16

1067 Words
Untuk kali pertama sejak kami melewati perjalanan ini bersama. Abe duduk sangat dekat denganku di atas potongan pohon tumbang dengan akarnya yang sudah bersih dari tanah. Kami berisitirahat di tepi hutan agar masih bisa mengawasi mobil kami dari kejauhan. Sedangkan Brooke duduk di tanah beralaskan sepatunya dengan Gray yang menatap penuh harap ke arah tupai panggang yang tengah ia makan. Api unggun berderik di tengah-tengah kami dengan panggangan darurat yan terbuat dari ranting. Sekarang Gray mengeong, kakinya meraih-meraih lengan Brooke.... Aku menyadari Abe mengatakan sesuatu, tapi aku terlalu sibuk memerhatikan hal lain sampai aku akhirnya berseru, “Apa?” Cukup ketus bahkan mengingat sebelumnya aku hanya berbincang secara tidak langsung dengannya setelah ia menunjukkan siapa ia sebenarnya.   “Brooke. Menurutmu ia laki-laki atau perempuan?” Abe setelah memberiku pandangan menilai yang sangat tajam. Pertanyaan itu membuat dahiku mengerut dalam. “Lha, apa kau tidak bisa mengetahuinya?” Abe menyeringai. “Jangan menjawab pertanyaan dengan pertanyaan, James. Itu tidak sopan.” Aku mengalihkan pandangan ke arah Brooke yang akhirnya menyerah dan memberi Gray salah satu paha tupainya. Kucing itu langsung melumatnya dengan cepat. “Jujur saja. Aku tidak ingin menebaknya.” Akuku sambil mengawasi Brooke menegak air dari botol hingga setetes jatuh di pangkal tenggorokannya. “Bagaimana seperti itu jika kau tertarik dengannya?” Nada Abe yang kebingungan itu membuatku sekali lagi menoleh ke arahnya. “Karena itu tidak penting di tengah-tengah apocalypse seperti ini.” Abe masih terus memandangiku dengan ekspresi yang sama sehingga aku merasa harus menjelaskan lagi. “Mungkin ini hanya ketertarikan sementara karena bisa saja kami adalah manusia terakhir yang hidup saat ini. Jangan tersinggung, karena kau memang bukan manusia.” Abe malah menyeringai. “Kau berusaha merasionalkan perasaanmu. Menarik.” Tenggorokanku terasa sakit karena menyadari Abe mungkin saja tengah menggodaku. “Lucu juga kau malah menanyakan semua ini padaku ketika seharusnya kau memberitahuku apa yang seharusnya aku lakukan sekarang.” Abe menggeleng. “Tidak. Aku tidak bisa. Ada malaikat yang pernah melakukannya, namun kami langsung mendapatkan teguran dari...” Ia menunjuk ke atas. “...Dan sejak saat itu kami tidak pernah mencoba untuk mempertanyakan atau memberitahu apa yang semestinya dilakukan manusia lagi.” Ini juga kali pertama aku melihat Abe bukan bagian dari dunia ini. Selalu ada semacam kesedihan yang tergambar jelas dari pancaran sinar matanya yang membuatku sadar Ab telah melihat begitu banyak kejadian di dunia ini. Tiba-tiba aku punya pertanyaan yang lebih menarik. “Daripada membahas Brooke. Aku ingin bertanya denganmu. Apakah ada alien di luar sana?” Tapi Abe diselamatkan dari menjawab karena Brooke sudah berseru, “Bagaimana caranya kau bisa membuat tupai ini jadi enak hanya dengan garam dan lada?” Aku mendengar Abe mendengus keras sekali sehingga aku menjawab secongkak yang aku bisa. “Karena aku Jamie Kim. Aku tahu apa yang aku lakukan.” Aku tidak mau mengakui bahwa aku juga sempat belajar tentang menu survival sebagai konten video-ku tapi tidak pernah kulakukan. Karena darimana aku bisa mendapatkan tupai sebagai konten di hari non-apocalypse? Sedangkan dalam video yang menjai referensiku itu pria tersebut menangkap sendiri buruannya. Hanya dengan bermodalkan ketapel dan batu. Aku tahu aku jago. Tapi aku juga sadar diri kalau aku tidak sejago itu. “Ini makanan terenak yang aku makan sejak beberapa hari terakhir. Terimakasih.” Ia memberiku senyumnya hingga kedua matanya tinggal segaris... Aku mendengar Abe berdeham keras di sebelahku. Membuatku berhenti membeku. Malaikat itu bangkit berdiri dengan sikap sangat santai kemudian berkata, “Ayo, sebaiknya kita berangkat. Piedmont tinggal sedikit lagi...” “Piedmont?” celetuk Brooke smabil memandang kami bergantian. “Ada apa di sana?” “Keluargaku,” jawabku sambil ikut berdiri. Berusaha keras untuk tidak memandang bibir seseorang itu yang basah dan berminyak akibat makan. “Aku mendapatkan pesan terakhir dari abangku kalau keluargaku baik-baik saja di sana. Mari berharap masih demikian.” “Apa mereka tidak masalah dengan...tamu?” Brooke lagi. Pertanyaan itu membuanya kelihatan lebih kecil dari seharusnya. Aku mengerjap dan entah kenapa malah memusatkan perhatian pada Abe yang malah berlagak melihat ke arah lain. “Yeah, aku rasa tidak masalah. Rumah abangku cukup luas untuk menampung lebih dari dua orang dan satu kucing. Lagipula mereka akan lebih senang jika ada  seseorang yang bisa diajak berbincang. Terutama Mom. Atau kau punya tujuan lain? Kami bisa...” “Sudah kubilang aku sudah tidak punya siapapun.” Brooke kedengaran lebih baik sekarang. Dan ia baru saja melompat berdiri. Mengumpulkan barang-barangnya yang berserakan sebelum memakai sepatunya. “Aku akan ikut kalian.” Abe mengangguk-angguk. Berjalan mendahului kami dengan Gray yang mengekorinya rapat di belakang. Brooke tampak senang, menyusul kemudian. Meninggalkanku sendiri mematikan api unggun dnegan sol sepatuku. Namun Brooke sudah duduk di balik roda kemudi dengan amat percay diri, membuatku berdeham keras. Menunduk ke arahnya dari jendela mobil yang terbuka. Aku bisa merasakan Abe sedang menahan senyumnya di kursi belakang dengan Gray yang duduk dengan d**a membusung di pangkuannya. “Karena kau sudah memasakkan sarapan yang enak. Kau bisa berisitirahat dulu. Biar aku yang menyetir.” Aku kemudian mengedikkan bahu. Toh, itu penawaran yang bagus. Karena aku masih merasakan pengar yang berdenyut-denyut garang di tengkukku akibat minum semalam. Jadi aku memutari mobil dan mengambil duduk di sebelah Brooke. Seseorang itu menghidupkan mobil dan membuat mesinnya meraung sekencang-kencangnya. Membuatku panik.. Dan benar saja. Segerombolan zombi muncul dari tempat yang sama dengan kami menghabiskan makan kami tadi dan berlari ke arah kami saat itu juga. Namun Brooke sudah menancap gas. Cukup keras sehingga membuat tubuhku terpantil ke belakang. Aku mendengar protes keras Gray di belakang, tapi tidak dengan Abe.. Apalagi yang bisa kuharapkan dari semua keadaan ini? Rasa-rasanya tidak ada lagi hal yang bisa membuatku terkejut sekarang. Brooke menyetir gila-gilaan. Ia menyelip diantara mobil-mobil yang terparkir sembarnagan di jalan. Menabrak satu zombi “tidak bersalah” sekali sebagai balasan. Zombi itu terpental hingga ke atap mobil kami sangking kerasnya Brooke menabraknya. Aku mendengar Gray mendesis sesekali. Tapi aku sama sekali tidak mendengar protes Abe. Dari spion tengah aku mendapati malaikat itu hanya mencengkram pegangan di atas kepalanya. Ekspresinya tetap datar dan tidak terbaca... Setelah rasanya cukup akhriya Brooke melambatkan mobil dan berhenti sejenak. Ia tampak... bahagia. Seakan-akan banyak sekali hal yang sebenarnya ia pendam selama ini. Kebahagiaan murni dengan senyum lebar mengembang dan napas yang memburu. “Apa kalian baik-baik saja?” tanyanya dengan nada terputus-putus. Senyumnya lebar sekali. Ia bahkan menoleh ke arah Abe di belakang. Untungnya sarapanku tidak sebanyak yang aku bayangkan. “Tidak pernah lebih baik...”  ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD