Bertemu Lebih Awal

1965 Words
Kakinya terus bergerak cepat di atas tredmill, keringat mengucur deras membuat tubuhnya basah hingga pakaian yang dikenakan. Ia sesekali menyeka dengan handuk yang di bawa. Memakai atasan model crop longgar berwarna putih melapisi sport bra hitam di dalamnya. Tangan Vanya bergerak menekan pengaturan untuk menurunkan intensitasnya, ia meraih tempat minum gradasi warna oranye, biru dan ungu. Minum perlahan sambil mengatur napas. Sudah beberapa hari ia kembali ke Jakarta, memikirkan akan bertemu dengan Aric sungguh membuatnya hampir insomnia. Rasanya ingin begitu saja kabur dari Jakarta Kembali ke Italia. Namun, Vanya tahu jika itu mustahil dan yang ada nanti malah jadi tanda tanya besar orang tuanya. Terlalu konyol apalagi jadwal pesawat untuk kembali ke Italia pun tidak bisa di percepat. Selain itu, Vanya masih rindu dengan orang tuanya dan yang lainnya. Hadapi. Vanya hanya punya pilihan tersebut. Berhenti jadi pengecut, harusnya enam tahun sudah berhasil membuat ia melupakan dia. Tidak ada tempat bagi pria menyebalkan itu. Telah mencari ide untuk membatalkan, justru semua jadi buntu. “Vanya, masih mau di sini?” tegur sepupunya, Ruben. Sepupu berusia dua tahun di bawahnya. Anak dari adik mamahnya. Ruben yang mengajak Vanya datang ke tempat GYM. Lari salah satu olahraga kesukaan Vanya, ya segala lari. Termasuk lari dari kenyataan, lari dari dia. Vanya melepas earphone, kemudian menekan tombol off hingga alat tredmill berhenti. Vanya turun, menatap Ruben yang mengulurkan handuk. Vanya segera menerima, mengelap keringat di wajah, leher dan lengannya. Ruben menyeringai, “damn!” umpatnya. “What?” tanya Vanya. Tiba-tiba sepupunya mengumpat. “Kamu tidak lihat, pria-pria di sana sejak tadi menatap body-mu! Bisa-bisanya punya body aduhai sih Vanya! Bikin Om-Om itu ileran!” Vanya memutar bola matanya, “Aduhai apa sih?!” rasanya Vanya ingin menoyor kepala Ruben. Walau memang Vanya menangkap basah tatapan m***m para pria itu. Vanya pilih mengabaikan, walau rasanya ingin mencolok mata para pria itu sudah termasuk pelecehan. Harusnya mereka bisa jaga pandangan. “Kalau aja kamu bukan sepupuku—” “Apa?! Tidak ada ‘kalau aja’ ya! Kamu sepupuku, jangan berpikir aneh-aneh!” omelnya membuat Ruben terkekeh. Ruben mendirikan sebuah Platform online yang sedang sukses, platform lokal. Dia bisa bekerja dari mana saja, hari ini pulang tengah hari, kemudian merecoki Vanya hingga berakhir sore ini di tempat GYM. Vanya berharap berkeringat bisa membuatnya lebih tenang, rasional sebelum menerapkan pikiran-pikiran gilanya. “Balik yuk! Mandi, bersiap nanti malam ikut aku!” ajak Ruben. “Ke mana?” “Hangout. Sesekali, Tante Valerie sama Om Dillan juga yang minta aku ajak kamu keluar, katanya kamu sering melamun, mungkin bosan di rumah.” Cerita singkat Ruben. Orang tuanya ternyata mengadu pada Ruben. Padahal Vanya sudah berusaha untuk menyembunyikan kekalutannya, tetapi namanya orang tua tentu saja punya seribu satu cara sampai yang tak bisa di tebak hingga tahu ada yang sedang di pikirkan anaknya. “I’m fine, melamun karena memikirkan kerjaan aja kok. Aku jarang cuti jadi rasanya ada yang beda pas tak bekerja.” Alibinya. “Ya udah, tetap ikut aku. Teman-teman aku pasti akan berdecak iri lihat aku gandeng perempuan cantik, seksi pula.” Vanya memutar bola matanya, malas. “Awas aja sekali lagi sebut aku seksi, aku tidak akan mau ikut!” ancamnya serius, Vanya tidak suka di bilang begitu, baginya malah butuh penurunan beberapa kilo lagi untuk bentuk idealnya. Tubuhnya masih terlalu berisi, bukan yang bagus seperti para model. “Menurutku, ini masih berisi banget.” “Bagusan begitu lah, dari pada kayak tripleks!” “Hah, jangan body shaming ya!” Ruben terkekeh,”Sorry.. udah yuk cabut!” Vanya mengangguk, setuju untuk selesai di sana. Dia tidak berganti pakaian, karena Vanya kadang tak merasa aman jika berganti pakaian di tempat GYM begitu. Bayangannya bagaimana bila ada kamera tersembunyi? Merekam dirinya sedang berganti pakaian. Ruben mengantar Vanya pulang, bilang pada Valerie jika ia akan pergi dengan Ruben malam ini. Vanya mandi, keluar dengan handuk membungkus kepalanya. Getar dan dering tanda pesan masuk, menarik atensinya. Vanya mendekat, meraih ponsel yang sedang di isi daya. Satu pesan dari Fay, Kakak Aric yang masih berkomunikasi baik dengannya. [Anya, kamu sudah di Jakarta, kan? Kenapa tidak bilang, main sini ke rumahku.] Vanya menarik napasnya lebih dalam, bukan tidak mau menemui Fay dan anak-anaknya. Tetapi, Vanya meminimalisir pertemuan dengan Aric yang mungkin terjadi di sana. Karena tahu sedekat apa Aric dengan keponakannya, mungkin Jumat, malam Sabtu seperti ini, Aric mampir dan menginap di sana. Vanya sudah terlanjur membaca, tidak mungkin mengabaikan. Jadilah ia membalas dengan menolak secara halus. Semoga Fay tidak kecewa. [Iya, Ka. Cuman aku tidak kasih tahu karena jetlag. Terus kangen sama Mamah dan Papah, jadi masih di rumah. Belum ke mana-mana. Kalau sempat nanti aku main ya] balasnya. Kemudian tanpa menunggu balasan dari Fay, Vanya meletakan ponsel Kembali ke atas nakas. Ia memilih berpakaian. Bersiap karena Ruben sudah menunggunya. Vanya makan di luar, kemudian Ruben mengajaknya ke sebuah Kafe and Bar rooftop salah satu hotel. Tidak terlalu ramai tetapi, cukup nyaman. Ruben bergabung dengan beberapa temannya. Mengenalkan Vanya pada mereka. Semua berusia di bawah Vanya, mereka menghargainya. “Vanya, minum apa? Atau aku pesankan yang biasa?” tanya Ruben, yang di maksud minuman beralkohol. Vanya menggeleng kecil, “tanpa alkohol.” Meski tinggal di luar, kerap hangout dengan teman-temannya dari kuliah sampai kerja, Vanya minum tetapi hanya Wine yang masih di terima. Sisanya ia tidak suka, tidak akur juga degan alkohol. Terlalu berbahaya untuknya yang mudah mabuk, ia tak ingin berada di situasi bangun esoknya dengan penyesalan karena sudah melewati malam panas dengan pria tak dikehendakinya. Hidup mandiri bukan berarti dia bisa sebebas mungkin, orang tuanya memang tidak akan tahu tetapi ini perihal prinsip dan cara Vanya menghargai tubuhnya sendiri. Namun, Vanya pun tidak menghakimi prinsip teman-temannya yang sudah memilih lepas Virgin dari usia muda. Vanya hanya ingin melakukannya dengan orang yang mencintai dan dicintainya. Ruben memesankan minuman yang Vanya mau, dia mengajaknya sekaligus harus menjaga sepupunya. Tak lama Kembali, membawakan minuman untuk Vanya. “Aku butuh ke kamar mandi.” Vanya berdiri, Ruben menatapnya. “Vanya, aku antar?” “Tidak perlu, aku akan segera Kembali.” Vanya mengusap bahu sepupunya tersebut. Berlalu. Tak lupa membawa tasnya, Vanya buang air kecil kemudian mencuci tangan. Ia menatap lurus penampilan, celana Jeans biru, di padukan dengan cut out tank top hitam. Vanya membiarkan rambut coklat terurai jatuh dengan ujung yang mengikal. Make up natural, ia memoleskan sedikit lipstik. Vanya segera bergegas keluar, melangkah menuju meja yang tadi di tinggalkan. Saat beberapa langkah lagi, justru ia tertarik duduk di dekat pembatas yang memperlihatkan pemandangan malam. Ia naik ke kursi bar, duduk sambil memainkan ponsel. Ruben menyadari posisinya. Membiarkan Vanya menikmati waktunya sendiri. Anginnya tidak terlalu kencang, masih bersahat. Berada di rooftop lantai lima. Vanya membawa jaket jeans, belum sempat memakainya karena ia merasa di perhatikan, Vanya menoleh dan tatapannya jatuh pada sebuah meja. Ada tiga pria duduk di sana, salah satunya memerhatikan dengan lekat. Satunya lagi tak terlihat wajahnya karena memunggungi. Vanya mengedikan bahu, kembali menatap ke depan. Fokus memainkan ponsel, sampai merasakan kehadiran seseorang yang menempati kursi tepat di sebelahnya. “Sendirian?” tanyanya. Vanya tak asing dengan aksi seperti itu, mengawali perkenalan. Cara lama. Batinnya. Vanya memilih diam, menoleh pun tidak. Dia tertawa, meski diabaikan secara nyata tetap saja berusaha. Vanya melirik tangannya yang terulur, “Hamish, kamu siapa? Jangan katakan tak punya nama, tidak mungkin gadis secantikmu tanpa nama.” Hamish. Nama tak asing, Vanya seketika menoleh dan membalas tatapan mata pria itu. Ada seseorang yang ia kenal dengan nama sama, tetapi Vanya tidak mengingat apa memang orang yang sama. Sudah enam tahun. Dia tidak menyerah, “aku tidak sendirian.” Ujar Vanya akhirnya karena pria asing itu tetap mengulurkan tangan. “Aku datang dengan kekasihku, kau lihat meja itu? Bersama teman-temannya.” Ujar Vanya, terpaksa mengakui Ruben sebagai kekasih agar pria itu mau pergi. Dia menarik tangannya, mengusap tengkuknya, “tentu saja, mana mungkin kamu datang sendirian.” Dia mundur teratur, membuat Vanya lega bukan main. Dia baru saja beberapa detik menghadap ke depan, memandang gedung di depannya saat pria yang memperkenalkan dengan nama Hamish tadi terdengar suaranya. Di belakang punggung Vanya, bukan karena mengganggunya. Ketegangan terasa saat ia menyebut satu nama yang buat d**a Vanya berdetak kuat. “Aric!” panggilnya, kemudian Vanya menoleh dalam gerakan yang sangat pelan. Berharap jika bukan seseorang yang Vanya kenal. Ada banyak nama sama di kota besar ini. Tetapi, dunia memang menjadi sempit saat tak mengharapkan pertemuan ternyata semesta membuatnya bertemu. Pria itu memang Aric yang sama dan laki-laki tadi yang mengajaknya berkenalan adalah Hamish, sepupunya. Para keturunan Lais. Mereka berbicara. Detik itu kaki Vanya tiba-tiba lemas, telapak tangannya berkeringat. “Bagaimana bisa?” bisiknya. Mengepalakan tangan di atas pangkuan, detik itu seolah sadar di perhatikan, dia mengangkat pandangan dan sebelum tatapan mata beradu, Vanya segera berbalik memunggungi. Sebisa mungkin memasukkan ponsel ke tas, tetap tenang. Vanya melompat turun dari bar, melarikan tatapan pada meja Ruben berada, sialnya Ruben tidak ada di sana. “Di mana sih Ruben?!” gerutu Vanya. Ingatkan ia untuk benar-benar menoyor kepala sepupunya. Vanya menyesal ikut Ruben. Waktu seolah membuat perangkap di sana, Vanya tak ingin cari keberadaan Ruben sekarang selain angkat kaki dari sana. Jadi ia berjalan tergesa-gesa, pergi dari sana kemudian masuk ke lift. Vanya lega sekali setelah berada di dalamnya. Ia baru saja mengatur napas, kemudian mengambil ponsel dari dalam tas untuk mengabari Ruben. Baru buka bagian pesan saat seseorang menahan pintu lift yang hampir tertutup. Vanya mendongak seketika saja jantungnya hampir melompat dari rongga dadanya. Matanya membulat sempurna. Beruntungnya dia sedang fokus pada layar ponsel, Ketika melangkah masuk, cepat-cepat Vanya bergeser. Mengambil posisi terjauh mungkin sembari berkomat-kamit dalam hati agar Aric tidak mengenalinya. Tiba-tiba oksigen di dalam lift seolah terbatas, lift turun dengan lambat. Di tambah dari lantai empat tiba-tiba ada segerombolan orang yang masuk hingga membuat Aric bergeser dan begitu dekat dengannya, sampai-sampai lengan mereka saling bersentuhan dan hanya sentuhan tak sengaja tetapi seolah mengalirkan listrik, membuatnya berdebar. Perasaan sama, yang ternyata Vanya tahu ia tak pernah berhasil. Ia menarik napas lebih dalam, sebuah kesalahan saat parfum Aric justru menggelitik hidungnya. Vanya menahan kepalanya untuk tidak menoleh. Kian mengeratkan pegangan pada tasnya. Jaket berada di lipatan lengannya. Melarikan diri, justru terjebak dalam lift yang sama. Oh Tuhan, rencana apa yang sebenarnya dipilihkan untukku? Batin Vanya. Belum makan malam, mereka sudah bertemu. Sayangnya hanya Vanya yang mengenali Kalil Alaric Lais, tidak berlaku sebaliknya, Aric terlalu tidak peka dengan sekitar atau memang tidak mengenalinya. Ayo cepat sampai! Vanya terus merapalkan itu di hatinya. Ting! Denting lift terdengar, satu persatu keluar ruang persegi yang tak seberapa itu dan Ketika Vanya melihat kesempatan untuk melarikan diri lagi, ia tak menunda. Dia ambil langkah tercepat sampai tak sadar jaket dari lengannya jatuh. Aric yang terakhir segera menyadari sesuatu jatuh di dekat hatinya. Aric menunduk mengambil jaket itu kemudian mengejar sambil memanggilnya. “Permisi, jaket Anda jatuh..” Vanya berada di dua langkah dengannya, kakinya terpaku. Hatinya berdebat, untuk terus berlari, melarikan diri atau berbalik dan pura-pura tidak mengenali. “Hai, ini jaketmu!” Sapanya. Tak sabar. Suara dia telah banyak berubah. Lebih berat. Vanya memejamkan mata sembari mengepalkan tangan dan berbalik, tatapan mata mereka beradu dalam. Seolah mereka berdua terjebak dalam dimensi berbeda dengan orang-orang di sekitar. Seolah waktu tak lagi bergerak saat itu. “Ya-ya.. thank you..” bisik Vanya, ia meraih jaket miliknya dari tangan Aric kemudian saat akan menariknya justru Aric menahannya. "Tunggu.." Vanya mematung. “Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanyanya dengan suara tegas. Membuat tengkuk Vanya merinding. Vanya terperangkap dalam tatapan matanya yang dingin dan menyesatkan, tak pernah berubah sejak dulu. Masih saja sama. Gugup. Vanya harus memberi jawaban apa? Pura-pura tidak kenal atau langsung berbalik dan pergi? Andai saja di bawah kakinya ada lubang, Vanya pasti pilih terjun ke lubang tersebut dan menghilang sekarang juga. Kenapa Tuhan, kenapa kami harus bertemu sekarang? Batin Vanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD