Six Years

2465 Words
Vanya tidak bisa tidur gara-gara bertemu dengan Aric tanpa sengaja semalam. Ruben tak lama menelepon dengan nada khawatir. Vanya beralasan jika ia mendadak tak enak badan dan memilih pulang, walau akhirnya Ruben mengomel karna tak menunggu dirinya yang ternyata sedang ke kamar mandi. Semalam ia mencegat taksi di luar hotel, saking terburu-buru berjalan sampai kakinya lecet. Semua karena Aric yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Kenapa mereka bisa bertemu padahal kota itu sangat luas? Vanya pulang lebih cepat, sendirian dan tentu jadi pertanyaan Mamah. Ia memberi alasan samadan bertepatan semalam dapat tamu bulanan di hari pertama, jadi berbohongnya dikabulkan semesta. Rasa sakitnya menusuk-nusuk, sudah reda dengan minyak angin yang hangat. Di balurkan ke perut dan pinggangnya. Kemudian semakin dekat dengan acara makan malam, sakit perut lainnya menyerang. Vanya yakin semua itu karena gugup membayangkan pertemuan dengan Aric. “Aric akan ikut kan, An?” Siang itu gerakan Vanya yang sedang menuangkan jus jeruk ke gelas berhenti, telinganya langsung tegak begitu dengar suara ibunya sedang menelepon dengan Anna, Mommy dari Aric. “Oh sudah di rumah, tumben Aric pulang lebih cepat.” Suara Valerie kembali terdengar. Vanya mengeratkan pegangan di gelasnya kemudian mundur. Berbalik, angkat kaki dari ruang makan. Tidak jadi menghampiri Valerie yang tengah sibuk mengatur menu makan malam. Sesampai di kamar, Vanya menutup pintu kemudian berjalan lunglai ke sebuah tempat duduk yang menyatu di depan jendela. Dia meletakan gelas di meja, duduk mengangkat kaki, menekuk dan punggung bersandar. Menatap keluar jendela. Rintik hujan membawa sendunya kenangan masa lalu. Vanya menatap hampa, teringat wajah Aric semalam. Tak banyak berubah kecuali ia yang makin dewasa, kian tampan dan berkarisma. Rambut berpotongan rapi, dan yang mencolok beberapa tato yang terlihat di tangan dan mengintip di lehernya. Tatapan matanya masih sama, menyorot tajam sekaligus nakal. Vanya menaikkan satu tangan, memeluk lengan lainnya. Aric tak mengenali dirinya. Tapi, dalam hitungan jam ke depan, Vanya tahu pria itu akan tahu jika semalam Vanya berpura-pura tak mengenalinya. Tahu bila tingkahnya yang tergesa-gesa semalam karena ingin melarikan diri dari Aric. Vanya menaikkan kaus sampai menyembunyikan kepalanya, “Ya Tuhan rasanya aku ingin tenggelam hari ini..” Saat itu usia Vanya baru sekitar dua belas tahun. Vanya merasakan ada yang tidak beres dengan perutnya saat terasa begitu mulas. Dia tak hiraukan, juga tidak mengatakan pada siapa pun. Valerie dan Dillan sedang ada urusan, saat Vanya di titipkan di rumah Lais yang sangat sepi. Hanya ada pangeran muda Lais, Aric. Bertepatan hari libur, Vanya dan Aric lebih sering bermain di halaman rumah. Vanya tidak bisa main basket tetapi Aric sudah sangat ahli di usianya sekarang. Vanya hanya duduk di sisi lapangan, wajahnya pucat menahan sakit perut. Tangannya memegangi perut, sampai Aric kembali mendekatinya. “Kamu kenapa?” tanya Aric khawatir. Vanya mendongak, “perutku sakit sekali!” “Sakit? Kamu makan apa tadi? Ayo masuk, aku bilang ke Mommy!” Aric mengulurkan tangan, langsung di terima Vanya. Berdiri. Aric membungkuk, mengambil tempat minum yang tertinggal. Saat itulah Vanya jalan lebih dulu, dan Aric di belakang. “Vanya!” panggil Aric. Dia mencekal Vanya untuk berjalan, tatapan matanya jatuh pada rok Vanya. “Apa?!” “Rokmu ada noda, coba lihat!” ujarnya. Vanya mencoba melihatnya, sulit. “Darah? Kamu terluka?!” Aric yang masih polos di usianya sekitar dua belas tahun terlihat panik, “tunggu, jangan ke mana-mana! Aku beritahu Mommy!” Vanya tak sempat mencegah saat Aric berlari ke dalam, ia berteriak memanggil Anna. Sementara Vanya diam mematung, sebenarnya sudah mengerti yang terjadi karna Valerie pernah menjelaskan suatu hari ia akan dapat datang bulan pertamanya. Tetapi, tetap saja bingung. Tak lama Anna dan Aric muncul, membuat Anna khawatir. “Vanya kata Aric kamu—“ Vanya menggeleng kecil, “Tante, aku sepertinya itu..” Vanya melirik Aric yang menatap cemas. Anna mengerutkan kening, sampai ia melihat noda dan cemasnya berubah jadi senyuman. Justru buat Aric bingung. “Vanya berdarah, kenapa Mommy malah tersenyum?! Cepat obati dia, atau panggil Om Kaflin!” kata Aric. “Tidak perlu panggil On Kaflin, Aric tenang ya. Ini biasa terjadi pada wanita, artinya Vanya sudah beranjak remaja.” Kata Anna menjelaskan, sebisa mungkin agar di mengerti anak berusia dua belas tahun. Anna yang mengajarkan Vanya cara memakai pembalut pertama kali. Anna juga menjelaskan sesuatu tentang situasi Vanya. Anna dengan lembut mengoleskan minyak kayu putih di perutnya, sampai mulas di perut Vanya mereda. Vanya tertidur. Aric mendekati Mommy, “Vanya tidak apa, Mom?” “Tidak apa. Sudah biarkan dia tidur. Atau kamu boleh temani, jangan ganggu.” Aric mengangguk, tetap di kamar itu dan naik ke tempat tidur. Bermula dengan duduk dan memandangi temannya sampai ia ikut berbaring dan tidur siang bersama. Saat itu belum ada jarak antara mereka. Situasi masih sangat baik, Aric menjadi teman terbaik yang Vanya miliki. Atau justru jadi teman laki-laki terdekat pertamanya. Semua itu sudah menjadi kenangan saat Aric berubah banyak. Menjadi asing untuknya. Kehilangan kekasih memang menyakitkan, patah hati. Tetapi lebih patah dan sakit lagi saat kehilangan teman terbaik yang bersama bahkan saat masih balita dan beranjak remaja. Vanya sudah berupaya keras mengembalikan sahabatnya, jika tak bisa memiliki Aric sebagai kekasih. Tapi, kebencian Aric tak beralasan membuat Vanya akhirnya menyerah dan memilih pergi. Sekarang ia berharap waktu berjalan sangat lambat, tetapi justru datangnya seolah dua sampai tiga kali lebih cepat. Vanya tak lagi bisa menghindar saat dari sore mula Valerie dan Jenar, iparnya sudah muncul. “Ya ampun, anak ini! Kamu belum mandi juga? Udah jam enam lewat, Vanya! Dan kamu belum bersiap-siap!” Omel Valerie, mendekat dan menyingkap selimut yang menggulung tubuh Vanya. “Mamah.. Vanya tidak ikut ya!” “Tidak ikut, bagaimana?! Justru makan malam ini Mamah adakan karena kamu pulang ke rumah!” tak rasional permintaannya. “Perutku mulas, Ma.” Alibinya. Setengah merengek. Valerie menghela napas, “nanti juga hilang! Udah jangan banyak alasan. Bersiap, kemudian turun. Mamah yakin jam tujuan nanti mereka sampai. Aric ikut lho, harusnya semangat bertemu dengannya.” Semangat my ass! Batin Vanya. Rasanya ingin menjerit di depan Valerie. Tapi, Vanya masih waras untuk tidak mendapat sentilan ibunya juga kecurigaan lainnya. Vanya malas memberi penjelasan. “Sudah, Mamah tunggu! Nanti Ka Jenar ke sini buat lihat kamu, kalau sampai masih belum mandi. Mamah akan tarik kamu, dan Mamah mandikan sekalian!” katanya, Vanya tak yakin Valerie sungguh-sungguh akan melakukannya. “Dandan yang cantik, oke?!” katanya sebelum menutup pintu. Vanya menghela napas, kembali menarik selimut dan pintu kembali terbuka. “Come on, Baby.. Wake up!” seruan Valerie kembali terdengar. Sudah menduga Vanya akan tidur lagi. “Arghh!” Vanya mengerang sebal. Begitu pintu kembali tertutup, ia menendang asal selimut, “Aric b******k!” Dalam bayangannya, Vanya ingin sekali nanti begitu bertemu langsung maju dan menyakar wajah sok tampannya! Ya, walau tampan. Minus kelakuannya saja yang menyebalkan kuadrat sekali. Vanya tetap malas-malasan, bergerak sengaja lambat. Sampai mandi pun lebih lama hingga jam tujuh lewat pun ia masih berpakaian. Pilihannya jatuh pada dress yang lebih lebar di bagian rok. Tingginya di bawah lutut sedikit, dengan bagian pinggang ada tali berwarna baby blue. Restleting di belakang. Vanya memakainya terakhir setelah mengeringkan rambut. Ia menyampingkan rambut ke sisi kiri, tangannya berusaha menggapai-gapai restleting, menariknya baru satu tarikan kecil saat tiba-tiba macet. Tidak bisa dinaikkan atau diturunkan, Membuat setengah punggungnya masih terlihat. “Ini kenapa lagi?! Rusak di waktu yang tidak tepat!” Dia masih menggerutu, berusaha menariknya tepat mendengar pintu terbuka. Ibunya bilang akan meminta iparnya memanggilnya. Maka Vanya mengira itu Jenar. Dengan santai, tanpa firasat aneh-aneh, Vanya pun mengatakan.. “Ka Jenar? Please help me, ini restletingnya kenapa tiba-tiba macet—” Tidak ada sahutan apalagi suara langkah mendekat. Sungguh aneh dan itu membuat Vanya segera berbalik. Detik itu pun matanya hampir lompat saking syoknya. Tak hanya Vanya, Aric pun. Deg! “Aric! Apa yang kamu lakukan di sini—” Vanya masih berdiri kaku saat melihat Aric justru menyeringai santai, “kamu mengenalku dan berpura-pura menjadi asing. Bagus sekali!” menyinggung yang semalam. Vanya gugup, tangannya memegangi bagian depan dress agar tidak merosot. Pipinya memanas karena Aric yang muncul di kamar dalam situasinya yang belum berpakaian rapi. Sesaat ia sadar tak seharunya diam saja, segera meraih benda apa pun, sebuah deodoran yang terdekat. Bugh! Vanya melemparnya, tetapi Aric berhasil menghindar. “KELUAR! TIDAK SOPAN!” teriak Vanya. Lalu ia berlari mendorong pintu, menguncinya dan bersandar. Meraba debaran di d**a yang menggila. “Tidak sopan, harusnya kamu tidak boleh masuk ke kamar orang lain tanpa mengetuk pintu!” omel Vanya yang masih terdengar oleh Aric. “Astaga! Bisa-bisanya dia masuk ke kamarku!” bisiknya. Vanya merosot dan duduk di lantai, kakinya benar-benar lemas. “Semua karena Aric!” sekarang, Vanya kian tak mau keluar kamar, menghadapinya. Vanya menarik kakinya menekuk, kedua tangannya terlipat di atas lututnya. Baju belum tertutup rapat, membuat bagian dress di bahunya merosot. Vanya menenggelamkan wajah di antara tangannya. Berulang kali membenturkan kening dengan lengannya, berharap semua hanya mimpi. Tetapi, beberapa saat ia tidak bisa menghindar saat Jenar, benar-benar Jenar menyusulnya. Ketukan pintu terdengar, bersamaan suaranya. “Vanya, kamu belum selesai? Mamah minta aku ajak kamu turun! Keluarga Lais sudah datang.” Vanya tidak menjawab selain menggerutu, “aku sudah tahu. Si b******k itu sudah muncul di sini dan membuat aku hampir jantungan!” Tentu Jenar di balik pintu tidak mendengar. Sekali lagi ketukan pintu terdengar. Membuat Vanya tak bisa menghindar. Tolong tahan dia untuk tidak menyakar wajah Aric sungguhan, karena kini hasrat itu kian besar. Vanya membuka pintu, menatap Jenar yang heran sebab Vanya belum selesai. “Kamu belum selesai bersiap?” Bagaimana mau selesai jika jadinya malah kacau? Batin Vanya. “Aku hanya butuh lima menit, untuk merapikan ini dan akan segera turun.” Jenar mengangguk, “butuh bantuan?” “Tidak, Kak.” Vanya menggeleng kecil. “Baiklah, cepat turun.” Ujarnya dan pergi. Vanya menutup pintu, menarik napas dalam-dalam sampai rongga dadanya mengembang, dia mencoba menaikkan restleting. Sreeet! “Ya Tuhan?! Kenapa sekarang mudah?!” Vanya kesal saat restleting itu tidak lagi macet, justru sangat lancar. Namun, dia sudah tidak minat memakai baju itu. Vanya melepas, kemudian mengganti dengan pakaian lainnya. Pilih dress hitam, karena hatinya sedang berduka! *** Vanya menuruni anak tangga, satu persatu dengan langkah siputnya. Sebisa mungkin pelan walau percuma, pertemuan tidak bisa di hindari. Pembicaraan apa pun di ruang tengah keluarga berhenti saat ia muncul, semua mata tertuju padanya. Satu-satunya yang tidak Vanya balas tatapannya hanya Aric. Anna berdiri sampai menutup mulutnya, berdecak kagum.. “Ya Tuhan! Lihat gadisku, sudah sebesar ini dan cantik sekali!” Gadisku. Anna selalu memanggil begitu, karena baginya Vanya adalah putri bungsu keluarga Lais sejak dulu. Begitu juga bagi Vanya, Anna tak ubahnya jadi Ibu ke dua. Sayangnya, lagi-lagi Vanya terpaksa menjauh karena laki-laki yang sedang duduk dan tak berhenti menyorot tubuhnya sampai tengkuk Vanya meremang. Vanya geram sampai rasanya ingin menusuk matanya agar berhenti memberi tatapan itu! Anna memeluk Vanya, mencium keningnya kemudian sepuluh jarinya merangkum wajah Vanya. Pandangan matanya bergerak, menelusuri setiap garis wajah Vanya. Lantas matanya berkaca-kaca, senyumnya terlukis di wajahnya. “Oh, Nak! Berapa tahun kita tidak bertemu?” tanyanya. “Kita terakhir bertemu pas pernikahan Abang dan Ka Jenar.” Ujar Vanya. Mengingatkan. Artinya sudah hampir tiga tahun. Anna menarik Vanya. Kembali memeluk, saat itulah Vanya melirikkan matanya hingga bertemu tatap dengan Aric. Membalas tanpa takut. Aric harus tahu, jika dia bukan Vanya yang dulu, yang akan menangis karena mengharapkan pengakuan Aric sebagai teman. Atau mengharapkan Aric menghargai perasaannya. Vanya memberikan senyum, alih-alih manis justru sebagai salam permusuhan. Selesai memeluk Vanya, Anna mengajaknya bersalaman dengan Kai. Yang memeluk singkat tetapi hangat. Om Kai di mata Vanya tetap sama, tak berubah. Karismatik dan hot daddy masih tersemat di dirinya meski telah memiliki tiga cucu yang luar biasa. “Nah, Vanya.. Aric juga ikut! Dari kami semua, kalian berdua yang terlama tidak bertemu.” Anna mengarahkan Vanya berdiri di depan Aric yang tetap duduk hanya wajahnya saja yang mendongak. “Aric..” tegur Anna pada anak bujangnya itu. Aric menghela napas, saat berdiri, posisinya sangat dekat dengan Vanya. Hanya berjarak sejengkal. Vanya mendongak, membalas tatapan Aric yang sedikit menunduk. Tangan Vanya di sisi tubuh mengepal erat, menahan gejolak debaran di d**a. Mengusirnya untuk tak memengaruhi. Detik itu mereka bertemu tatap dengan situasi yang berbeda, saling menyelami. Vanya mengulurkan tangan pertama kali, “apa kabar Aric—“ Aric tersenyum lalu mengatakan sesuatu yang membuat Vanya kesal sekaligus menyesal harus basa-basi.. “Kau sudah ingat siapa aku? Tidak seperti kemarin malam, pura-pura tak kenal dan pergi begitu saja.” Sindirnya. Membuat senyum yang coba Vanya tunjukkan benar-benar lenyap. Membuat Anna dan yang lain pun terkejut. Aric menyeringai, memberi tatapan congkak. Vanya menurunkan tangan, mengepal. Menahan gemetar untuk bukan hanya menyakar tetapi meninju hidung tinggi Aric, biar bengkok sekalian! “Kalian bertemu kemarin?” tanya Anna, jadi yang pertama merespons. “Ya.” “No!” Secara bersamaan memberi jawaban yang tak kompak. “Six years dan kamu masih jadi pembohong yang buruk.” Ujarnya. Vanya kian membulatkan mata, garis wajahnya mengeras “aku bukan pembohong!” “Lalu apa yang baru kamu lakukan? Selain panggilan yang cocok—“ “Aric, berhenti!” omel Anna, wajahnya sudah merah menahan malu ulah putranya. Valerie kemudian tersenyum, mencairkan suasana “mereka dari dulu memang begitu, sudahlah Anna. Aric memang suka menggoda Vanya.” Ujarnya. Anna menghela napas, ingat dirinya harus punya sabar seluas samudera menghadapi putranya. Ia melirik Kai, seolah mengatakan... ‘lihat putramu, semua salahmu!’ Kai berdehem. Lalu terselamatkan karena Dillan mengajak mereka semua berpindah ke meja makan yang ada di teras di halaman belakang. Agar suasana lebih santai. Vanya dan Aric yang terbelakang, beranjak dari sana. Saat Vanya akan malangkah, Aric mencekal lengannya. “Kita belum selesai.” Katanya. Vanya menghadapnya, “apa yang belum selesai?!” “Kamu belum menjelaskan, kenapa kamu pura-pura tak mengenalku?!” “Aku punya hak untuk melakukannya dan juga tidak menjelaskan padamu.” Aric sempat tercengang, kemudian dia menyeringai nakal. Tatapan matanya bergerak menatap tubuh Vanya dengan tidak sopan, “Italia mengubahmu.” “Lepas!” Vanya menarik tangannya, tetapi Aric tetap menahan tangannya, “jaga tatapan matamu, dan mulutmu. Jangan sampai aku—“ “Apa? Kamu marah?” selidik Aric. Muka Vanya memerah, menahan marah. Aric kian menariknya, hingga semakin dekat, “memangnya kamu bisa apa?” “Aku-aku bisa ini!” Vanya kemudian sengaja menginjak kaki Aric. Sekuat tenaga. “Argh!” Aric mengaduh, melepaskan tangan Vanya. “Rasakan! Masih bagus kakimu yang aku injak bukan yang lain!” Vanya memberi lirikan penuh maksud. Membuat Aric terdiam, kemudian Vanya mengibaskan rambutnya dan tersenyum penuh menang. “Damn You! Jangan pernah menyentuhku sembarangan!” ujarnya lagi, memperingatkan. Aric kian melongo sampai mulutnya terbuka. Vanya kemudian berbalik dan menjauh. “Gadis itu! Sekarang berani sekali!” geram Aric, matanya tak lepas memerhatikan sampai jatuh pada b****g bulat Vanya. Mengakui bila, Vanya memang telah berubah banyak. Aric menggeleng kecil, kemudian menyusulnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD