Abe memeluk sandaran kepala kursi penumpang di sebelahku. Aku bisa merasakan ia memandangiku, alih-alih jalanan di depan. Membuatku tegang selama perjalanan kami mencari pom bensin terdekat. Sesekali aku melirik ke arah kertas yang menunjukkan peta New Yok menuju Piedmont, Virginia. Aku tidak ingin mengambil risiko menghabiskan baterai ponselku karenanya.
Sebelum akhirnya satu garis terakhir di indikator bensin mobil tua ini mulai berkedip-kedip akhirnya aku menemukan pom bensin. Abe masih tidak mengatakan apapun bahkan ketika aku memutar kemudi memasuki area parkiran pom bensin yang terlalu luas dan lengang itu. Area yang terhampar luas ini membuatku sedikit gelisah dan keberadan Abe sama sekali tidak membantu.
Aku bisa melihat papan penunjuk Dunkin-Donuts, bengkel, dan mini market dari ujung gerbang. Mengedarkan pandangan dan memutuskan aku tidak perlu berlama-lama di sini. Aku memarkirkan mobil di samping salah satu pompa. Setelah mobil benar-benar berhenti sempurna aku menoleh, membalas tatapan Abe yang masih memandangiku itu. Ia langsung tersenyum, membuat matanya tinggal segaris.
“Seberapa banyak bensin yang mampu ditampung mobil tua ini?”
Alis matanya naik hingga ke batas rambutnya. “Aku tidak tahu apa yang kau maksud.”
“Ini mobilmu. Kau pasti tahu seberapa banyak bensin yang ia perlukan.”
Abe menyeringai. “Aku rasa aku tidak pernah bilang kalau mobil ini mobilku.”
Aku mengerjap cepat.
“Hey! Jangan memberiku pandangan seperti itu! Kau sendiri juga tidak bertanya.”
Aku menarik napas panjang sebelum akhirnya keluar dari mobil. Aku masih merasakan pandangan Abe masih melekat padaku ketika menarik tuas pompa bensin dan menyadari seseorang telah merusak meterannya sehingga pompa bisa digunakan tanpa aku harus memasukkan kode apapun. Mesin langsung berdengung dan mengeluarkan bau khas bensin yang langsung membuat hidungku mengerut dan gatal.
Hanya butuh beberapa detik saja akhirnya Abe bergerak dan membuka pintu mobil yang ada di hadapanku, membuatku nyaris terhuyung ke belakang.
Aku tidak memperhatikan pakaian yang pria itu pakai sebelumnya dan sekarang ia menyadari ia memakai kaos dan celana putih. Tanpa alas kaki. Kakinya hitam dan kotor, tapi pakaiannya keseluruhan tanpa noda sedikitpun. Dan sekarang ia berdiri sangat dekat denganku. Puncak kepalanya yang berambut ikal bergerak-gerak ditiup angin.
“Aku akan berkeliling sebentar.” Abe lalu memutar tubuhnya dengan kedua tangan di dalam saku celana.
Aku memandangi punggungnya yang menjauh hingga aku mendengar suara “klik” dari mesin pompa bensin. Aku menaruh kembali selang di tempanya semula. Setelah memastikan sudah menutup tangki bensin dengan benar. Aku kembali mengedarkan pandangan sebelum akhirnya mengamati betapa besarnya tasku dan banyaknya bawaanku yang lain.
Aku tahu perjalananku masih cukup panjang, melihat dari kertas map yang kupegang sekarang dan aku melihat nama pom bensin ini tertulis di sana. Ini belum seberapa dan apa-apa aku sudah lelah luar biasa. Baru beberapa hari yang lalu aku masih masak dengan damai di dapurku yang cantik sambil melakukan live-streaming dengan para follower-ku. Makan malam di akhir pekan bersama orangtuaku. Melakukan rapat dengan para sponsorku melalui video confrance.
Aku menjalani hidupku seperti itu selama bertahun-tahun.
Terdengar seperti aku tidak punya teman nyata, ya?
Kesukaanku dengan memasak sudah dimulai sejak aku masih tinggal dengan keluargaku. Menjadi yang termuda dari dua bersaudara membuatku banyak menghabiskan waktu di dapur untuk membantu ibuku. Untuk itulah kenapa aku tidak punya teman dekat. Itupun aku melakukannya agar tetap menjadi bagian dari masyarakat.
Mereka terlalu merundungku karena kesukaanku dengan emasak dan sangat sayang dengan ibu.
Lelaki dan toxic masculinity mereka.
Aku mendengus dengan pikiran terakhir itu. Perlahan menyadari Abe tidak kunjung kembali. Aku meraih tas selempang dan sarung pedang sebelum mengunci pintu Honda yang masih manual ini.
Aku mempercepat langkah sambil terus mengedarkan pandangan. Sarung pedang bergerak-gerak pelan di punggungku selama aku bergerak memasuki mini-market yang pengap tanpa AC dengan lampu emergency yang masih menyala redup. Aku mendapati Abe sedang memandangi rak buah yang berserakan. Ekspresinya tidak terbaca.
“Lihat, bahkan pada waktu seperti ini masih banyak yang tidak bersyukur.”
Entah kenapa aku tahu maksud Abe apa. Siapapun yang menjarah tempat ini jelas meninggalkan buah-buah segar yang sekarang membusuk dengan cepat akibat udara pengap. Ada kilat dalam mata Abe yang tidak biasa sebelum ia menoleh ke arahku. Memberiku senyum yang masih sama.
“Sepertinya sudah tidak ada lagi hukum apapun yang berlaku sekarang. Apa kau tidak ingin mengambil sesuatu dari sini?”
Aku menyeringai. Mengambil satu apel hijau yang masih bagus diantara tumpukan buah yang membusuk. Menggigitnya banyak-banyak. Secara mengejutkan aku merasa sayang dengan sisa apel yang busuk. Mereka bisa dibuat menjadi pie apel dan kayu manis yang enak.
Abe mengawasiku makan selama dua detik sebelum berbalik. Membuatku langsung berteriak, “Berhenti!”
Abe berhenti melangkah menunduk melihat apa yang ada di bawah kakinya seakan-akan ia baru hanya menginjak buah-buah busuk, alih-alih pecahan kaca yang berserakan.
“Diam di sana.”
Keinginan untuk melindungi ini entah datang dari mana. Mungkin karena aku terbiasa membantu ibuku dulu. Aku sudah berjalan menghampirinya, mengulurkan tangan ke arahnya. “Kita akan mencari sepatu untukmu. Sepertinya kau terlalu sibuk menyelamatkan diri hingga melupakannya.”
Abe melirik ke arah tanganku yang terulur lalu ke wajahku. Ia menggeleng-geleng sebelum meraih tanganku. Tangannya sangat dingin, namun aku tidak merasakan keringat di sana. Ia kemudian melompat menghindar dari pecahan kaca dengan sangat ringan Aku bahkan tidak merasakan ia menaruh beban tubuhnya di tanganku.
“Terimakasih.”
Setelah itu kami berjalan bersisian keluar dari mini-market. Begitu sinar matahari dan angin dingin menerpa aku menyadari seseorang – manusia – berhasil membuka kunci mobil Honda Abe dan sekarang menjejalkan diri ke dalam mobil setelah melemparkan tas bekalku ke tanah. Aku berlari mengejar. Namun ia sudah berada di dalam dan mengunci pintu. Pria dengan kepala botak setengah itu sekarang mengacungkan telunjuknya melalui kaca jendela mobil. Mulutnya menggumamkan “Jamie” sebelum ia melambai dan menghidupkan mesin.
Ia pergi begitu saja. Meninggalkanku yang sedang bersumpah-serapah.
Namun aku tidak bisa seperti itu berlama-lama. Ada segerombolan zombi datang dari arah yag berlawanan. Sebagian dari mereka memakai seragam Dunkin Donuts dan bengkel. Mereka masih cukup segar untuk bisa berjalan sangat cepat ke arah kami.
Aku mengulurkan tangan ke samping. Mendorong Abe mundur untuk masuk kembali ke mini-market dengan lenganku. Ia menurut dengan berjalan mundur tanpa memberiku protes apapun. Aku lalu menutup pintu ganda itu. Kemudian berdiri memasang kuda-kuda, menarik pedang dari sarungnya.
Aku mencoba untuk menguatkan posisiku sambil memegang pedang dengan kedua tangan.
Zombie pertama memakai coverall coklat dan kepala berkilau. Kedua tangannya menjangkau ke depan. Aku mengayunkan pedangku secara horizontal ke arah lehernya. Aku berteriak begitu menyadari betapa tajamnya pedang ini.
Aku tidak tahu apakah pedang ini bisa setajam pedang The Bodyguard!
Kepalanya jatuh ke tanah, tepat di atas kakiku. Aku melompat dengan jijik, tanpa sengaja menendang kepalanya menjauh. Tapi aku tidak punya waktu untuk terkejutkan terlalu lama. Zombi lain mulai mengganas. Geraman mereka semakin keras. Aku menjadi sedikit percaya diri setelah yang pertama. Jadi aku mengayunkan pedang melalui leher wanita dengan seragam Dunkin Donuts-nya. Dan dia jatuh dengan leher hampir putus.
Ketiga datang dan aku hanya punya waktu untuk menusuk dadanya. Pedang itu menusuk punggungnya. Aku mencabut pedang dengan paksa untuk menebas kepala zombi lainnya. Sebuah kepala jatuh lagi. Aku benar-benar harus menahan diri untuk tidak muntah sekarang. Zombie keempat, ia mencoba menggigiku dengan mulut terbuka lebar. Jadi aku mengayunkan pedang dari bawah, menusuk dengan keras dari dagu hingga puncak kepalanya.
Aku tidak merasa gugup lagi. Adrenalin yang naik memotivasi tanganku untuk melakukan pekerjaannya.
Atau ini murni hanya naluri untuk bertahan hidup?
Setelah menebas yang terakhir, aku kehilangan keseimbangan segera berlutut. Kepalaku terasa sangat berat hingga membuatku berkunang-unang. Aku menggunakan pedang sebagai penopang agar aku tidak terjatuh ke tanah dengan wajah terlebih dahulu.
Mereka adalah orang yaang pernah hidup sebagai manusia – sama seperti saya. Dengan semua pikiran muncul di kepala, aku mengecap rasa asam di mulut. Dan akhirnya aku muntah, dekat kepala zombie terakhir yang kubunuh. Butuh waktu lama bagi saya untuk menyadari bahwa aku menangis. Cukup keras sehingga membuat penglihatanku mendadak buram...
***