15

1409 Words
Kami berhenti di pinggir jalan karena kepalaku mendadak pening akibat minum dua botol bir. Jadi kami memutuskan untuk beristirahat dan akhirnya kebablasan hingga pagi. Aku mengerjap dan mendpati sinar matahari pertama yang muncul di langit. Mengusap-ngusap wajah dan mendapati Gray tertidur di atas pangkuanku. Mendengkur dan meringkuk diantara perut dan roda kemudi. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Abe juga memejamkan mata. Aku tidak pernah peduli sebelumnya tapi aku tidak yakin apakah seorang malaikat memerlukan tidur apa tidak. Tapi Abe terlihat sangat rileks dengan posisi bersandar di punggung kursi dengan kedua tangan terlipat. Namun yang memberi kesan kalau ia bukan manusia adalah aku tidak melihat gerakan konstan yang mengidentifikasi kalau ia bernapas. Abe terlihat seperti patung yang dipahat dengan rambutnya yang ikal dan hidungnya yang tinggi dengan sikap tidur seperti itu. Lalu aku memerhatikan gadis yang tertidur di sampingku. Ia meringkuk meluk kedua kakinya. Ia telah memindahkan tas besarnya di bawah kursinya. Seakan-akan ia takut jika salah satu dari kami mencoba merampoknya. Aku tidak sempat untuk memerhatikannya semalam akibat penerangan yang sangat kurang. Namun ia punya wajah paling androgini yang pernah aku lihat. Aku bahkan tidak tahu apa ia pria atau wanita. Rambut pirang pasirnya dipangkas sangat pendek dan aku bahkan tidak melihat lekuk d**a (jika memang ia memilikinya) Ia hanya memakai jaket kulit usang, kaos berwarna hitam dan jins yang sangat kotor dan berlubang di salah satu lututnya. Kulitnya kecokelatan yang menunjukkan kalau ia juga keturunan campuran. Aku menghela napas panjang, membuat Gray sedikit bergerak dalam tidurnya. Jadi dengan perlahan aku mengangkat tangan untuk menekan tombol untuk membuka jendela sedikit agar angin bisa masuk. Kali ini kami sampai di jalanan sepi tanpa ada tanda-tanda kehidupan lain selain dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi. Aku rasa kami sudah dekat. Toh, sebenarnya perjalanan dari New York dan Piedmont hanya tujuh jam. Terlalu banyak hal yang terjadi hingga membuat semuanya memakan lebih banyak waktu. Aku membiarkan angin dingin meniup wajahku. Aku masih tidak ingin membangunkan siapapun. Jadi entah berapa lama aku duduk seperti itu hingga membuatku pikiranku berkelana ke sana ke mari. Kalian pasti bagaimana rasanya tumbuh besar sibling’s rivalry. Alec selalu menjadi anak kebanggan kedua oranguaku. Prestasi yang gemilang, wajah yang rupawan, dan bekerja di perusahaan bisnis ternama. Sebelum ia memutuskan untuk menjadi petani anggur. Dan yang lebih menjengkelkan lagi ia juga sukses dengan itu. Apa yang sedang mereka lakukan saat ini? Aku hanya berharap mereka baik-baik saja dan aku tidak mendatangi rumah pertanian kosong yang telah ditinggalkan pemiliknya. Gray tiba-tiba mengeong keras dna menggeliat. Membuatku terperanjat sedikit. Ia juga membangunkan orang asing yang ada disebelahku. Ia menggeliat, merentangkan kedua tangannya ke ats kepala. “Well, itu tadi tidur paling lama yang pernah aku dpatan setelah semua kekacauan ini datang,” komentarnya dnegan suara serak. Ia lalu menyandarkan kepalaya kembali di kursi sambil menoleh ke arahku. Aku menikmati setiap detik sebelum ia menyadari siapa aku sebenarnya. “Astaga! Kau Jamie Kim!” “James. Namanya James Kim.” Abe tiba-tiba menimpali dengan sangat tenang dibelakang. “Yeah, tapi semua orang mengenalnya dengan Jamie. Astaga...” Ia berkedip-kedip dengan senyum lebar. Tampk bersinar dengan matahari pagi yang muncul dibelakangnya membuat senyumnya entah kenapa semakin berkilau. Aku pasti masih mabuk dengan minuman semalam. “Well, apa kalian tidak ingin keluar sebentar? Kakiku terasa kram.” Abe langsung bergerak keluar mobil. Diikuti oleh seseorang itu setelah menyelipkan sesuatu di lengannya yang tidak aku perhatikan semalam. Folding bow dan tabung silinder ramping berwarna hitam. Cepat-cepat aku menyelipkan Glock di ikat pingganku dan tidak sempat meraih pedang yang ada di balik kursi. Begitu aku membuka pintu Gray langsung melompat keluar. Kedua tangan Abe terpaut di belakang tubuhnya ketika ia tengah memejamkan dan tampak menikmati angin dingin yang berembus. Sedangkan aku malah merapatkan jaket karena angin musim gugur sama sekali tidak bersahabat akhir-akhir ini. Gray mengeong-mengong ke arah pepohonan itu. “Aku harap ada sungai kecil yang mengalir dibalik pepohonan itu. Aku tidak punya persediaan air minum sama sekali,” jelas seseorang itu sambil mengancingkan jaket kulitnya. Abe mengedikkan bahu. “Coba saja. Aku rasa tidak ada ruginya.” Kemudian ia yang lebih dulu berjalan menuju pepohonan dengan kedua tangan masih bertaut di belakang tubuh. Gray mengikut di sebelahnya. “Tunggu. Aku mau mengambil botolku dulu.” Sekali lagi bokongnya menyembul dari pintu sisi pengemudi untuk mengacak-acak tasnya. Botol minumnya-pun tampak tidak biasa. Ia memperbaiki letak folding bow dan tali tabung silinder di pundaknya sambil tersenyum kepadaku dan belari menyusul Abe yang sudah memasuki sela pepohonan. Dengan segera aku mengunci pintu mobil dan mematikan semua pintu terkunci sebelum menyusul semuanya. Begitu aku memasuki pepohonan rindang yang dedaunannya menutupi kami dari sinar matahari aku sudah tidak menemukan seseorang itu dimanapun. Hanya ada Abe yang sedang berdiri di dekat salah satu dahan yang rendah. Aku mendapati jari telunjuknya sedang mengelus burung kecil yang tampak sekarat. Benar ada sungai kecil yang mengalir dibelakang pohon tempat Abe berdiri “Seseorang itu katanya ingin berburu untuk sarapan,” jelasnya sebelum aku sempat bertanya. Aku kemudian menggumam mengiyakan. Keadaan menjadi sangat canggung ditambah dengan Gray yang menolak aku angkat dan terus duduk di sebelah Abe dengan kepala mendongak penuh harap dan terus mengeong. “Sabar, Gray. Ia harus pergi lebih dulu.” Abe dengan lembut dan akhirnya aku tahu apa maksudnya setelah burung yang ada ditelunjuk Abe meregang nyawa dan terkulai di dalam sarangnya. Aku terpana menatap kejadian itu. Abe sekali lagi mengelus lembut burung kecil itu sebelum menjepitnya diantara telunjuk dan ibu jarinya. Melemparkan bangkai burung itu ke hadapan Gray. Aku memutar tubuh ketika gigi Gray mulai mengoyak bulu burun tersebut. “Tida ada bedanya dari apa yang terjadi saat ini. Kenapa kau malah mengalihkan pandangan darinya?” Abe untuk alasannya sendiri terdengar geli. “Paling tidak burung itu mati ketika ia masih menjadi dirinya sendiri,” jelasku masih berusaha keras untuk tidak melirik ke arah Gray. “Kematian seseorang adalah peruntungan bagi orang lain.” Abe menyeringai begitu menyadari aku bersiap untuk memprotes. “Ayolah, kau tahu kau tidak sepolos itu dan kau tahu kalau aku benar.” Seharusnya Abe memilih kata “pelajaran”, alih-alih “peruntungan”. Walau aku benar-benar tidak ingin mengakui kalau ia benar. “Zombi-zombi ini, misalnya. Akankah kau terpikir untuk belajar bagaimana caranya menembakkan pistol secara nyata jika semua ini tidak terjadi?” “Memang tidak.” Aku mendongak dan mendapati diri mengernyit akibat cahaya matahari yang mulai bertambah terang. “Untuk apa? Toh, aku jarang keluar rumah. Dan sekarang kau terdengar seperti para maniak penggila Amandemen Kedua. Tidak lucu.” Tapi Abe tertawa. Cukup keras sehingga entah kenapa terdengar menggema diantara pepohonan. “Apa yang lucu?” Seseorang itu tiba-tiba muncul. Bergantian memandang kami berdua dengan raut penasaran. Jejak geli di wajah Abe masih ada dan aku malah berdeham-deham. Lbih baik memusatkan perhatian seseorang itu pada sesuatu yang berbulu yang ia pegang saat ini. “Dua tupai yang gemuk-gemuk. Aku rasa kita bertiga bisa menghabiskan keduanya tanpa harus membaginya dengan kucing...” “Namanya Gray dan aku Abe. Dan seingatku kita sebenarnya belum resmi berkenalan.” Abe terdengar baik hati. Sesorang itu melemparkan kedua tupai mati dengan luka yang menembus pada salah satu mata mereka itu ke tanah seblum mengulurkan tangan ke arah Abe. “Namaku Brooke. Brooke Glass. Aku tahu, ironi. Aku sudah sering dirundung di sekolah dengan nama itu.” Brooke. Netral. Masih tidak menunjukkan gender apapun. Abe meraih jabatan tangan itu. Masih dengan tangan mereka yang saling bertaut, Abe bertanya  dengan kedua alis mata terangkat. “Untuk ukuran seseorang yang baru kehilangan adik. Kau tenang sekali.” Brooke bahkan seperti teringat tentang kejadian itu. “Oh. Ia adik tiriku. Ayahku menikah lagi dengan ibunya sebelum wanita itu menghilang entah ke mana. Dari awal kami sudah saling membenci namun tidak ada pilihan lain untuk tetap bersama selama semua kekacauan ini.” Ia mengedikkan bahu. Entah kenapa perkataan Abe tadi sekarang terdengar lebih masuk akal hingga membuatku menyeletuk “Pasti kebencian kalian satu sama lain sangat hebat untuk membuatmu berakhir seperti ini.” “Jujur saja. Kau tidak perlu repot-repot membayangkannya.” Brooke sudah berjongkok Sebuah pisau lipat muncul entah dari mana dan sekarang telah teracung di tangannya. Tanpa benar-benar menyadarinya aku sudah bertukar pandang dengan Abe dan si b******k itu malah mengedipkan sebelah mata padaku. Aku memutar bola mata sebelum ikut berjongkok. Saat itu langsung berseru menahan Brooke untuk berhenti melakukan apapun yang ia niatkan “Sini, biar aku saja. Paling tidak kita menghormati sedikit pengorbanan mereka.” Dan sebagai balasannya aku mendengar Gray mendesis tidak terima.   ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD