“Tante Vale dan Om Dillan bicara langsung padamu tentang kepulangan Vanya dan makan malam nanti, kan?”
Aric menekan pangkal hidungnya, pembicaraan yang selalu ia hindari. Siang itu ia sedang tersambung dengan Mommy Anna di telepon. Mengingatkan sekaligus artinya Aric tak bisa menghindar untuk ikut. Aric tahu jika kali ini memberi alasan tak bisa hadir lagi seperti waktu-waktu kepulangan Vanya ditahun-tahun lalu, pasti akan membuat semua orang tahu ia sengaja tak mau bertemu Vanya walau sudah di curigai terutama oleh sang Kakak.
“Hm,” jawabnya dingin sekaligus enggan.
Tarikan napas dalam Anna terdengar di seberang telepon, sebagai tanda bila ia harus sabar menghadapi putranya yang lebih dingin di banding Kai masih muda.
“Aric.. jangan Hm.. hm aja! Jawab iya, jika kamu mau datang! Mom dan Daddy yang tidak enak pada mereka kalau kamu tidak ikut lagi!” geram Anna.
“Oke,” Aric pasrah saja, memberi jawaban yang Anna mau.
Menghadapi Kai dulu buat Anna harus punya kesabaran yang besar, kini menghadapi putranya harus memiliki sabar seluas samudera. Anna coba mengingat, apa ada mengidam sesuatu pas mengandung Aric dulu hingga sikapnya itu lho..aduh benar-benar buat Anna pusing tujuh keliling.
“Dari semua yang ada pada diri Daddymu, mengapa harus sikap ini yang menurun!” decak Anna.
Aric sedikit menjauhkan ponsel dari telinga saat mendengar ibunya mengomel.
“Mom telepon hanya mau mengatakan itu?”
“Astaga, anak ini!” decak Anna kembali, jika dulu Kai yang di buat pusing menghadapi keras kepala Fay, maka kini bagian Anna sementara Kai bila diminta menasihat putranya dengan santai akan menjawab..
‘Biarkan saja, Aric memang sikapnya begitu.’
Entah apa semua Ayah hanya serta lebih protektif dan posesif pada anak perempuan di banding anak laki-laki, itu yang Anna perhatikan sejak dulu bahkan saat Aric kerap buat ulah di bangku sekolah. Saat Anna dapat panggilan untuk datang akibat Aric bertengkar dengan teman laki-lakinya, merokok hingga pacaran di sekolah dan masih banyak lagi. Bahkan saat putranya memiliki tato di tubuhnya setelah setahun tinggal di Inggeris, Kai hanya menghela napas panjang dan menceramahi tentang tanggung jawab kepada diri sendiri. Aric kemudian setiap tahunnya di dapati Anna menambah tato di tubuhnya.
‘Mom ini hanya tato, seni. Jangan menilai seseorang tidak baik hanya karena menato tubuhnya.’ Elak Aric saat itu. Anna lelah menjadi cerewet, akhirnya membiarkan selama Aric tidak menyentuh obat-obatan terlarang. Kenakalan Aric bagusnya seimbang dengan prestasi selama di sekolah sampai kuliahnya. Fay dan Aric memang punya sikap masing-masing, tetapi perihal kecerdasan mereka mewarisi dari Kai dan Anna.
“Kalil Alaric Lais..” sebut Anna jelas. Memberi nama sudah bagus-bagus, anaknya malah kerap menguji kesabaran.
Jika Anna sudah memanggil namanya dengan lengkap pertanda jika Anna mulai serius. Belum lagi nada serius, pertanda Aric harus menghindar.
“Mom, aku harus keluar—”
“Kamu hanya menghindari Mommy.” Anna sudah sikap putranya yang kini sudah berusia dua puluh tujuh tahun.
Aric bisa saja langsung mengakhiri panggilan tersebut, tetapi Anna bisa saja mengadu pada Daddy yang ada di kantor kemudian yakin tak lama telepon di atas meja Aric akan berdering, Daddy memanggil, menceramahinya. Satu yang paling tidak bisa Kai terima bila Aric bersikap menyentak pada Anna.
Kai pernah mengingatkan ia, ‘Dad tidak akan banyak ikut campur asalkan kamu bertanggung jawab pada apa pun akibat dari perbuatanmu. Hanya satu, jangan buat Mommy menangis karena artinya kamu mengajak perang Daddy.’
Kai tak pernah membuat Anna menangis dengan sengaja menyakiti, melalui perbuatan atau lisan yang Aric tahu, orang tuanya terlalu harmonis dan saling mencintai. Wajar jika Kai tidak bisa melihat Anna terluka sekali pun karena ulah anak-anaknya. Bahkan, Kai luluh karena Anna lebih dulu mendukung dan memberi restu hubungan Fay dan Alyan. Saat itu, Aric sudah cukup dewasa, mengerti situasi hubungan rumit Fay dan Alyan sampai akhirnya restu mereka terima.
Tidak hanya Kai, Aric pun paling tidak bisa menyakiti hati Anna. Tetapi, sayangnya tidak ia terapkan pada wanita lainnya yang entah sudah berapa banyak ia patahkan hatinya terutama wanita itu, Vanya.
“Baiklah.. aku mendengarkanmu, Mommy.” Pasrah Aric. Salah satu alasan lain memilih keluar rumah, tinggal mandiri selain telah terbiasa hidup mandiri selama menempuh pendidikan di luar pun karena Mommy. Kadang Aric bingung, saat pada Fay, Anna lebih santai lain hal pada dirinya, selalu saja ada celah yang membuat Anna menemukan alasan mengomeli dirinya.
Helaan napas Anna Kembali terdengar berat, “bersikap baiklah, Tante Vale dan Om Dillan menyayangimu seperti putranya sendiri, Vanya teman sedari kecilmu. Harusnya kalian bisa tetap dekat.” Anna mengatakan demikian, mengingat makan malam enam tahun lalu. Saat perayaan kelulusan sekolah Aric dan Vanya. Sikap dingin Aric diperlihatkan di depan semua orang. Membuat Anna malu. Anna menyusul mereka terlalu lama untuk kembali, mendengar Aric dan Vanya berdebat kemudian Aric pergi dan Vanya menangis. Anna mendekat, Vanya menyembunyikan itu darinya. Mengatakan jika matanya terkena debu. Alasan klasik, padahal Anna tahu alasan Vanya menangis karena putranya.
Setelah malam itu, Vanya tidak lagi pernah datang ke rumah Lais, Vanya mengatur pendidikan bahkan saat berangkat ke Italia pun, Anna tidak tahu. Walau setelahnya komunikasi mereka berjalan baik dan Anna selalu menanyakan kabarnya entah secara langsung atau melalui Valerie, sahabatnya.
Anna sangat menyayangi Vanya seperti putri keduanya. Bahkan dulu, Vanya kerap di titipkan saat Valerie dan Dillan tidak bisa membawa putrinya.
“Alaric, kamu dengar Mom bicara ‘kan?” tegur Anna setelah tidak mendengar Aric menanggapi.
“Aku mendengarmu, Mom.”
“Jika bisa, nanti pulang ke rumah. Jangan ke apartemen. Belakangan kamu jarang pulang.” Peringatan Anna lagi.
“Ya.” Aric tidak bisa menolak walau artinya ia tidak bisa bersenang-senang di Jumat, malam Sabtu seperti kebiasaannya. Dia akan hangout dengan temannya.
Anna mengakhiri panggilan. Aric meletakan ponselnya di meja. Bersandar sambil memejamkan mata sekilas karena berikutnya pintu di buka dari luar, salah satu dari si kembar, sepupunya muncul.
Ya, selain Aurora Kyomi Lais sebagai sepupu dari Om Kaflin dan Tante Ami, Aric punya sepupu kembar yang lahir hanya beda sekitar beberapa bulan lebih dulu. Dia adalah Halim Benjamin Lais dan Hamish Benedict Lais.
Hamish, yang datang menemui dirinya. Dia ikut mengelola bisnis ini Bersama Aric dan Kai. Sementara Halim, ia mengikuti Langkah Om Kaflin menjadi dokter internis, yang kini masih melanjutkan pendidikan di Jerman.
Hamish dan saudara kembarnya kembar identik, sehingga bagi yang baru mengenal akan sulit membedakan keduanya. Kecuali, sikap mereka. Hamish tak berbeda dari Aric. Sementara Halim, keturunan Lais yang paling sempurna dan alim. Bahkan sering jadi bulan-bulanan saudara kembarnya dan Aric, karna hidupnya yang lurus sekali. Memiliki pacar satu dan setia sampai kini sama-sama berkarier sebagai dokter.
“Mukamu kusut sekali!” komentar Hamish, ia menarik bungkus rokok dari dalam saku celananya. Mengambil satu dan menyelipkan di antara bibirnya yang coklat, Aric melempar sebuah korek gas. Hamish kehilangan korek gasnya entah di mana.
“Mommy menelepon, memperingatkan aku untuk datang ke makan malam.”
“Siapa?”
“Vanya pulang ke Indonesia.”
Beritahunya sampai-sampai gerakan Hamish menghidupkan rokok berhenti, satu alisnya naik. Melihat wajah Hamish, mereka bersyukur sekali keluarga Lais punya gen yang bagus. Selain Om Kaflin yang memang tampan, istrinya pun jadi bibit unggul untuk si kembar. Seperti halnya Aric dapatkan dari Kai dan Anna. Bahkan, kakak mereka, Amora menjadi model dan aktris dengan bayaran yang tinggi di tahun ini.
“Oh, s**t! Pantas kamu kalut!” ledek Hamish.
Di banding dengan Halim, Aric lebih banyak menghabiskan waktu Bersama Hamish. Segala hal tidak ada yang Aric sembunyikan dari Hamish, begitu pun sebaliknya. Sampai busuk-busuknya mereka saling memegang kartu as masing-masing. Halim tahu, tetapi pria pendiam itu tidak mungkin akan membocorkan pada orang tua mereka.
Hamish kemudian menyeringai, “Vanya benar-benar menghilang, aku jadi penasaran bagaimana rupanya sekarang.”
Vanya tidak hanya enam tahun memilih menetap di Italia, tetapi pun aksesnya benar-benar tertutup kecuali Fay yang pernah mengunjungi. Entah wanita itu punya akun media sosial pribadi atau tidak. Aric tak peduli juga. Selama enam tahun, benar-benar ia tak mencari tahu, walau saat ada reuni SMA, Vanya yang tak hadir kerap mengundang tanya kabarnya, mereka menanyakan pada Aric karena tahu orang tua mereka saling mengenal.
Hamish dan Halim tentu mengenal Vanya, meski tidak satu sekolah tetapi mereka tumbuh bersama. Orang tua mereka saling mengenal dan jadi kerabat dekat. Menyebalkannya, Vanya lebih menempeli Aric di banding sepupunya.
“Jika kamu mau dengan senang hati aku akan biarkanmu menggantikan posisiku untuk pergi makan malam membosankan itu.”
“Mommy tidak akan membiarkanmu, aku juga tak mau kehilangan telingaku.” Tolak Hamish, menghindari kemarahan Anna. Dia merinding membayangkan telinganya diputar Anna.
Aric mengerang, “baru kehilangan telinga, bukan barangmu!”
Hamish tertawa, ia segera melirik bawah perut. “kehilangan big guy lebih sadis lagi.” Sautnya bergidik.
“Kalau begitu, tidak perlu penasaran dengan rupanya sekarang. Pasti tidak ada bedanya. Tetap gemuk dan berjerawat. Pastinya, dia tetap manja dan cengeng, tukang mengadu juga.” Aric melontarkan sebutan untuk gadis itu.
Hamish tergelak, tahu betapa tak sukanya Aric pada Vanya.
“Kau tidak menyukainya hanya karena ia sering menempelimu?” selidik Hamish. Mereka menggunakan waktu istirahat untuk membicarakan Vanya.
Aric diam.
Hamish tahu Aric tidak akan menjawabnya, kemudian Hamish meraih ponsel. “Sudah lama aslinya aku tahu salah satu akun media sosialnya. Tetapi, dia jarang aktif atau apalagi unggah foto dirinya. Kebanyakan bangunan, pemandangan yang ia kunjungi—”
“Itu bukan informasi yang penting buatku, tidak usah beritahu aku!” potong Aric yang tidak mau mendengarkan Hamish yang baginya membuang waktu.
“Bagaimana bila dia cantik sekali, badannya bagus.. seperti seleramu, d**a dan b****g yang indah, bulat, kencang—”
Hamish tahu s*x appeal bagi Aric, dua bagian itu. Berbeda dengannya, yang s*x appeal utama bagian leher indah, kaki jenjang.
“Jika Vanya begitu, aku akan memberikan koleksi jam tanganku yang kamu incar. Ya, walau jelas.. kuyakin seperti apa pun perubahan dia.. tidak akan membuatku menyukainya.”
“Deal!” decak Hamish semangat, apalagi tahu jam tangan yang di maksud bernilai ratusan juga. “Astaga, hati-hati dengan lisanmu, Aric! Jangan sampai kau jilat ludahmu sendiri.”
Aric mengedikan bahu acuh, mustahil baginya akan jatuh cinta pada teman kecilnya yang sudah ia benci sejak lama.
“Jika aku tetap tidak tertarik padanya, kau harus memberikan motor Diavel-mu!”
"b******k!" Mata Hamish melotot. Aric menuruni Kai yang pandai negosiasi. Tidak memberi umpan secara Cuma-Cuma.
“Sepertinya tak ada salahnya aku datang, menyapanya sebentar demi menyenangkan para orang tua terutama Momny.” Gumamnya.
Aric menggerakkan kursi, menerka-nerka wajah Vanya sekarang.
Wanita itu memilih pergi darinya, seharunya terus begitu. Mengapa sekarang Kembali? Membawa kejutankah? Apa pun itu, Aric yakin hatinya tidak akan terpengaruh.
Vanya bukan wanita yang bisa memenuhi selera apalagi punya s*x appeal yang Aric inginkan.