Tanpa Rindu..

2063 Words
Beberapa tahun kemudian... Beberapa pakaian pria dan wanita berserakan di atas lantai, menandakan badai gairah semalam baru saja melanda. Sinar matahari sudah menerangi hari, nyatanya tidak mengganggu sepasang manusia yang terlelap dalam selimut tebal sampai sebuah nada dering telepon yang tergeletak di atas nakas memaksa salah satu manusia di sana membuka kelopak mata. “Ckck!” dia berdecak kesal. Mengusap wajah dan segera duduk, membuat selimut merosot hingga pinggang. Memperlihatkan bagian atas tubuh proporsional dengan beberapa tato yang terukir. Gambar perahu perompak di punggung, ada ular melingkar di bagian salah satu bahunya, beberapa tato lainnya. Dia menyibak selimut tanpa peduli keluhan teman tidurnya yang dingin. Dia menyingkirkan tangan dengan ujung jemari berkutek Pink tersebut dari perutnya. Dia berjalan meraih boxer brief hitam yang tergeletak di dekat kaki ranjang, ia langsung kenakan tanpa repot memakai pakaian lainnya. Membungkuk, dia semakin berdecak malas melihat nama yang menari-nari di layar ponselnya. Fay, sang Kakak sudah menganggunya pagi-pagi seperti ini. Aric malas menggeser tanda hijau dan berjalan ke depan jendela. Tangan lainnya menyentuh kaca. “Hm..” gumamnya. “Ke mana saja sampai lama jawab teleponku?!” suara Fay yang keras membuat Aric harus menjauhkan ponsel itu dari telinga. Fay terdengar marah. “Aku baru bangun.” Jawabnya kian malas. Aric memang memutuskan tinggal di apartemen setelah kembali ke Indonesia. Menyelesaikan pendidikan langsung sampai gelar magister, Aric di usianya yang baru dua puluh tujuh tahun sudah terjun ke bisnis. Membantu Kai dan Anna di Lais Grup. Sementara kehidupan pribadinya, tidak ada yang bisa mengendalikan Aric. Dia pernah di kritik dan tidak di anggap becus oleh sebagian orang karena gaya hidupnya. Terutama tato di tubuhnya. Dia tidak banyak bicara selain membuktikan melalui kinerja kerjanya. “Aku akan ke apartemenmu, lalu kamu ikut aku pulang ke rumah—“ “APA?!” Aric menaikkan suaranya. Membuat wanita di atas tempat tidurnya terbangun, dia duduk tanpa repot menutupi tubuhnya. Wanita itu perlahan meraih T-shirt milik Aric dan memakainya. Kaki telanjangnya berjalan mendekat hingga memeluk manja Aric. Tangannya mengusap dadanya secara sensual. Aric menghentikan, mendapat protes manja darinya. “Aku sudah dekat,” suara sang Kakak kembali terdengar. “Tunggu..” Aric berkaca pinggang, Fay jelas serius mengatakan akan ke apartemen. “Kamu dengan siapa?” “Suamiku dan anak-anak.” Fay bersama tiga anaknya, Sky yang sudah berusia delapan tahun, Sagara yang lima tahun dan si bungsu, Fayra yang kini berusia dua tahun. “Damn!” umpat Aric. “Jangan mengumpat! Awas saja kalau aku sampai dan menemukan sesuatu yang tidak pantas di depan anak-anakku. Aku akan lapor Daddy dan Mommy—" “Kamu terlalu sering mengancam, Fay!” Ia langsung mematikan telepon tanpa pedulikan kakaknya masih mengomel, Aric melepas tangan wanita itu, berputar dan dia menatap wanita di depannya dengan ekspresi dingin. “Berpakaian, lalu pergi!” “Kenapa kamu mengusirku?” dia tidak terima. “Tidak ada waktu untuk menjelaskan, Sarah!” bentak Aric. Sarah tahu jika Aric paling benci dibantah. Aric bergerak cepat meraih pakaian Sarah, melemparnya yang langsung didekapnya. Dua bulan mereka bersama, Aric tidak pernah jelas menyebut status mereka meski kebersamaan mereka sudah terlampau jauh. Hanya untuk senang-senang setelah penat dengan segala rutinitas. Sarah berpakaian, Aric segera merapikan tempat tidur, bahkan mengganti sperei dengan yang baru. “Sayang..” panggil Sarah yang telah berpakaian. Ia menghampiri pria itu. Sarah menatap dengan manja, “kenapa kamu tidak membiarkan aku tetap di sini, berkenalan dengan kakakmu—“ “Sarah, jangan gila! Tidak sekarang!” Aric menolak dengan jelas. Selama dekat dengan beberapa wanita, tidak ada yang ia jalani dengan serius sampai harus memperkenalkan pada orang tuanya apalagi jelas-jelas tidak sesuai dengan kriteria calon menantu mereka. Fay juga tidak pernah terlihat suka dengan wanita yang dekat dengannya. Sarah mencebikkan bibir, saat Aric akan mendorongnya pergi, dia malah mengalungkan tangan di leher sambil mencium bibir Aric. Mendesaknya, mencium dengan panas. “Semalam sangat luar biasa, Aric.. aku akan menunggu malam-malam indah bersama kita lagi..” ucapnya. Aric tidak menanggapi, dia mulai risi dengan sikap manja dan mengatur Sarah, Aric menarik Sarah keluar kamar, lalu menuju lift. Dia menekan papan tombol lift dan mendorong Sarah masuk ke sana. Dia melambaikan tangan manja, sementara Aric menatap dingin. Ia segera berbalik, menuju kamar dan mandi. Aric tak lupa mengambil pakaian kotor dan memasukkan ke ranjang khusus baju kotornya. Berdiri di bawah shower yang hidup, Aric menurunkan intensitas air. Mengusap wajah segera menyelesaikan mandinya dan berpakaian. Benar saja, tak lama Fay, Alyan beserta tiga buntutnya datang. “Om Aric!” panggil Sagara. Sky pun mendekat. Bergiliran mendapat pelukan dari Aric, terakhir si cantik Fayra. Aric dekat dengan keponakannya. “Bawa makanan?” lanjutnya bertanya pada Fay sembari berharap. Dia sangat lapar. Sekarang, tinggi Fay sangat jauh tersusul oleh Aric. “Kami pun belum sarapan, jadi jangan harap aku bawakanmu makanan.” “Kamu masih payah memasak?” sindir Aric, kemudian menatap iparnya, “iya kan, Ka?” Aric memang memanggil Fay selalu langsung dengan namanya, sementara pada Alyan yang dulu adalah idolanya di dunia pertinjuan sebelum jadi ipar, Aric memanggil dengan sopan. Alyan hanya tersenyum singkat, “itu satu kekurangannya yang tidak masalah buatku.” Fay tersenyum menang, Alyan memang tidak pernah protes meski ia tidak bisa memasak sampai punya anak tiga. Aric menggeleng kaku, kemudian ia berjalan menuju kulkas. Menuang s**u rendah lemak ke gelas, segera meminumnya. Ia juga mengambil buah apel. “Mommy pasti sudah menunggu, kita brunch di rumah saja.” Ajak Fay. Sengaja datang ke sana untuk menyeret Aric pulang. Minggu lalu ia tidak pulang ke rumah. Anna sudah mengeluhkannya, lalu tadi meminta Fay mendatangi Aric dan menyeretnya ikut ke rumah Lais. “Mama!” panggil Fayra. Sementara Fay baru duduk saat putri kecilnya membawa sesuatu seperti bekas bungkus tak asing. Seketika mata Fay terbelalak, begitu juga Alyan. “Aric!” tegur Fay mengambil bungkus tersebut dan menunjukkan pada Aric. Membuatnya yang sedang mengunyah tersendak. “f**k!” “Mulutmu Aric! Ada anakku!” omel Fay lagi. Adiknya keterlaluan. Fay sudah ingatkan Aric untuk tidak mengumpat kasar di depan anak-anaknya. Aric mendekat, meraih itu, meremasnya lalu membuang ke tempat sampah. Mata Fay menyelidik tajam, persis Anna jika sedang kesal.. “wanita mana yang kamu bawa pulang ke sini semalam?! Apa jangan-jangan baru pergi sesaat sebelum kami datang?!" "Tidak!" Aric berbohong. "Katakan, tempat mana yang steril! Apa kalian melakukan di sofa!” Fay menatap horor pada sofa yang sedang di tiduri Sagara. Fay mendekat, meminta Sagara bangun. Berpindah duduk. Membuat Sagara sampai menatap bingung tingkah ibunya. Aric hanya bisa mengusap tengkuknya, “aku akan lapor Mommy dan Daddy—“ “Fay, kamu tidak akan melakukannya!” Aric segera mencegah. Selanjutnya adik dan kakak itu mulai berdebat, Alyan menghela napas dalam. Menyaksikan mereka sambil memangku Fayra. Sama-sama menontoni mereka berdebat. “Aku akan melakukannya! Sekalian biar Mom dan Daddy carikan jodoh buatmu! Jika sudah punya istri, kamu pasti akan berubah!” omelnya. “Menikah?! Jangan gila! Aku tidak akan melakukannya, apalagi dengan wanita pilihan Mom dan Daddy!” Sementara Fay tahu jika Aric belum tentu bisa mencari pasangan baik untuk dirinya sendiri, semua wanita yang dekat dengannya hanya memanfaatkan dirinya. Bukan wanita baik. Aric butuh wanita yang bisa mengubah sikap keras kepala, sulit di atur dan kebebasannya ini. Fay pilih cepat-cepat melanjutkan perjalanan ke rumah Lais. Sepanjang jalan ia tidak berhenti mengomeli Aric. “Daddy, atau pun Om Kaflin, tidak ada yang bersikap player sepertimu saat mereka muda! Bahkan, generasi kita hanya kamu. Si kembar tidak!” mereka memiliki sepupu laki-laki kembar, putra dari Kaflin dan Ami yang lahir lebih dulu dari Aric walau seusia. Aric harusnya tadi memaksa pergi dengan mobilnya sendiri dibanding harus sepanjang jalan mendengar Fay mengomel. Aric pilih mengambil earphone, menghidupkan musik dan menyumpal telinganya. Tindakan yang kian memancing Fay, “astaga, anak itu! Aku sumpahi tidak bisa dengar benaran baru tahu rasa!” “Fay, sudahlah. Kamu mengomeli Aric, anak-anak yang takut!” Alyan menghentikan istrinya. Fay menarik napas dalam-dalam, menghadapi Aric lebih menguji hatinya di banding berhadapan dengan sikap menyebalkan Daddy. Saat Aric meminta ijin untuk tinggal di apartemen, setelah sebelumnya hidup mandiri selama kuliah di luar negeri, sempat terjadi perdebatan. Anna menentang, Kai hampir setuju dengan Anna tetapi Aric tidak menyerah. Baginya, ia bebas menentukan tempat tinggal untuk dirinya sendiri, pastinya dengan privasi yang ia butuh kan. Tidak hanya Anna, Fay pun tidak setuju dengan pilihan Aric yang tinggal di apartemen. Aric turun lebih dulu, saat itulah ia melihat sebuah mobil bukan milik keluarganya tetapi familier. Tepat pintu utama rumah Lais di buka, Valerie dan Dilan, merupakan orang tua Vanya keluar. “Tante.. Om?!” panggil Aric, mendekat dan mendapat pelukan hangat. “Aric, baru datang?” tegur Valerie. Aric mengangguk, “sama Fay, Alyan dan anak-anaknya.” Fay dan yang lain menyusul turun, menyapa orang tua Vanya. “Mau ke mana Tante, kok cepat-cepat?!” tegur Fay. “Oh, kami harus buru-buru. Tante mau belanja bahan-bahan makanan kesukaan Vanya.” Jawab Valerie mewakili. Senyumnya yang lebar sebagai tanda ia tengah berbunga-bunga menyampaikan kabar tersebut. “Vanya?” tanya Fay lagi sembari melirik Aric. Valerie mengangguk kecil, “dia mengambil cuti, sekaligus liburan atas permintaan kami. Jadinya bisa pulang walau tidak lama. Oh ya, kalian datang nanti ya.. kami mengadakan makan malam sederhana. Nanti sore jadwal pesawatnya sampai,” Valerie sekalian mengundang mereka. Sementara Aric terdiam kaku. Vanya, apa ia harus menyebut sebagai teman sedari kecil yang telah lama tak bertemu. Berapa lama? Aric mulai menghitung, enam atau mungkin memasuki tujuh tahun. Setelah lulus pendidikan di sana pun, Vanya mendapat pekerjaan di negara yang sama. Memutuskan tinggal di sana. Pulang hanya untuk mengurus perpanjang paspor, tetapi tidak pernah kebetulan bertemu dengan Aric. Vanya jelas-jelas menghindari dirinya. “Aric..” panggil Valerie, senyumnya mengingatkan Aric pada Vanya, “datang ya? Sudah sangat lama kamu tidak bertemu Vanya, pasti Vanya senang bertemu kamu lagi.” Aric tidak bisa memberi janji, karena bertemu dengan Vanya rasanya dirinya sangat enggan. Lebih baik tetap menjadi asing dan tidak lagi dekat seperti dulu, di mana gadis itu selalu ikuti dirinya. Selalu disangkut pautkan dengan dirinya. Aric hanya tersenyum tipis untuk tidak menyinggung perasaan Valerie dan Dilan. Kemudian orang tua Vanya pamit. Mereka masuk mobil, yang lain pun masuk ke rumah kecuali Aric serta Fay yang menatapnya. “Sudah bertahun-tahun, Vanya benar-benar membuktikan jika bisa hidup jauh darimu. Jika kamu masih saja membenci tanpa alasan yang jelas, kamu sungguh tak punya hati. Bersikaplah biasa, kuyakin Vanya pun sudah Move On darimu.” Sindir Fay dengan puas, kemudian berlalu. Move on, harusnya Aric senang mendengar Vanya sudah tidak menyukai dirinya. Bukankah itu yang aku inginkan? Vanya menjauh, melupakan perasaannya padaku.. batinnya. Tetapi, kini dia mulai membayangkan bagaimana rupa gadis itu? *** Aric melempar dirinya pada sofa setelah lelah bermain dengan keponakannya, juga anjing kesayangannya—Jupiter. Seperti semesta sedang tak membiarkan hari liburnya tenang, tiba-tiba Anna muncul, langsung duduk di dekatnya sambil memegang ponsel. “Kamu sudah bertemu dengan Tante Valerie dan Dillan tadi. Mereka mengundangmu dan berharap kamu memenuhinya.” “Aku tidak bisa—” “Bukan tidak bisa, kamu lebih ke tidak mau!” Anna benar. “Pokoknya kamu wajib datang atau Mom akan meminta Daddy—’ “Oke, oke Mom! Aku akan usahakan datang!” angguk Aric dengan terpaksa. Dia paling malas bila Daddy sudah turun tangan. Tidak Mom atau Fay, sang Kakak selalu suka mengancamnya. Anna juga menghela napas dalam, “entah apa yang terjadi sama kalian, dulu sangat dekat. Sekarang seperti tidak saling kenal. Bertahun-tahun tidak ada komunikasi.” “Kami sibuk dengan urusan masing-masing.” Sangkal Aric, “lagi pula, kumohon Mom jangan mengharapkan apa pun pada hubunganku dan Vanya.” “Hubungan seperti apa?” tanya balik Anna, ingin tahu apa yang ingin putranya katakan. “Harapan jika hubungan kami menjadi pasangan, aku tahu Mom sangat menyayangi Vanya, Mom tidak bisa memaksa aku atau Vanya dalam keinginan itu.” Anna terdiam, Aric lalu berdiri dan siap melangkah, “jangan memutuskan dengan cepat, Aric. Apalagi menyia-nyiakan hubungan baik dengan seseorang yang menyayangimu. Memperbaiki hubungan yang sudah kamu rusak, jelas akan membuat kamu tersiksa nanti.” Aric tersenyum kecil, yakin bila kali ini jika pun Vanya kembali, bukan lagi dengan perasaan sayang yang di miliki, Vanya pasti berhasil melupakan dan membencinya. Aric sendirilah yang telah mendorong Vanya terlalu jauh dari hidupnya. Seharusnya Aric tidak peduli bukan akan perasaan Vanya padanya nanti. Vanya kembali atau tidak, dengan rasa benci atau tidak, itu tidak akan mengubah apa pun dalam kehidupannya. Aric yakin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD