Bab 7-Dinner With Papa...

1663 Words
“Sora, aku bertanya padamu,” suara Ersya kembali terdengar karena Sora diam saja, sibuk dengan pikirannya. Pertanyaan Ersya tidak dia jawab. Membuat Ersya semakin yakin bila memang ada yang terjadi, yang mungkin tengah di tutupi istri nakalnya itu. Semakin hari, ada saja tingkah Sora yang harus Ersya waspadai. Mungkin sekarang pun ada yang direncanakan, menyangkut makan malam dengan Papa yang tampak jelas tidak disukai Sora. "Tadi ada teman bareng. Nunggu dia turun," jawab Sora seenaknya. "Teman? Siapa? Dua teman cewek kamu kemarin?" tebak Ersya. Sayang sekali, Ersya ternyata belum tahu kalau yang habis bersama Sora adalah seorang laki-laki. "Perlu banget kamu ngedata teman aku satu per satu?" kesal Sora. Tidak menutupi sama sekali ekspresi tak senangnya, bagi Sora, Ersya semakin menganggu saat mulai peduli pada kehidupannya. "Bukan begitu. Aku kan hanya—” "Kata kamu aku suruh cepat siap-siapnya? Udah jam lima lebih nih. Dan aku belum mandi, satu lagi, aku benci kalau lqgi dandan di buru-buru!" potong Sora, sudah memperingatkan lebih dulu. Ersya tersenyum dan mengusap rambut istri cantiknya itu, yang di tepis Sora dengan dingin. "Nah gini dong. Antusias banget buat ketemu Papa," ucap Ersya. Sora meringis, "Nggak usah pura-pura lupa! Kalau nggak karena kamu ancam buat bekuin semua rekening aku, termasuk yang dari Papa, aku juga nggak akan sudi menginjakkan kaki di rumah itu lagi! Aku lakukan ini karena terpaksa. Amat sangat tepaksa, bukan sukarela. Tolong garis bawahi itu!" Setelah mengatakan itu, Sora mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai kemudian berbalik meninggalkan pria itu dengan tawanya. Sora mencebikkan bibir, “jangan ketawa! Jelek dan tawamu menggangu sekali!” Ersya mendengarnya dengan jelas, menggelengkan kepalanya, “Sora... Sora, kamu tuh lucu!” *** "Jadi kapan kalian mau honeymoon?" tanya Sakti Kamandaka - Ayah Sora. Senyumnya semeringah melihat akhirnya Ersya mampu membawa Sora kembali ke rumah. Sora tak mengindahkan ucapan ayahnya. Ia fokus dengan kue di atas piringnya dan bersikap seolah tak mendengar apa-apa meski ia tahu pertanyaan itu ditujukan untuknya. Ersya berdehem saat tahu reaksi istrinya. Ia pun mengambil alih menjawab. "Nunggu Sora libur kuliahnya, Pa. Kebetulan kerjaan di kantor juga lagi nggak bisa ditinggal. Jadi, harus atur waktunya dulu dari sekarang." Pak Sakti tersenyum, "tapi usaha, udah, kan?" "Usaha di kantor?" tanya Ersya dengan begitu lugu. Ternyata, sifat gila kerjanya masih saja terbawa. Sora jelas tahu maksud Papanya. "Usaha beri kami cucu. Jangan ditunda-tunda, Ersya! Perempuan seperti Sora ini harus segera diberi tanggung jawab besar agar dia bisa berubah," ucap Pak Sakti. "Papa kayak tahu pola asuh anak yang benar aja," sindir Sora. Namun ekspresinya masih tampak datar. Ersya menyenggol kaki Sora yang ada di bawah meja. Namun, Sora masih bisa berpura-pura seakan tidak terjadi apa pun dengannya. "Papa cuma mau kamu jadi perempuan yang baik, Sora. Kamu ini sudah dewasa, udah jadi istri orang. Tapi Papa masih dengar kelakuan liar kamu di luaran sana. Kamu nggak malu sama status kamu yang udah jadi istri orang?" ucap Pak Sakti mulai keras. Merasa tak terima, Sora pun berusaha membela diri. "Liar? Seliar apa sih Sora di mata Papa? Kalau sama Papa yang bisa sampai selingkuh sama orang kepercayaan Mama, liar siapa?!" Situasi mulai memanas, jika tidak karena tangan Ersya yang tahu-tahu memegang pahanya saat ini sebagai tanda dia untuk tetap di tempat, Sora pasti sudah meninggalkan mereka semua. Sora merasa sangat sesak, terbayang wajah ibunya tiap kali melihat Papa bersama istri barunya yang merebut tempat Mamah dulu. "Astaga ini anak mulutnya! Padahal kamu tumbuh di lingkungan yang baik. Punya fasilitas memadai buat belajar etika. Tapi kok kelakuannya-" ucap ibu tiri Sora, sebelum akhirnya dipotong oleh Pak Sakti. “Idih, situ nggak ngaca! Bicara soal etika orang lain, oh tentu untuk jadi pelakor hanya butuh tidak tahu malu!” Sora tertawa miris, ingin sekali menjambak rambut ibu tirinya lalu meminta ia bercermin! Kalimatnya membuat ibu tirinya bungkam, wajahnya memerah. Menahan kesal atas tingkah Sora. "Sora!” Papah dan Ersya menegur bersamaan. Jika tidak menghargai Ersya, Sakti pasti sudah bersikap keras membela istri barunya. “Hm, sudah-sudah! Kok jadi bahas itu lagi? Urusan Papa, Mama sama mama baru kamu sudah selesai. Sudah lewat. Sekarang fokus ke kamu, Sora! Mau jadi apa kamu kalau masih suka kelayapan malam begitu? Ingat, Sora, kamu itu membawa nama baik Papa dan suami kamu di mana pun kamu berada. Kamu harus tahu gimana harusnya kamu bersikap! Kalau mau nakal, minimal pakai otak kamu! Jangan seperti perempuan yang tidak punya martabat!" sentak Pak Sakti. Sora meletakkan snacknya dengan gerakan kasar. Menurunkan tangannya dan mengepal kuat. Ucapan ayahnya kali ini sudah sangat keterlaluan. Ia ingin menyangkal hal itu, namun, sekali lagi ia merasakan tangan Ersya meraih tangannya, memberi usapan lembut yang langsung Sora tepis. Apakah iya, kenakalannya selama ini sudah kelewatan? Padahal ia hanya ingin mengekspresikan kekecewaannya atas apa yang menimpa dirinya. Ia hanya ingin, ayahnya tahu jika apa yang dia lakukan perbuat selama ini sangat melukai Sora. "Maaf, Pa. Kalau memang menurut Papa, Sora bisa membahayakan nama baik keluarga, maka itu tanggung jawab saya untuk menasihatinya sekarang. Karena saya suaminya. Dan saya pastikan, senakal-nakalnya Sora, dia tidak akan sampai mencoreng nama baik keluarganya. Saya akan pastikan jika Sora tidak seburuk yang Papa kira." Sora masih berusaha menulikan telinganya atas ucapan Ersya yang seperti membelanya. "Lagi pula, saya tahu betul jika apa yang Sora lakukan selama ini ada alasannya. Kalau saja Papa lupa, sebelumnya Sora adalah gadis yang baik dan periang," lanjut Ersya. Baik. Kali ini ucapan Ersya berhasil membuat Sora menoleh - terkejut. 'Bagaimana dia bisa tahu tentang aku yang dulu? Terus, kok bisa dia jadi belain aku di depan Papa? Bukannya Ersya klop banget ya sama Papa?' Pak Sakti tampak menghela napas panjang. Ia terlalu malas berdebat, apalagi dengan menantu kebanggaannya itu. Ia tidak mau hubungannya dengan Ersya justru akan kacau karena pertemuan malam ini. Cukup. Cukup Sora saja yang hubungannya kurang baik dengannya. Jangan sampai Ersya juga malah akan menjauhinya. Ia tidak akan sanggup membayangkan masa tua jauh dari cucu, anak dan menantunya sekaligus. "Baik, sudah. Lebih baik kita sambung obrolannya di lain waktu. Malam ini kalian mau menginap?" tawar Pak Sakti setelah berusaha keras meredam egonya. "Males," jawab Sora seenaknya. Ersya kembali mengelus tangan istrinya dengan lembut. "Mungkin lain kali, Pa. Kami juga belum mempersiapkan pakaian ganti dan yang lainnya. Belum ngasih tahu orang-orang di rumah juga kalau mau nggak pulang," sambung Ersya. Pak Sakti mengangguk paham. "Ya sudah, ayo kita makan sekarang! Kan tujuan Papa mengundang kalian ke sini untuk makan malam bersama." Ketiga orang di sana langsung mengambil menu untuk diri mereka masing-masing. Sementara Sora masih tampak malas untuk sekadar bergerak dari tempatnya. "Mau aku ambilin?" tawar Ersya. Sora menatap sinis pria di sebelahnya. Tak mau mendapat perlakuan yang lebih 'aneh' dari Ersya, Sora pun segera bergerak menyiapkan makanannya sendiri. Keempatnya makan dalam diam. Tampak tidak lazim bagi sebuah keluarga. Namun, bagi Pak Sakti dan juga Ersya, hal itu masih jauh lebih baik dibanding makan malam mereka harus diwarnai dengan perdebatan yang lebih panjang dari sebelumnya. Selesai makan dan berbincang ringan, Ersya segera berpamitan. Sebenarnya, ia masih ingin tinggal lebih lama dan berusaha mencairkan suasana di antara Pak Sakti dengan Sora. Namun, begitu melihat Sora yang mulai bosan dan mengantuk, ia pun memutuskan untuk segera membawa istrinya itu kembali ke rumah. "Clubbing aja kuat sampai pagi dini hari. Ketemu papanya belum jam sembilan udah ngantuk," sindir Ersya. Saat ini mereka sudah berada dalam perjalanan menuju kediaman mereka. "Ck, bawel deh. Lagian ngebosenin banget ngobrol sama dia. Yang dia bicarain cuma omong kosong semua, gimana nggak bikin ngantuk?" sahut Sora. Sesekali ia menguap, meski fokusnya masih tertuju pada layar benda pipih di tangannya. Ersya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia dan ayahnya juga tidak sedekat hubungan ayah-anak pada umumnya. Dalam setahun, bahkan bisa dihitung jari berapa kali ia akan bertemu dengan ayahnya. Sejak Ersya kecil, ia sudah biasa berpisah dengan ayahnya yang memiliki kesibukan luar biasa saat harus membangun kerajaan bisnis mereka saat ini. Namun setidaknya, hubungannya dengan sang ayah tidak sampai seburuk hubungan kekeluargaan Sora. "Kamu nggak ada niat buat coba kasih kesempatan papa kamu buat jelasin semuanya? Siapa tahu, di antara kalian ada salah paham yang-" "Serius kamu mau kita ribut sekarang?" potong Sora. “Sora—” “Atau kamu bisa turunkan aku di sini kalau masih mau lanjutin omong kosongmu!” Bukan sekedar ancaman, Sora sudah sampai hampir melepas seatbelt. Ersya cepat menahan tangannya, yang di tepis Sora lagi. Ersya menghela napas dalam, melirik istrinya yang bersedekap dan tak mau memandangnya. Sementara itu menurut Sora, saran apapun yang berhubungan dengan hubungannya dengan ayahnya merupakan sebuah ajakan untuk memulai keributan. Ya. Setidak suka itu Sora dengan topik tersebut. Mobil terus melaju sampai mereka tiba di carport, mobil berhenti. Sora yang lebih dulu bersiap turun, sebelum itu tanpa menoleh, dia berbicara lirih yang jelas ditunjukkan pada Ersya. “Kamu dengan enaknya bilang begitu, minta itu dariku tanpa pernah tahu perasaanku. Ya, whatever you say atau kamu mikir aku anak durhaka kek! Image buruk memang sudah lekat padaku kok, sama seperti yang papa bilang—” “Sora, aku nggak maksud untuk menekan kamu. Aku juga gak mikir seburuk itu tentang kamu. Aku hanya mau hubungan kamu dan Papa membaik—" Detik yang sama Sora menoleh, menatapnya. Detik yang sama Ersya melihat ada luka akibat kecewa di netra indahnya. “Kalau pun ada perasaan yang aku miliki sekarang, hanya rasa benci untuk Papa! Jadi, jangan pernah berbuat apa pun yang jelas hasilnya hanya akan sia-sia!” dia sudah bersiap turun, kemudian berbalik dan kembali mengatakan sesuatu yang lebih sarkasme, “kita menikah di jodohkan, aku terpaksa menerima pernikahan ini. Bahkan terpaksa hidup satu atap sama kamu, jadi, hubungan kita gak sebaik itu untuk saling mengurusi satu sama lain. Urus hidupmu sendiri, jangan ikut campur dan atur-atur aku terus. Kamu tahu, aku sangat muak!” Setelah mengatakannya, Sora bergegas turun. Ersya menghela napas saat suara pintu mobil di tutup agak kasar oleh Sora. Ersya merasa Sora akan semakin jauh darinya setelah malam ini. Tapi, Ersya tidak akan menyerah. Dia tidak akan marah, apalagi tersingung, sebab semua yang Sora katakan hanya mengekspresikan apa yang dia rasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD