Finally I'm Home

2125 Words
Pulang ke Jakarta. Rasanya berat dan ingin sekali Vanya membatalkan dengan cara apa pun. Mudah saja dia memberi alasan berbohong pada orang tuanya jika ia tidak jadi pulang ke Jakarta, dia bisa mengatakan ada pekerjaan yang buatnya tidak diberi ijin untuk cuti atau bisa bilang tengah sakit. Vanya mengemas koper malas-malas, memilah dan memilih pakaian selama dua pekan di Indonesia, pakaian dalam lemari rumah dan di sini jelas lebih banyak yang ada di apartemen ini. Bagusnya Vanya mengajak sekeluarga liburan, camping yang menyenangkan seperti dulu Dillan dan Valeri sering mengajaknya, ada waktu tidak harus selalu di rumah dan kemungkinan bertemu dengan seseorang yang paling dia hindari. Setelah enam tahun tinggal di Italia. Setelah menyelesaikan pendidikan sampai jenjang Magister sambil bekerja. Lalu Vanya Resign dari perusahaan lama di Milan, Italia, dia bergabung dengan perusahaan arsitektur besar di Roma. Untuk usianya, karier Vanya sangat bagus. Dia bisa menggemukkan tabungan dari hasil kerja kerasnya. Orang tuanya kecewa dengan keputusan Vanya yang memilih bekerja di sana dan tidak kembali ke Jakarta, bergabung dengan perusahaan design dan interior milik orang tuanya yang bergabung dengan Lais Grup, lalu dijalankan bersama Anna. Tidak asing bukan? Ya, Lais Grup milik orang tua dari pria yang Vanya hindari. “Ah.. selesai juga!” Vanya sudah memastikan tidak ada yang kelewat dari daftar barang-barang harus di bawa. Dia berjalan, menyambar handuk dan mandi. Bersiap-siap, memilih sarapan di bandara nanti. Vanya keluar berbalut jubah handuknya. Rambutnya tergulung handuk lainnya. Vanya melepas handuk, dan segera memakai pakaiannya. Dia berdiri di depan cermin, menghela napas dalam. Masalah utama punya tubuh berisi, bagian dadanya pun jadi lebih besar seolah di tuduh hasil Plastic surgery, meski ia memakai kemeja atau pakaian lain yang tidak ketat, kelihatannya tetap saja haram. Apalagi ketika mata pria m***m yang melihatnya terlihat terang-terangan menatap dengan lapar. Tidak hanya d**a, bagian belakangnya pun. Dia memakai hoodie biru setelah mengeringkan rambut dan mengikat tinggi. Vanya sedang memakai sepatu boots berwarna krem yang tingginya beberapa senti dari pergelangan kaki. Menutupi ujung celana legging hitam. Penerbangan belasan jam, harus berpakaian yang nyaman. Tepat saat itu, Vanya menatap ponselnya yang berdering, panggilan masuk dari sang kakak. Yudistira, tiga tahun lalu Yudistira sudah menikah. Vanya bersyukur sekali ketika menghadiri pernikahan sang Kakak, orang itu masih kuliah di Inggris, jadi tidak ada kesempatan bertemu. Ya, Vanya malas menyebut namanya. Sangat menghindari. Yudistira bukan anak kandung orang tuanya, Yudistira adalah putra semata wayang dari Kakak ayahnya, Dillan. Mereka mengalami kecelakaan hebat saat Yudistira berusia tiga tahun di perjalanan menuju Palembang, mobilnya sampai sangat hancur, Yudistira satu-satunya yang selamat itu pun ditemukan terbanting keluar dalam dekapan ibunya yang langsung merenggang nyawa di tempat. Dillan adalah keluarga satu-satunya yang di miliki Yudistira, Dillan memutuskan untuk mengurus Yudistira seperti putra sulung sampai menikah dengan Valerie, dan Valerie ikut mengurus Dillan. Jadi, bisa dikatakan jika Vanya anak semata wayang Valerie dan Dillan, meski begitu Vanya sangat menyayangi Yudistira. Begitu juga sebaliknya. Vanya mengangkat telepon tersebut, “Ya, Bang?” memanggil Yudistira dengan panggilan ‘Abang’. “Sudah di Bandara?” “Baru mau keluar apartemen. Kenapa? Pasti Mamah dan Papah yang minta Abang telepon?” “Iya, Mamah dan Papah Excited banget sampai mau ikut Abang ke Bandara. Jemput kamu.” “Astaga.. astaga!” decak Vanya, sampai berkacak pinggang seolah berhadapan langsung. Ia hanya meminta Yudistira yang menjemput, “rombongan!” Suara tawa Yudistira terdengar, “mereka senang banget pas dapat kabar kamu akhirnya bisa cuti dan pulang.” Dua tahun belakangan atau lebih tepatnya jalan ketiga tahun ini, Vanya benar-benar tidak pulang. Hanya orang tuanya dan Yudistira setahun lalu datang, mengunjunginya hanya beberapa hari. Wajar bila kepulangan Vanya, di sambut sangat bersemangat orang tuanya. Jika sudah seperti ini, Vanya mana tega membuat mereka kecewa lagi hanya karena ia menghindari seseorang. Vanya hanya punya harapan, seperti saat ia pulang ke Indonesia sebelum-sebelumnya, kali ini pun tidak bertemu dengan pria itu. Vanya dan Yudistira berbicara beberapa patah kata, “hati-hati, sampai bertemu di Jakarta.. kami menunggumu.” “Ya, Abang.” Sautnya sebelum mengakhiri telepon. Gadis berambut pirang itu menarik napas dalam-dalam, tidak bisa membatalkan untuk pulang. Vanya memasukkan ponsel ke tasnya. Memastikan paspor dan surat-surat penting lainnya di bawa. Vanya menyeret satu koper, keluar dari apartemen yang di tempati selama satu setengah tahun di Roma. Vanya berpapasan dengan penghuni sebelah apartemen, menyapa ramah. Taksi sudah menunggu, ia menuju bandara Fiumicino. Dia sarapan sambil menunggu jam penerbangannya. Satu jam kemudian ia berjalan mencari nomor kursinya, selalu memilih di dekat jendela. Dia memakai sabuk pengaman seperti instruksi, kemudian memejamkan mata, mulai berdoa untuk keselamatannya juga.. ‘Kumohon, jangan pertemukan kami seperti enam tahun yang telah terlewati. Aminn..’ batinnya seiring kelopak mata dengan bulu mata lentik itu terbuka. Vanya menyumpal telinganya dengan earphone, memutar lagu-lagu favorit. Perjalanan panjang dan Vanya berharap tidak ada penyesalan dengan keputusannya. “Hanya dua minggu.. setelah itu, aku bisa kembali ke Roma.” Yakinnya, Vanya tidak mau ada rencana berantakan meski kadang semesta kerap kali bercanda saat suka mengacak-ngacak rencana manusia. *** Dengan transit dan beberapa kali ada masalah cuaca, Vanya baru mendarat di Jakarta yang normalnya belasan jam, ia baru sampai setelah hampir dua puluh empat jam. Benar-benar seharian lebih. Vanya menunggu kopernya, memerhatikan benda itu bergerak dan jangan sampai terlewat. Begitu menemukan koper berwarna orange dengan stiker khas menara Pisa dengan nama inisialnya ‘VR', dia tersenyum. Dia mengangkat koper itu, kemudian keluar dari sana. “Vanya!” sebuah seruan membuat Vanya mencari, suara Valerie. Ibunya. Vanya melepas kaca matanya, ruas bibirnya tertarik membentuk senyum lebar. Dia mengeret kopernya kian cepat, kemudian melepasnya dan langsung memeluk Mamah. Tangis Valerie pecah, wajah Vanya jadi sasaran ciuman sang Ibu. “Gadis Mamah!” bisiknya. Vanya yang sudah sekuat tenaga tidak ingin menangis, tidak bisa bila sudah melihat ibunya menangis, pasti akan ikut tersentuh. Tangan Vanya mengerat, kian erat memeluk ibunya. “Finally i'm home, Mah!” Lirih Vanya, tak ingin buang diri dari keluarga. Harusnya ia tidak menghukum mereka dengan kerinduan hanya karena seseorang yang tidak pantas jadi bagian penting di hidupnya. Valerie menarik tangan dari tubuh putrinya, tangannya bergantian menangkup wajah Vanya. Bersih sekali tanpa bekas jerawat yang dulu hadir di tengah masa transisi menjadi dewasanya. “Cantik sekali, kamu!” kagum Valerie. Yudistira juga sang Ayah setuju. “Kurusan lagi! Pasti makanmu tidak teratur!” Vanya menatap ibunya lucu, “seperti ini di bilang kurus, Mah? Ya ampun, aku tuh masih gemuk tahu!” “Tidak ah, kamu kurusan Vanya!” Setuju istri dari Yudistira. Vanya beralih pada iparnya, Jenar yang tengah hamil sudah tujuh bulan. Setelah penantian tiga tahun akhirnya Yudistira dan Jenar dapat kepercayaan dari Tuhan. Memeluk erat Jenar, Vanya menunduk mengusap perut berisi keponakan pertamanya. “Kapan due date-nya, Ka?” “Ini baru masuk tujuh bulan, akhir bulan Agustus.” Vanya kembali tepat di bulan Juni. “Ya, tahu gitu aku ambil cutinya bulan Agustus aja. Biar bisa ada pas Ka Jenar lahiran!” “Pulang lagi nanti. Harus pokoknya!” ucap Jenar. Jelas tidak mungkin, walau dia bekerja di perusahaan besar, kariernya bagus, tetap saja Vanya tidak bisa seenaknya cuti. “Sudah, baru sampai jangan bahas yang lain.” Kata kepala keluarga itu, Dillan. Vanya berbalik, melangkah memeluk cinta pertamanya itu. Ayah terbaik di dunia versi Vanya punya. Dilan mengecup pelipis putrinya. “Pulang yuk, Pah.. Vanya udah lapar.” Keluhnya manja. Kalau sudah di rumah, dia akan jadi putri raja yang manja. Berbeda saat hidup sendiri mulai dari kuliah di Milan sampai kini menetap di Roma, mandiri. “Mamah sudah tahu kamu pasti lapar, kita beli sesuatu buat ganjal perut. Makan besarnya di rumah, Mamah udah masak ayam garang asem dan rawon kesukaan kamu, terus nanti bikin tempe mendoan, hangat-hangat biar enak di makannya!” Vanya melerai pelukan dari Dillan, lalu memegangi perutnya. Ia kian lapar membayangkan kedua makanan favoritnya. “Makin lapar! Pokoknya no diet-diet selama di rumah!” decaknya semangat, buat semua orang terkekeh. Yudistira mengambil alih koper, membawanya. Menuju resto siap saji. Hanya beli burger untuk menganjal perut. Vanya tidak mau kekenyangan dan tidak bisa puas makan masakan Indonesia yang telah disiapkan Mamah. Vanya selalu memilih duduk di dekat jendela, ketika duduk di pesawat atau pun mobil. Dia suka memandang keluar, menatap mobil-mobil yang melaju mendahului mobilnya. Memandang kota Jakarta yang jadi asing karena terlalu lama ia tinggalkan. Dua tahun tidak pulang, terakhir pulang saat Yudistira dan Jenar menikah. Oh atau hampir tiga tahun yang tepat seperti usia pernikahan kakaknya. My Mind & Me, lagu Selena Gomez tepat berputar. Seolah mendukung suasana hati Vanya. Vanya turut menyanyikan dengan suara pelan. Ia menatap ke sepanjang jalan yang di lalui, mengingat sebuah kejadian di masa lalu. “Kenapa berhenti di sini?!” Vanya panik saat Aric menghentikan motor sport-nya. Saat itu mereka sudah kelas sebelas, masa putih abu-abu. Valerie dan Dillan sedang keluar kota, Vanya selalu dititipkan di rumah Lais, pada Anna dan Kai jika mereka sedang ada urusan yang harus menginap dan tidak bisa mengajak Vanya karena tidak mau ganggu sekolahnya. Vanya tidak tahu sejak kapan Aric dibolehkan membawa motor, padahal surat ijin pun mengemudi belum memilikinya. Aric baru berusia tujuh belas tahun bulan November nanti. Masih beberapa bulan. Vanya sangat hafal. “Turun!” Aric memaksa tangan Vanya lepas dari memeluk pinggangnya. Dia risih. Vanya berpegangan selain cari kesempatan juga takut jatuh, Aric sengaja membawa motornya cepat. Ulah kesal karena harus pergi dengan Vanya atas paksaan Mommy Anna. “Tidak!” tolak Vanya, “ini masih jauh dari sekolah!” “Turun, Vanya! Aku tidak mau satu sekolah tahu kita datang ke sekolah bersama!” ujarnya terus terang. “Aric ini hari Senin, kalau aku jalan.. aku bisa terlambat, nanti—“ “Itu derita kamu! Bukan urusanku! Kamu bisa lari atau naik ojek buat cepat sampai!” potongnya cepat. Vanya tetap bersikeras tidak mau turun, “kamu mau aku kasar, iya?!” ancamnya. Vanya menarik napas dalam, menahan air matanya tidak jebol detik itu juga. “Kamu tidak serius, kan?!” Vanya berusaha membuat Aric berubah pikiran. “Aku sangat-sangat serius! Cepat turun! Makin lama, kamu makin bisa terlambat!” bentaknya. Vanya terpaksa turun, dia menatap Aric. Tangannya terulur memegang ujung baju sekolah Aric. Menahannya. “Lepas, bajuku kusut ah elah!” decaknya kesal. “Aric, please.. masa kamu tega sama aku!” “Bodo amat!” balasnya tidak peduli. “Aric—“ “Awas kalau sampai kamu ngadu ke Fay apalagi Mommy! Aku bakal makin benci sama kamu!” ancamnya kemudian membuat gerung motornya terdengar, sebelum melaju tanpa punya hati. Vanya mengepalkan tangan, menatap punggung pria itu yang kian mengecil dari pandangannya. Vanya menatap sekitar, tidak ada tukang ojek pengkolan yang bisa ia minta buat ke sekolah. Vanya terpaksa berjalan, baru beberapa langkah dan.. Bugh! Dia terjatuh karena menginjak tali sepatu yang tidak terikat. Kedua tangan menahan bobot tubuhnya. Terasa perih di telapak tangan dan lututnya. Vanya mengangkat telapak tangannya kemudian terlihat kotor dan sedikit lecet. Air matanya jatuh, berulang kali Aric bersikap menyebalkan. Tidak baik lagi seperti dulu, menjauhinya, tetap saja Vanya mencintai lelaki itu lebih besar dari menyayangi dirinya sendiri. Vanya membersihkan tangan dan lututnya dengan tisu basah yang ia bawa, kemudian berusaha untuk sampai sekolah lebih cepat sebelum upacara kenaikan bendera di hari Senin. Hari itu karena Aric, Vanya terlambat dan di hukum. Ia di jemur di tengah lapangan, sementara Aric dari lantai dua menatapnya tidak merasa bersalah. Hanya salah satu dari banyak kenangan masa lalu yang menyakitinya. 'Cukup!' Batinnya menolak meneruskan ingat kenangan bersamanya. “Anya.. Vanya.. Mamah bicara sama kamu!” Tegur Valerie, membuat lamunan Vanya bubar. “Eh, iya Mah?!” “Melamun apa sih, Sweetpie?” Tegur Mamah. Vanya tertangkap basah melamun. “Oh, lagi coba mengingat apa ada yang ketinggalan di apartemen.” Terpaksa berbohong. Mamah berdecak, “terus kalau ada yang ketinggalan, kamu bisa balik cepat ke apartemen? Ada di Roma lho, kamu udah di Jakarta.” Vanya menggaruk pelipisnya, menyengir saja. “Mamah bilang apa tadi?” “Oh, itu.. Mamah undang Tante Anna dan Om Kai, juga keluarga Fay-Alyan buat makan malam sama kita di akhir pekan ini. Aric juga, Mamah bertemu dan mengajaknya langsung.” Deg! Seketika senyum lebar di wajah cantik Vanya surut. “A-Aric? Mamah bilang siapa? Aric?” nada suaranya bahkan bergetar saat menyebut namanya. Lidahnya teramat kelu untuk mengatakannya. "Iya, Aric." Valerie mengerutkan kening, tetapi tidak menganggap itu sebagai tanda Vanya tak suka, “enam tahun tidak pernah bertemu, kamu pasti kangen sama Aric. Kalian pasti senang bisa bertemu.” Mengatakannya dengan riang. Sementara Vanya memaksakan dirinya untuk berekspresi biasa. Benarkan, semesta kerap bercanda mengacak-ngacak rencana dan memupuskan harapan manusia. ‘Aku harus cari cara untuk menggagalkan makan malam itu, atau apa pun yang bisa buat tidak bertemu dengan dia. Senang? Mamah bercanda? Siapa yang akan senang? Jelas bertemu Aric adalah hal paling tidak aku inginkan terjadi sekarang atau nanti.’ Batinnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD