalah anak panah tertancap pada pohon yang lebih jauh. Aku memaki pelan.
“Itu karena kau tidak menjawab pertanyaanku dan karena kurang konsentrasi.”
Aku memutar bola mata. Kali ini tidak merasa repot-repot untuk memungut anak panah. Aku mengambil yang baru dari dalam tabung silender kepunyaan Brooke. Ternyata gadis itu punya folding bow cadangan dalam tasnya yang besar, namun ia tidak punya anak panah selain yang biasa ia bawa ke manapun. Jadi ia hanya meminjamkanku dua batang anak panah. Dan sekarang kami berlatih di hutan yang tidak terlalu jauh dari rumah Alec. Kami bahkan melihat satu rumah peternakan di pinggir hutan ini.
“Aku marah pada Tuhan? Yeah, aku marah! Tapi tidak hanya untuk saat ini. Sejak dulu, ku tahu?!”
Abe yang hanya mengangkat alis mata sebagai tanggapan itu membuatku makin kesal. “Bukannya kau mendapatkan semua hal yang kau mau?”
Aku menyeringai lebar padanya. “Namun bukan berarti adalah sesuatu yang aku butuhkan, kan?”
“Karena peraturannya kau memang tidak bisa memiliki kedua-keduanya.”
Tanpa pikir panjang aku malah memutar tubuh. Membidik anak panahku padanya. Abe bahkan tidak bergerak sedikitpun. “Jadi apa sekarang kau mau memberitahuku alasanmu turun ke Bumi?” Bukan omong kosong tentang kau ingin mengajariku atau apapun itu. Alasanmu sebenarnya.”
Ia memberiku tatapan mematikan ketika akhirnya ia menjawab. “Aku tidak bisa memberitahumu sekarang ketika semuanya belum siap. Kau belum siap.”
Kami saling tatap cukup lama sebelum aku melemparkan folding bow dan pananhnya ke tangah kemudian memungut pedangku yang aku letakkan di sebelah tabung silinder. Berjalan menyentak menjauh dari Abe – atau lebih tepatnya – keluar dari dalam hutan yang entah kenapa tiba-tiba terasa menyesakkan.
Dan begitu kakiku menginjak pinggiran hutan aku mendengar suara jerit menyeramkan yang aku rasa berasal dari ruah pertanian yang berada tepat di depan mataku. Refleks, aku berlari ke asal suara. Aku mendapati pintu rumah itu terbuka lebar. Aku mendengar suara geraman dan decapan sangat keras dari dalam rumah.
Aku tahu apa yang aku akan hadapi.
Jadi aku melepas sarung pedangkud an melemparkannya ke lantai. Begitu aku menginjak kaki di dekat tiga kawanan zombi yang tengah berjongkok dan mengunyah sesuatu berwarna di sela-sela bibir biru mereka. Mereka langsung mengangkat kepalanya dan menatapku.
Semua terasa seperti dalam gerakan slow-motion. Aku bersyukur mereka menyerangku satu persatu sehingga aku punya kesempatan untuk menebas putus kepala mereka dari leher sebelum mereka sempat menyambarku. Kepala berjatuhan ke lantai kayu berpelitur....
Aku bahkan merasakan kakiku berat sekali untuk mendatangi seseorang – wanita – sekarat di lantai itu. Ada revolver perak kecil di salah satu genggaman tangannya dan ia menoleh ke arahku dengan air matanya yang meleleh di sudut bibir. Berbisik dengan amat lirih,
“Kumohon...”
Tidak ada bedanya denngan kejadian yang menimpa adik tiri Brooke waktu itu. Aku merasakan seluruh tubuhku membeku bahkan ketika wanita itu mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan. Ia mulai menggelepar menghadap ke arahku dengan matanya yang berputar hingga bagian putihnya saja yang terlihat...
Hingga aku merasakan desingan di telingaku dan sebuah peluru menancap pada dahinya. Membuatku langusng tesungkur ke lantai. Tubuh wanita itu membiru dengan urat-uratnya yang seperti ingin mengoyak kulitnya. Matanya masih terbuka dengan peluru yang menancap di dahinya...
Lalu seperti yang telah kuduga. Makan siangku langsung keluar dari mulut. Aku muntah tanpa bisa kutahan. Abe menungguku hingga aku selesai sebelum berkata dengan nada dingin,
“Ini yang kumaksud sebagai kau yang belum siap...”
***