4

1063 Words
Aku mungkin teralihat seperti menggampangkan segala hal. Tapi sebenarnya butuh waktu latihan bertahun-tahun untuk bisa berpura-pura seperti itu. Percaya padaku. Karena aku punya pengalaman tentang itu. Aku sudah berada di ambang jendela apartemenku. Masih tercabik antara ingin mengunci pintu apa tidak. Aku berharap masih diberi kesempatan untuk kembali ke sini suatu hari nanti Tempat  yang menjadi saksi akhirnya aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Aku menghela napas, menguatkan diri. Menjejakkan kaki sepelan mungkin di terali besi agar tidak berderit terlalu keras. Aku butuh waktu untuk membiasakan diri dengan beratnya bawaan di pundakku. Melirik sekali lagi ke arah jalanan utama sebelum mulai memanjat turun di tangga darurat berkarat dengan hati-hati. Debu besinya mengotori telapak tanganku dan aku hanya berahrap aku tidak terluka karenanya. Aku memaki dalam hati akibat betapa kerasnya suara yang aku timbulkan ketika mendarat di tanah. Tapi aku tidak punya banyak waktu untuk merutuki kesalahanku lebih lama. Aku langsung berlari ke arah yang berlawanan dari jalan utama. Aku bisa merakan sarung pedang yang memukul-mukul tas ransel di punggung. Salah satu Glock  berada di tas selempang sangat dekat dengan detak jantungku yang memburu... Ketika rasanya aku sudah berlari cukup jauh aku akhirnya memperhatikan sekeliling. Ada banyak mobil tidak bertuan yang terparkir di pinggir jalan. Kebanyakan dari mereka terlihat tidak bisa dipakai lagi. Kap yang penyok atau salah satu pintu yang terlepas dari engselnya. Apa ada badak zombi yang menubruk mereka atau apa? Walau begitu aku masih tidak punya banyak waktu. Jadi aku mencoba satu persat mobil yang terlihat tidak begitu rusak. Berharap ada yang meninggalkan kunci mereka karena kau sama sekali tidak tahu bagaimana cara mengutak-atik kabel sampai mobil bisa hidup seperti yang ada di film-film. Jadi semuanya tergantung pada keberuntungan.... Aku menyumpah pada setiap mobil yang tidak memberiku kesempatan. Hingga akhirnya aku menyadari sudah membuat cukup keributan sehingga menarik perhatian segerombolan zombi yang berjarak setengah mil. Aku membanting pintu mobil yang tidak bisa kugunakan itu. Melirik ke arah segeromblan zombi yang sekarang mencoba berlari lebih cepat dari yang bisa tubuh mereka lakukan. Dari pakaian mereka aku mengenali mereka berasal dari berbagai kalangan. Dengan tertatih akibat beban berat tasku aku akhirnya menemukan sebuah Honda sedan tua dengan kunci yang masih menggantung. Cepat-cepat aku melempar seluruh bawaanku ke kursi penumpang di sampingku. Aku menutup pintu tepat di depan seorang zombi baru.Ia masih tampak segar. Hanya warna matanya saja yang seluruhnya hitam tanpa iris. Mulutnya berlumuran darah kering dan sekarang menggedor jendela pintu. Aku berjengit, cepat-cepat menghidupkan mesin. Deru mesin mobil ini mengerikan tapi bisa bekerja dengan. Aku menginjak pedal gas dalam-dalam. Melempar zombi yang tadi menggedor pintu terpental sangat jauh... Dan aku berusaha untuk tidak berbalik lagi... ***     Aku memperlambat laju mobilku begitu menyadari tidak ada tanda-tanda kehidupan di jalan bebas hambatan ini. Ada banyak mobil rusak terbengkalai yang menutupi jalan dan secara mengejutkn gulungan-gulungan tisu toilet dan koran-koran yang dibawa angin. Aku tadi sempat bertemu dengan beberapa zombi yang masih terbilang baru, sama dengan zombi yang mencoba menyerangku tadi. Pakaian merek masih cukup bersih dengan warna mata yang baru akan berubah... Jadi aku memutuskan untuk menepi sejenak. Debar jantungku masih terasa dan aku merasakan perlahan adrenalin mulai menghilang dalam pembuluh darahku. Aku menunduk, menjedutkan dahi di roda kemudi.... “Well, itu tadi menyenangkan.” Aku tersentak duduk saat itu juga. Berbalik ke asal suara. Aku menyadari seorang duduk santai di kursi penumpang belakang. Pria? Pemuda? Aku tidak bisa menebak berapa usianya, tapi ia benar-benar tampak muda. Rambutnya hitam, mengikal hingga menutupi alis matanya. Hidung mancung dengan tulang pipi yang menonjol. Bibir merah penuh. Matanya. Warna mata yang tidak biasa. Hitam dengan jejak biru. Warna angit menjelang malam. Terlalu indah sehingga terasa menyakitkan mata. Aku tidak suka. “Aku sedang menunggu seseorang ketika kau tiba-tiba membajak mobil ini,” katanya dengan dahi mengerut. “Dan kau terlihat benar-benar putus asa.” Aku mengerjap. Butuh waktu untukku mendapatkan kembali suaraku. “Maafkan aku. Apa kau ingin kau kembali.” Ia hanya mengedikkan bahu. “Tidak apa-apa. Toh, aku rasa ia sudah pergi.” Satu sudut bibirnya terangkat. Ada sesuatu yang lucu yang tidak ia bagi denganku. “Jadi kau mau ke mana?” “Piedmont,Viriginia.” Wajahnya tiba-tiba cerah. “Tentu saja! Suatu kebetulan. Aku juga ingin ke sana! Pepohonan dan sungai-sungai kecil yang mengalir. Surga, eh?” Kali ini akulah yang menatapnya dnegan dahi mengerut. Namun ia tidak pernah memutuskan kontak mata denganku. Jadi kuputuskan untuk berdamai dengannya. Toh, aku yang telah lancang sudah membawa mobilnya tanpa memeriksa jika pemiliknya sedang tertidur di dalamnya. “Jadi namamu siapa?” tanyanya masih dengan nada riang yang sama. Walau suaranya terdengar sangat rendah bahkan untuk ukuran semua pria yang pernah aku temui sebelumnya. Ini kali pertama seseorang menanyakan namaku. Bukan memberitahuku siapa namaku. Apa mungkin ia bukan tipe pria yang memperhatikan artis i********:? “Jamie Kim,” jawabku pada akhirnya. “Apa? James?” Aku yakin ia hanya menggodaku karena tidak mungkin ia salah mendengar mengingat sekaranag kami berada di dalam mobil yang kedap suara. “Jamie Kim. Dan kau?” “Aku mengenal banyak “James” yang juga memiliki nama panggilan “Jamie,” Jadi aku aku tetap memanggilmu dengan James. Ibumu pasti sedih karena kau berusaha untuk melupakannya.” Aku mengerjap. Pria ini jelas terlalu banyak bicara untuk ukuran orang yang baru bertemu dengan orang lain. Tapi aku rasa akan ada waktunya aku akan mengoreksinya. “Dan namamu?” Senyumnya meredup sedikit. Walau begitu ia menjawabku dengan anda yang lebih serius sekarang. Aku merasakan matanya sempat memandang melewati bahuku sebelum menjawab dengan salah satu sudut bibirnya terangkat. “Abe. Kau bisa memanggilku Abe.” “Oke, Abe. Jadi apa alasanmu ke Piedmont, alih-alih ke New Jersey seperti orang-orang lain?” tanyaku berusaha lebih ramah sekarang. “Sama sepertimu. Ada hal penting yang menungguku di sana.” Ia kembali ceria seperti tidak terjdi apa-apa. “Ayo, berangkat. Kau tahu zombi-zombi ini lebih kuat di malam hari, kan? Perjalanan kita masih panjang.” Kami saling pandang sejenak sebelum aku kembali menghadap ke depan dan menghidupkan mesin. Aku menyadari bensin mobil ini sangat sedikit. “Tapi rasanya kita harus singgah di pom bensin terdekat. Tangki bensinmu nyaris kosong.” “Kau kaptennya sekarang. Aku ikut saja.” Aku tidak ingin menghabiskan waktu dengan melirik ke arahnya lagi jadi aku menekan pedal gas dan kembali melanjutkan perjalanan. Aku hanya berharap pria ini – Abe -  tidak berpikir untuk menggorok leherku ketika ada kesempatan... ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD