Awal yang buruk

2421 Words
‘Gadis aneh.’ Batin Aric. Terutama saat dia menarik jaket itu dengan gerakan sangat cepat, gugup begitu kentara. Mata Aric memberi sorot lekat, memerhatikan wajahnya. Jika tidak salah, gadis itu yang tadi menarik perhatian Hamish dan berani menolak sepupunya. Dia kemudian melarikan pandangan, menunduk. Aric menatap penampilan gadis itu, celana jeans dengan atasan tank top entah model apa. Tetapi, ia meneguk ludahnya. Hamish benar, gadis itu memiliki tubuh yang indah dan wajah yang cantik menarik. Pantas radar Hamish langsung tegak berdiri begitu memerhatikan dan gadis itu pun menolak berkenalan karna datang dengan kekasihnya, demikian yang Hamish sampaikan tadi sesaat sebelum Aric pamit. Bagaimana bisa ia berakhir di sana padahal Anna sudah meminta langsung pulang ke rumah? Aric pilih hangout dulu, makan malam dan berada di bar rooftop milik salah satu temannya, Arrayan Hutama alias Rayan. Hotel ini pun milik orang tuanya. Tadi tak hanya Hamish, ada Rayan Bersama mereka. Sama seperti dirinya, sahabatnya itu pun bantu jalankan bisnis keluarga. Saat ia masih ingin di sana, Daddy menelepon dan Aric yakin atas permintaan Mommy. “Hm, An—” belum selesai bicara gadis itu membuka bibirnya yang berpoles lipstik merah muda. “Tidak, kita belum pernah bertemu!!” Lalu tak menghiraukan dirinya segera berbalik, terburu-buru bahkan hampir menabrak seseorang. Kening Aric mengernyit, menggeleng kecil. “Ceroboh..” mengingatkan pada seseorang di masa lalu. Aric menarik napas dalam, kemudian segera melangkah. Menuju mobilnya terparkir, saat dia melewati bahu jalan tak jauh dari depan hotel, Aric melihat gadis tadi sudah memakai jaketnya. Dia memeluk dirinya sendiri dan Aric memerhatikan wajahnya, terutama saat ia menyingkirkan beberapa helai rambut menghalangi wajahnya. Aric menggeleng kecil, asing tapi familier. Ada-ada saja! Ia melupakan dan segera melajukan mobil menuju rumah orang tuanya. Ponselnya berdering, panggilan masuk dari Sarah. Kekasihnya. Aric memasang earphone, menjawabnya. “Hm?” dengan malas sekali. “Kamu pulang? Aku baru sampai. Kenapa tidak bilang?” rengeknya. Ini yang tidak Aric suka dari wanita, apa ia harus dua puluh empat jam buat laporan? Pada Mommy saja tidak segitunya. “Aric—” “Kamu bertemu Hamish dan Rayan bukan?” “Ya.” “Apa yang mereka katakan, itu alasannya aku harus pulang.” Jawabnya, tidak ingin repot menjelaskan. “Aric! Terus aku bagaimana?” masih merengek. “Ya, terserah kamu!” Dingin dan singkat. Jangan harap Aric akan romantis apalagi lembut. “Aric..” masih terus merengek. “Sarah, kita tidak bisa bertemu. Jangan coba menyusulku ke rumah!” ancamnya. Sarah masih mengomel, Aric segera menyudahi panggilan, memasukkan ponsel ke sakunya lagi. Ia sudah mulai bosan dengan Sarah, Aric akan cari cara untuk menyudahi hubungan tanpa nama itu. Beberapa waktu ia sampai di rumah. Suara klakson mobil sengaja di bunyikan, pintu gerbang terbuka dan Aric meneruskan mobil hingga berhenti di carport. Pintu mobilnya terangkat ke atas, Aric segera keluar melangkah masuk rumah. Seorang pekerja membukakan pintu. Rumah semakin sepi setelah hanya tinggal Anna dan Kai yang menempati, bersama beberapa pekerja. Akan jauh lebih ramai dan hangat ketika Fay dan Alyan membawa tiga kurcacinya ke rumah, menginap. Kadang hanya anak-anaknya saja, sementara Fay dan Alyan sering pergi beralasan kerja padahal honeymoon. Kemesraan mereka bersaing ketat dengan Daddy dan Mommy. Mommy dan Daddy tentu senang-senang saja dititipi, Sky, Sagara dan Fayra. Jika bisa ia ingin Fay dan Alyan tinggal Bersama mereka. Karena Fay dan Alyan Sudah memiliki rumah sendiri, berujung lah tuntutan ingin ‘cucu’ dari Aric kerap di dengarnya belakangan. “Mom dan Daddy sudah tidur?” tanyanya. “Belum.” Aric berlalu, kemudian berjongkok saat melihat anjing kesayangannya meringkuk. Pertama kali ia memelihara Anjing, waktu itu milik Fay. Summer, sayangnya telah lama tiada. Lalu Summer punya banyak anak, sayangnya lagi pas Aric memilih kuliah, tidak ada yang mengurus dan Mommy memberikan semua untuk adopsi, menyisakan satu yang tidak lama juga, tiada. Sekembalinya dari Inggris, Aric akhirnya memelihara satu anjing kali ini ras American Pit Bull Terrier berwarna coklat yang ia beri nama Jupiter. “Jupiter, aku pulang.” Aric mengusap kepalanya dengan sayang sampai Jupiter bangun dan mengusapkan kepala ke kakinya. “Ikuti aku!” Jupiter adalah anjing yang terlatih, bahkan sampai Aric sekolahkan dan dapat sertifikat. Dia berkeinginan membawa Jupiter, tetapi, di apartemen tidak ada yang mengurusnya saat Aric bekerja. Aric berjalan, menemukan Anna bergelung di pelukan Kai. Makin tua, makin mesra, begitulah orang tuanya. “Kamu sudah datang?” Anna menjauh sedikit, menyambut Aric yang mendekat dan membungkuk, memeluk dan memberi ciuman padanya. Tidak pada Kai, yang setiap hari bertemu di kantor. Aric mengambil duduk di antara keduanya, buat Kai berdecak, “ganggu saja, masih ada tempat lega!” “Memang hanya Dad yang mau peluk Mommy?! Berbagi sebentar saja, selain istrimu, ini ibuku!” sindirnya. Aric merangkul Anna. Kai gemas hanya menggelengkan kepala. “Bau rokok, kamu masih belum berhenti?” selidik Anna. Aric tadi merokok di perjalanan, baunya pasti menempel. Aric menarik tangan, mengusap tengkuknya “sulit, Mom.” “Daddy dan Om Kaflin itu tidak ada yang merokok, ini kenapa kamu dan Hamish malah beda?!” Aric menatap wanita nomor satu di hidupnya, Anna. Sering tak sejalan, tetapi Aric paling tidak bisa menyakiti hati ibunya. “Please, Mom! Baru sampai lho aku, ngomelnya bisa di simpan buat besok, tidak?” “Ih, dasar anak Kaivan Lais!” Anna gemas menarik telinganya. Buat Aric seketika memegangi telinganya. “Aduh! Ampun Mom!” mengaduh kesakitan. Kai menatap istrinya, “kalau pas nakalnya, kenapa cuman namaku yang kamu sebut?! Kamu yang hamil, sayang.” Protesnya. Aric tergelak, yakin sebentar lagi mereka berdebat. Alih-alih tegang justru menyenangkan melihatnya. Ia merangkul dan mencium pipi Anna sebelum berdiri. “Aku mandi dulu.” “Pakai air hangat, sudah malam lho ini.” “Ya. Mom!” “Sudah makan? Mau Mom masakan sesuatu?” “Sudah makan di luar, sama Hamish dan Rayan.” “Hamish tadi pulang tidak?” “Belum kayaknya.” “Pasti Om atau Tantemu akan telepon nanti, tanya kamu sudah di rumah atau belum. Tanya-tanya Hamish.” Tak jauh berbeda dengan Aric, dasarnya sepupu jadi mereka sangat kompak buat orang tua khawatir. “Kalian terlalu khawatir, aku dan Hamish sudah dewasa.” Aric membela diri sambil berlalu. Berbeda dengan Aric, Hamish tidak dapat ijin tinggal terpisah, dan dia lebih lunak karena tidak berani dan tega menentang keinginan Tante Amira. Kaflin naik ke lantai dua, menuju kamarnya di ikuti oleh Jupiter. Aric mandi, mengguyur tubuhnya, kemudian entah ada apa dengan kepalanya tiba-tiba terbayang wajah gadis yang tadi bertemu dengannya. Alih-alih seperti gadis lain yang memberi tatapan tertarik, justru gadis itu malah menyorot terkejut seolah dirinya hantu atau pria berpenyakitan menular yang harus di hindari. Sungguh aneh. Seolah menyimpan sesuatu. Tetapi, gadis itu bilang tak kenal. Apa mungkin mereka pernah kenal? Tapi, siapa? Aric sudah memakai celana tanpa atasan, dia naik ke tempat tidur dan meletakan satu tangan di bawah kepalanya. Menengadah menatap ke langit-langit kamar. Sampai ponselnya kembali berdering. Malas-malasan tetap bangun, meraih ponsel dan menemukan nama Om Kaflin. Mommy tepat, pasti Omnya akan menanyakan Hamish. Aric segera menjawab tidak biarkan Om Kaflin menunggu lebih lama. "Ya, Om?" *** Pagi, Aric akan bangun awal karena semalam tidur lebih awal. Dia pilih mengajak Jupiter lari di sekitar kompleks juga main basket di lapangan yang ada di halaman rumah. Saat satu lemparan berhasil masuk ke ring, suara mobil tak lama terdengar berhenti. Aric menoleh, ia pikir Fay ternyata Tante Ami dan Om Kaflin, Bersama Aurora. Sepupunya yang sekitar berjarak tiga tahun di atas Aric. Aric melempar asal bola basket, kemudian mendekat. Menyambut mereka. Hamish saja yang tidak ikut. “Tumben Aurora bisa ikut? Lagi tidak ada syuting?” tanya Aric. Aurora sudah bertunangan dengan Kakak dari Rayan. Bernama Zayan Ashraf Hutama. Mereka sedang siapkan pernikahan yang masih menunggu kontrak pekerjaan Aurora selesai. “Lagi libur syuting.” Jawabnya. “Setelah menikah, Zayan pasti tidak kasih kamu kerja.” Aurora menatap sepupunya, Aric mengenal Zayan dengan baik karena adik Zayan adalah Arrayan alias Rayan sahabatnya. “Zayan tidak melarang, hanya memintaku mengurangi, kami mau langsung program baby.” Katanya. Lalu Aric menatap om Kaflin, merangkul Aurora dengan wajah pasrah. “Om, udah siap anak perempuan satu-satunya menikah? Apa seperti Daddy?” sembari menggoda Kaflin. Sebenarnya tak ubah berbeda dengan Kai, Kaflin berat saat memutuskan menerima lamaran dari putra temannya, Andari dan Rafan Hutama. Tapi, usia putrinya pun sudah sangat siap untuk berumah tangga. “Jangan jadi kompor, Aric!” decak Aurora kesal. Kemudian mengajak Kaflin masuk. Aric menatap Tantenya, masuk Bersama Ami. “Kamu juga tumben ada di rumah?” tanyanya. “Mommy paksa, kami ada undangan makan malam di rumah Om Dillan.” Jawabnya. “Eh, iya.. kami bertemu Vanya lho, Aric. Dua hari lalu yang sedang temani Valerie belanja. Sudah lama tidak bertemu, Vanya terlihat berbeda.” Jawabnya. Aric mengernyit, sebenarnya informasi tak penting. Mau Vanya berubah jadi apa pun tidak akan memengaruhi dirinya. Namun, Ami tetap mengatakan. “Cantik sekali, angin Eropa memang bisa buat seseorang berbeda, kata Aurora begitu.” Kebetulan Ami pun pergi dengan Aurora. Aric hanya mengedikan bahu, tidak akan percaya sampai melihat secara langsung dengan matanya sendiri. Pagi itu, keluarga Om Kaflin datang karena ada pembicaraan penting masih bersangkut paut dengan pernikahan besar antara dua keluarga. Aurora dan Zayan Hutama, anak dari pemilik bisnis yang bisa di bilang suksesnya sama seperti Lais miliki. Mereka sarapan bersama, ketika Aric pamit, Anna mengingatkannya. “Jangan keluar rumah, kita akan pergi memenuhi undangan makan malam jam tujuh.” Makan malam di rumah Dillan dan Valerie. “Ya.” “Sekalian mau atur penjodohan Aric dan Vanya kan, Mommy?” Aurora memancing, sengaja menggodanya. Aric mendengus kesal, tidak pedulikan. Dia tak akan biarkan terjadi jika memang benar ada rencana tak rasional baginya. Pernikahan apalagi dengan Vanya, tak pernah ada dalam kamus masa depan seorang Kalil Alaric Lais. *** Jam tujuh mereka bergegas, Anna yang paling tidak sabar. Anna bahkan menyiapkan baju untuk Aric dan ia tidak terima, diam-diam menggantinya. “Mom, ini hanya makan malam seperti dulu yang sering kita lakukan. Pakai T-shirt lebih nyaman.” Menolak memakai kemeja pilihan Anna. “Setidaknya pakai blazer, tutupi tato di tanganmu itu!” omelnya. Aric mengambil salah satu blazer miliknya. Aric yang menyetir, Kai duduk di sebelahnya sementara Anna di belakang. Sepanjang jalan, Anna mengingatkan Aric untuk bersikap santun. “Jaga lisanmu, jangan bicara kasar pada Vanya. Kalian dulu teman dari kecil, sudah lama tidak bertemu harusnya tetap dekat.” Aric mengerang kecil, menatap Anna. “Mom lebih tahu, siapa yang menjauh. Jelas-jelas bukan aku, tapi Vanya!” “Jangan bodoh, Aric! Seseorang tidak akan tiba-tiba menjauh tanpa alasan. Vanya begitu karena sikap kamu yang dingin dan tak suka padanya. Padahal Vanya itu baik sekali, jika pun ada yang bisa mencintaimu dengan tulus hanya Vanya, bukan wanita-waita ulat bulu yang dekat sama kamu.” Kai berdehem, melirik istrinya. Dia mengomeli Aric, akan tetapi Kai yang tersindir. Ingat masa lalu. “Mommy mau teruskan mengomelnya?” “Aric..” “Jika Mom masih mengomel, aku turun di sini! Aku tidak akan ikut. Sejak dulu, Mommy selalu membela Vanya di banding aku. Yang anak Mom itu siapa sih, aku atau Vanya?!” Anna sudah akan menjawab, tetapi Kai segera memberi tatapan. Memintanya menyudahi, mereka tahu sikap Aric. Bisa benar-benar memenuhi ucapannya. “Kalau pun ada cinta yang terjadi antara sahabat, harusnya hanya ada cinta platonis.” Gumam Aric. Seharusnya memang hanya ada cinta tersebut bila pun hubungan mereka tetap baik-baik sebagai sahabat. Tetapi, segalanya berubah karena rasa benci Aric dan rasa cinta berbeda dari Vanya. Tidak ada lagi perdebatan antara Ibu dan anak tersebut, sampai mereka memarkirkan mobil di rumah dua tingkat milik Dillan. Rumah yang lebih sederhana tanpa gerbang tinggi seperti di rumahnya. Bergaya klasik Inggris. Kentara sekali pemiliknya seorang arsitek sekaligus bergelut di bidang desain dan interior. Mereka turun, Valerie dan Dillan sudah menyambut. Sayang sekali, Fay dan Alyan tidak bisa ikut, mendadak Fayra demam. Selain ada orang tua Vanya, ada juga Yudistira dan Jenar, kakak serta ipar Vanya. “Apa kabar, Aric?” tanya Yudistira. Aric tersenyum, “baik.” Jawabnya singkat, matanya mencari seseorang. Harusnya ada di sana, tetapi belum terlihat. “Di mana Vanya?” Mommy lebih dulu menanyakan, mewakili yang lain. “Masuk dulu. Vanya sebentar lagi pasti turun. Perutnya mulas, sedang PMS hari pertama.” Katanya. Aric terdiam, ingat sekali saat pertama kali Vanya datang bulan, sedang bermain dengannya dan Aric panik mengira Vanya terluka saat rok yang dipakai tiba-tiba ada bercak darah. Aric memanggil Anna, kebetulan Vanya sedang menginap di rumahnya. Lalu setelah itu Aric dan Vanya baru tahu tentang siklus datang bulan. Aric tahu karena Vanya, padahal dia laki-laki yang tidak akan mendapatkannya. Konyol. Mereka sedekat itu dulu. Aric mengambil duduk di dekat Daddy. Valerie di bantu Jenar yang sedang hamil mengambilkan makanan. Di rumah mereka hanya ada satu ART berbeda dengan di rumahnya. Mereka mengobrol, sampai Aric pamit untuk ke kamar mandi. “Masih hafalkan, Aric?” “Masih, Om.” Angguk Aric. Rumah mereka tidak banyak berubah. Tapi, alih-alih ke kamar mandi, Aric malah menaiki tangga hingga berhenti di depan pintu kamar Vanya. Entah apa yang membuat ia datang ke sana, Aric terbiasa langsung masuk tanpa ketuk pintu seperti dulu. Ia mendorong pintu itu, bertepatan dirinya mematung melihat punggung seseorang. “Ka Jenar? Please help me, ini restletingnya kenapa tiba-tiba macet—” Aric melihat punggung terbuka dan wanita itu seolah sadar tak ada sahutan segera berbalik dengan mata yang hampir lompat saking syoknya. Deg!! Tak hanya Vanya, Aric pun. Aric ingat, dia adalah gadis aneh yang ditemui semalam. “Aric! Apa yang kamu lakukan di sini—” Aric menyeringai santai, “kamu mengenalku, dan berpura-pura menjadi asing. Bagus sekali!” Vanya gugup, tangannya memegangi bagian depan dressnya agar tidak merosot. Pipinya memanas karena Aric yang muncul di kamarnya. Sesaat ia sadar segera meraih benda apa pun, mendapat sebuah deodoran. Vanya melemparnya, tetapi Aric berhasil menghindar. “KELUAR! TIDAK SOPAN!” teriak Vanya. Lalu ia berlari mendorong pintu, menguncinya dan bersandar. Meraba debaran di d**a yang menggila. “Tidak sopan! Harusnya kamu tidak boleh masuk ke kamar orang lain tanpa mengetuk pintu!” omel Vanya yang masih terdengar oleh Aric. Aric mematung melihat gadis itu. Cantik, informasi dari orang-orang yang pernah melihatnya. Apa Aric akan menjilat ludahnya sendiri sekarang? Sialnya dia tidak pernah melihat punggung seindah itu. “s**t!” Dia mengumpat, mengusap wajah. Konyol, harusnya Aric tidak ke sana. Menghampiri dan masuk begitu saja. Aric menelan ludah susah payah, berbalik dan turun. Kali itu benar-benar ke kamar mandi. Dia membasuh wajah dan menstabilkan dirinya agar bersikap biasa. Bagus sekali, setelah lama tidak bertemu, mereka memulai dengan situasi buruk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD