"Ya Tuhan, apa Gavin tidak memberimu jeda semalam? Kau benar-benar terlihat menyeramkan," Nana mencebik saat melihat bagaimana wajah Kyra yang sejak pagi terlihat kesal, lalu saat kini mereka tengah makan siang, Nana bisa melihat bagaimana Kyra yang terus mendesah dan menghembuskan napas panjang.
"Apa maksudmu?" Kyra hanya mendengus, kini mereka tengah berbaris untuk mengambil jatah makan siang.
"Ck, tidak usah berpura-pura polos, berapa kali Gavin melakukannya semalam?" Nana berbisik dengan nada menggoda membuat Kyra menatap kesal pada sahabatnya itu dan mencubit lengan Nana kuat-kuat.
"Nana!! Mulutmu benar-benar!! Ya Tuhan." Kyra mendesah panjang dengan pemikiran kotor sahabatnya, sedang Nana kini mengusap lengannya yang sakit dan menatap Kyra dengan sengit.
"Astaga!! Aku benar-benar membenci pria itu setengah mati!" Kyra mendesah lagi, sedang Nana yang kini tengah menikmati makan siangnya menatap bingung pada Kyra.
"Kenapa? Gavin tidak membuatmu puas semalam?" Nana tersenyum lagi dengan wajah mesumnya, membuat Kyra mengambil sendoknya dan bersiap memukulkannya pada Nana, namun wanita itu dengan cepat mengindar.
"Jika kau lupa kami sama-sama membenci pernikahan ini. Jadi tidak ada malam pertama sialan itu. Jangankan malam pertama, bertatapan dengannya saja membuatku ingin mengumpat."
Nana yang mendengar itu hanya bisa meringis, lupa satu hal jika Gavin maupun Kyra tidak ada yang menginginkan pernikahan ini.
"Ayolah, Ra. Sebenci apapun kau padanya, dia suamimu sekarang. Cara terbaik untuk membuatmu berhenti membencinya adalah dengan menerima takdir ini, kebahagiaan itu ada karena kau selalu mensyukuri setiap kejadian yang ada dalam hidupmu sekali pun itu kejadian buruk, karena selalu ada dua sisi dalam setiap kejadian, dan kau harus mengambil sisi positif dari kejadian buruk itu untuk membuatmu menyadari jika selalu ada hal baik sekali pun yang terjadi adalah hal buruk. Percayalah, Tuhan akan memberikan kebahagiaan juga melalui takdir ini, kau hanya perlu menerimanya pelan-pelan dan mencoba menyukai Gavin pelan-pelan."
Nana menatapnya tulus, membuat Kyra yang melihat itu ikut tersenyum. Rasanya ia beruntung memiliki Nana yang akan selalu mendengar keluh kesahnya, dia tau dia membuka aib rumah tangganya, namun baik dirinya dan Nana sangat dekat, mereka mengetahui keburukan masing-masing dan Kyra merasa perlu mendapat nasihat dari Nana sebagai sahabatnya.
"Tapi ... rasanya ini terlalu sulit, Na. Aku benar-benar tidak bisa menerima jika dia begitu arogan, bahkan saat dia memiliki kekurangan dan merugikanku dalam pernikahan ini dia tidak terlihat bersalah sama sekali. Dia justru menatapku dengan benci yang berapi-api seolah dia yang paling dirugikan di sini. Bahkan saat pagi tadi aku berusaha membuatkannya sarapan, dia justru mengumpatku dan menatapku nyalang seperti biasa, aku tidak tau bagaimana harus memulainya dan bagaimana harus menerima keadaan ini, semuanya terlalu tiba-tiba dan rasanya aku tidak sanggup menanganinya." Kyra mendesah frustasi sekali lagi, membuat Nana yang melihat itu meringis dan menggenggam tangan Kyra lembut.
Sejak satu tahun yang lalu Nana bisa melihat, pelan-pelan wanita yang hari-harinya dipenuhi kebahagiaan itu tawanya semakin hilang, kesedihan dan raut sendu sering terpancar di wajah cantiknya, sudah jarang Nana melihat Kyra yang tertawa lepas tanpa beban saat bersamanya, dan Nana sangat tau apa penyebabnya, dan kini dengan kehidupan sahabatnya yang baru, Nana semakin takut jika kesedihan itu justru akan semakin sering menemani hari-hari Kyra.
"Kyra!"
Nana menyentak Kyra, wanita itu berusaha menahan tangisnya saat mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Kyra saat mereka sama-sama baru masuk di perusahaan tempat mereka bekerja kini. Kyra adalah wanita yang energik dan selalu bisa menyalurkan kebahagiaan untuk orang-orang di sekitarnya, wanita itu sering tertawa dan membuat yang lain juga tertawa dengan ucapannya, namun satu tahun ini, sejak Kyra mengetahui fakta lain tentang keluarganya, pelan-pelan tawa gadis itu menghilang, Kyra selalu terlihat sendu saat permintaan-permintaan Davina semakin menjadi, hingga puncaknya saat ibunya memintanya menikah dengan Gavin, wanita itu menangis hebat untuk pertama kalinya, menceritakan semua isi hatinya pada Nana, tentang semua yang ia rasakan saat pertama Davina datang hingga pernikahannya dengan Gavin, dan mereka menangis semalaman di apartemen Nana. Namun keesokan harinya, Kyra sudah terlihat baik-baik saja walau Nana tau jika wanita itu hanya berpura-pura, dan keputusan Kyra selanjutnya membuat Nana hanya bisa menatap sendu sahabatnya itu, merasakan pilihan sulit yang harus dilakukan Kyra.
"Mana Kyra yang kuat dan selalu semangat menghadapi semua masalah yang ada? Kenapa kau menjadi seperti ini? Ini bukan dirimu, Ra? Bukankah kau pernah mengatakan, apapun yang terjadi kita harus menghadapinya dengan pemikiran yang positif agar hasilnya baik, lalu kenapa sekarang otakmu dipenuhi dengan pikiran-pikiran yang negatif?"
Nana menggenggam kuat tangan Kyra dan menatap dengan senyum meyakinkannya, membuat Kyra akhirnya mengangguk walau masih belum yakin dengan apa yang harus ia lakukan ke depannya untuk menghadapi Gavin.
"Ya, Na, aku ... aku akan berusaha menghadapinya dengan baik tanpa ada prasangka-prasangka negatif,"
"Ini baru Kyra-ku. Prasangka-prasangka negatif hanya akan membuatmu kalah, Ra."
~***~
Kyra menghembuskan napasnya lelah begitu memasuki rumah, rumah baru yang masih terasa begitu asing untuknya, semua percakapannya dengan Nana masih ia ingat dengan jelas, namun tidak semudah itu untuk melakukannya, ia masih membutuhkan waktu untuk menerima semuanya, terutama sikap arogan pria itu yang seolah memusuhinya.
Jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam membuat Kyra memutuskan untuk membuat makan malam karena ia merasa sangat lapar, belum ada tanda-tanda kedatangan Gavin, seharusnya ia menghubungi pria itu untuk menanyakan jam berapa kepulangannya atau makanan apa yang diinginkan oleh pria itu untuk makan malam. Namun, jangankan menghubunginya, memikirkannya saja sudah membuatnya lelah, dan Kyra tidak ingin repot-repot juga menjadi wanita menyedihkan yang membuatkan makan malam untuk Gavin di saat pria itu bahkan tadi pagi tidak menghargai usahanya.
'Kau bilang ingin memulainya pelan-pelan? Lalu kenapa sekarang kau masih enggan untuk melakukannya? Ingat Kyra, cara terbaik untuk membuatmu bahagia adalah berdamai dengan kenyataan, mungkin Gavin tidak seburuk itu jika kau mencoba mengakrabkan diri dengannya, kalian hanya belum saling mengenal. Percayalah, semua tidak seburuk yang kau pikirkan.'
'Bagaimana aku akan memulainya pelan-pelan jika pria itu terlihat sangat membenciku melalui tatapan matanya?'
Batinnya kembali berperang, membuat Kyra mendesis, benci menghadapi situasi seperti ini. Pintu depan yang terbuka membuat wanita itu sedikit tersentak dari perang batinnya, Gavin datang dengan wajah datarnya, pria itu langsung memasuki dapur dan membuka kulkas, menenggak air dingin langsung dari botolnya.
"Kau ...." pertanyaan Kyra selanjutnya tertahan di kerongkongan saat pria itu hanya menatapnya tajam, menutup pintu kulkas dengan kuat dan meninggalkannya.
"Sialan. Lihat kan? Bagaimana aku mencoba untuk memulai jika pria itu saja enggan?" Kyra menggertakkan bibirnya menahan kesal, lalu masa bodoh dengan apa yang akan dimakan Gavin untuk makan malam, biarkan pria itu mengurus dirinya sendiri.
Semangkuk mie instant benar-benar membuatnya bahagia malam ini, lalu ia beranjak untuk menuju kamar, melihat apa yang sedang dilakukan oleh suami menyebalkannya itu. Ingin kembali menanyakan bagaimana dengan makan malam pria itu walau sebenarnya ia malas melakukannya.
'Ah, jangan terlalu baik, Kyra! Pria itu yang menolak, jadi untuk apa kau sibuk memikirkannya, bahkan menanyakannya kembali?' Batinnya kembali menggumam, memperingatkan sikap dirinya yang selalu peduli pada orang-orang di sekitarnya bahkan saat orang itu telah menolak atau mengacuhkannya.
Lalu saat memasuki kamar, Kyra melihat Gavin yang sudah terlelap di ranjang dengan baju kerja yang masih melekat di badannya, membuatnya mendecak dan mendekati pria itu.
"Ck, Gavin," Kyra menggumam lirih dan menggerakkan bahu Gavin pelan, melihat dari dekat wajah pria itu yang terlihat lelah membuat Kyra meringis, seberat apa pekerjaanya hingga membuat pria itu bahkan langsung tidur dengan baju kerja yang masih melekat di tubuhnya. Entah mengapa timbul setitik rasa iba dalam diri Kyra, mengingat jika pria itu masih belum move on dan mungkin masih terluka sangat dalam dengan kepergian calon istrinya dan membuatnya bekerja gila-gilaan untuk mengalihkan rasa sakit hatinya. Selain itu, Angel juga pernah berkata padanya, jika Gavin pernah mengalami bullying dan membuat pria itu berubah drastis menjadi dingin dan tidak tersentuh.
Kyra hanya bisa menghembuskan napasnya mengingat jika pria itu mungkin saja mengalami hal berat di kantor terlepas dari sifat arogan pria itu padanya. Dengan pelan ia melepaskan kaos kaki Gavin dan menyelimuti pria itu, lalu ikut berbaring di sisi ranjang yang lain dengan hati yang simpati membayangkan kemungkinan jika Gavin mengalami hal-hal berat setelah batalnya pernikahan pria itu.
Entah kemana sikap benci dan kesalnya pada Gavin, semua itu seolah menguap begitu saja memikirkan bagaimana kehidupan pria itu sebelumnya, bagaimana menghadapi kerasnya hidup di kota besar yang masih erat dengan persaingan dan saling menghancurkan untuk mencapai kemenangan.
Dituntut menjadi pengusaha di usia muda pasti sangat memberatkan dan membuat pria itu tertekan, memikirkan mungkin saja Gavin memiliki kehidupan yang berat selama ini membuat Kyra terhenyak, mungkin di balik sikap dingin dan datar pria itu, sebenarnya Gavin hanya sedang membuat tameng agar tidak ada satu pun yang mengetahui kesedihannya. Lelah dengan semua pemikirannya tentang Gavin membuat Kyra pelan-pelan terlelap dengan harapan esok hari ia memiliki hati yang lebih lapang untuk menghadapi Gavin.