Danisa hendak menghampiri Kemala, namun Kemala yang menyadari kehadiran menantunya itu langsung melihat ke arahnya dan berkata, "Stop di sana. Aku sedang masak, jangan ganggu. Mulai hari ini, biar aku yang memasak. Kamu tidak usah memasak. Tugas kamu adalah menyajikan makanan ke meja makan, membereskan meja setelah makan, mencuci piring, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah. Tugasku hanya memasak saja. Kamu mengerti?"
Danisa cukup terkejut mendengar perkataan ibu mertuanya. Ia pun mengangguk, "Baik, Bu."
Setelah itu, Danisa bertanya, "Oh ya, Bu, bagaimana dengan uang sekolah untuk Amanda?"
Kemala menjawab dengan nada tegas, "Kamu tenang saja. Ibu sudah memberikan uang jajan pada Amanda."
Danisa menjawab lemas, "Baiklah."
Ia pun pergi dari dapur dengan perasaan campur aduk, sementara Kemala tersenyum puas melihat menantunya menurut.
Saat sarapan, Amanda terlihat sangat senang karena bisa makan enak. Begitu juga dengan Aksa yang merasa puas dengan masakan ibunya. Sementara itu, Danisa duduk dengan perasaan kesal karena ibu mertuanya berhasil merebut hati sang anak dan suami.
"Enak kan kalau ibu ada di sini? Pokoknya mulai sekarang dan kedepannya, kalian akan makan enak terus deh," ujar Kemala dengan nada puas.
Amanda tersenyum dan mengangguk. "Iya, Nek, enak banget."
Aksa menambahkan, "Makasih ya, Bu. Masakan Ibu memang juara deh."
Danisa hanya bisa diam, menyembunyikan perasaannya. Setelah Aksa dan Amanda pergi dari rumah, Kemala berkata kepada Danisa, "Sekarang giliran kamu bekerja ya. Cuci piring, bereskan rumah. Saya akan ke rumah Tamara. Katanya dia sudah tiba di rumah barunya. Oh iya, rumah barunya tidak jauh loh dari sini, hanya terhalang oleh satu rumah saja. Ingat ya, merapikan rumah ini sampai benar-benar bersih. Jangan sampai ada noda yang tertinggal."
Kemala meninggalkan Danisa di ruang makan. Danisa pun mulai melakukan semua pekerjaan rumah seperti biasa. Meskipun sebenarnya Danisa tidak keberatan melakukan semua pekerjaan rumah setiap hari, perasaan kesal muncul dalam hatinya ketika ia diperintah dengan nada yang merendahkan oleh ibu mertuanya.
Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya. Dengan perlahan, Danisa mulai mencuci piring dan membersihkan meja makan, lalu melanjutkan dengan menyapu dan mengepel seluruh rumah. Sambil bekerja, ia terus berusaha mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap sabar demi keluarga kecilnya.
Hari-hari pun berlalu, dan rutinitas Danisa tetap sama. Pagi-pagi, ia bangun lebih awal untuk mencuci dan pekerjaan lain. Namun, urusan memasak telah diambil alih oleh Kemala. Selesai memasak, Kemala hanya bersantai di ruang tamu atau kamar, dan sesekali, di sore hari, ia pergi ke rumah Tamara untuk mengobrol bersama.
Sementara itu, Danisa harus mengurus semua pekerjaan rumah tangga lainnya. Ia mencuci piring, membersihkan rumah, mencuci dan menyetrika pakaian, serta mengurus Amanda. Hari-hari yang penuh dengan pekerjaan tanpa henti membuat Danisa merasa lelah dan kesal.
Setiap kali ia merasa lapar di luar jam makan, ia teringat bahwa ia tidak memiliki uang sepeser pun. Semua uang dipegang oleh Kemala. Bahkan untuk sekadar membeli semangkuk bakso, Danisa harus menahan diri.
Suatu sore, saat Kemala baru saja kembali dari rumah Tamara, Danisa memberanikan diri untuk bicara.
"Bu, apakah saya bisa minta uang sedikit saja untuk membeli sesuatu di luar?" tanyanya dengan nada hati-hati.
Kemala memandang Danisa dengan pandangan dingin. "Untuk apa? Semua kebutuhan sudah terpenuhi, kan? Sarapan, makan siang, dan makan malam sudah ada. Buat apa lagi uang?" jawab Kemala tanpa sedikit pun empati.
Danisa menundukkan kepala, merasa tidak punya pilihan lain selain menerima kenyataan ini. "Baik, Bu," jawabnya lirih.
Hari-hari seperti itu terus berlanjut. Kemala yang hanya memasak dan bersantai, sementara Danisa yang harus bekerja keras sepanjang hari. Rasa lelah dan kesal terus menggerogoti hati Danisa, namun ia tetap bertahan demi Aksa dan Amanda. Di dalam hatinya, ia berharap suatu saat keadaan akan berubah.
Setiap malam, setelah selesai mengerjakan semua pekerjaan rumah, Danisa duduk di kamarnya, merasa kelelahan. Ia memandang ke luar jendela, merenungkan hidupnya. Tekanan dari Kemala dan perasaan terjebak dalam situasi ini membuatnya semakin tertekan.
Namun, di dalam hatinya, Danisa tahu bahwa ia harus kuat. Demi Amanda, demi keluarganya, ia harus terus bertahan dan berharap suatu hari nanti keadaan akan berubah menjadi lebih baik.
Danisa melihat pintu kamarnya terbuka, dan ternyata itu adalah Aksa yang baru pulang. "Dari mana, Mas? Tumben baru pulang," tanyanya.
Aksa menjawab dengan agak tergesa, "Ada pekerjaan, jadi aku pulang larut ini."
Danisa menangkap nada yang agak berbeda dari suaminya. "Tumben ya, kok nggak biasanya sih, Mas," ucapnya sambil menunjukkan sedikit sindiran.
Aksa mengangguk, "Iya, beneran. Kamu jangan banyak nanya deh, aku sudah capek kerja juga," jawabnya, tanpa menatap wajah Danisa.
Danisa merasa ada yang berbeda dari sikap Aksa belakangan ini. Dia tidak banyak mengobrol dengan Danisa ketika di rumah, selalu sibuk dengan ponselnya, dan sering pulang telat. Danisa pun mulai curiga.
Ketika Aksa masuk ke kamar mandi, Danisa mendengar suara getaran ponsel di tas kerjanya. Penasarannya memuncak, dan dia mengambil ponsel itu dari tas kerja Aksa. Namun, yang terlihat membuatnya terkejut Ia melihat adalah kontak Tamara, dengan emoticon love memanggil.
Wajah Danisa memanas, dadanya bergemuruh. Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka, dan Aksa menyadari bahwa ponselnya dipegang oleh Danisa. Dengan cepat, Aksa menghampiri Danisa dan merebut ponselnya.
"Kenapa kamu memegang ponselku tanpa izin?" tanyanya dengan nada yang agak tajam.
Danisa merasa tertohok, namun tetap tegar. "Apa sih, Mas? Kenapa kamu sangat marah? Biasanya kamu tidak seperti ini.
“Mulai sekarang, kamu tak boleh memegang ponselku," uja Aksa dengan tegas. Aksa keluar dari kamar, meninggalkan Danisa yang merasa ada yang disembunyikan oleh suaminya. Rasa curiga dan kekhawatiran semakin menghantui pikirannya.
Aksa masuk ke kamarnya, dan melihat Danisa sudah tidur. Dia langsung menuju kamar mandi, mandi, berganti pakaian, dan kemudian tidur. Saat tengah malam, Danisa terbangun secara tiba-tiba. Dia merasa tidak nyaman dan mulai mencari ponsel Aksa.
Setelah beberapa pencarian, Danisa menemukan ponsel Aksa. Namun, dia mengerutkan keningnya saat menyadari bahwa sandi ponsel Aksa telah berubah. Dengan nada pelan, Danisa mengeluh, "Bahkan kata sandinya saja sekarang berubah, dan aku tak bisa mengaksesnya."
Danisa teringat pada temannya yang ahli di bidang IT. Tanpa ragu, dia mengirim pesan pada temannya dan meminta bantuan agar bisa mengakses ponsel suaminya yang terkunci. Ia berharap semoga bantuan dari temannya bisa memberikan jawaban atas kebingungannya.
Keesokan harinya, saat siang tiba, Danisa sudah berhasil mengakses pesan di ponsel Aksa. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika melihat isi pesan antara Aksa dan Tamara. Pesan-pesan itu sangat mesra, membuat wajah Danisa memanas. Dia merasa sangat dikhianati oleh suaminya.
Sejak ibu mertuanya datang, Danisa merasa menderita. Sekarang, selain merasakan kesulitan dalam rumah tangga, suaminya juga berselingkuh. Danisa menatap Aksa dengan tatapan tajam dan berkata, "Awas ya Mas! Kamu pikir aku tidak tahu kelakuanmu!"
Dalam hati, Danisa merasa hancur dan tersakiti oleh dua orang yang seharusnya ia percayai dan cintai.
Danisa terduduk di tepi ranjang, matanya berkaca-kaca menatap layar ponselnya. Pesan-pesan mesra antara Aksa, suaminya, dan Tamara, wanita yang ibunya katakan sebagai calon istri Aksa, menghancurkan hatinya. Tangannya gemetar saat ia membaca setiap kata, setiap kalimat yang penuh kebohongan dan pengkhianatan. Perasaan sakit yang mengiris hati membuat napasnya terasa sesak.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuat Danisa tersentak dari lamunan pedihnya. Ia mengusap air matanya dengan cepat dan beranjak keluar dari kamarnya. Saat membuka pintu, ia melihat seorang lelaki berpakaian serba hitam berdiri di depannya.
"Apakah saya sedang berbicara dengan Nona Danisa?" tanya lelaki itu dengan sopan.
Danisa mengerutkan keningnya, bingung mengapa ia dipanggil 'Nona'. "Ya, saya Danisa," jawabnya ragu.
Lelaki itu melanjutkan, "Saya utusan dari kakek Anda. Saya diminta untuk menjemput Anda."
"Maaf, Pak. Sepertinya Anda salah orang. Setahu saya, saya tidak punya kakek," jawab Danisa dengan nada bingung.
Lelaki itu kemudian menyebutkan nama kedua orang tua Danisa, yang membuat Danisa terkejut dan penasaran. Bagaimana mungkin lelaki ini tahu nama orang tuanya? Akhirnya, rasa penasaran mengalahkan keraguannya, dan ia memutuskan untuk mengikutinya.
Setelah bersiap-siap, Danisa keluar rumah dan terkejut melihat sebuah mobil super mewah yang terparkir di depan rumahnya. "Saya naik mobil ini?" tanya Danisa dengan tak yakin.
"Iya, Nona. Ini mobil milik kakek Anda," jawab lelaki itu.
Dengan perasaan bingung, Danisa akhirnya masuk ke dalam mobil tersebut. Di perjalanan, ia mengirim pesan kepada Aksa, memberitahukan bahwa ia ada keperluan mendesak. Aksa, yang sedang sibuk dengan urusannya sendiri, hanya membalas singkat, mengizinkannya.
Pikiran Danisa berputar-putar. Kedua orang tuanya tidak pernah bercerita tentang kakeknya. Namun, kehadiran mobil mewah dan informasi dari lelaki itu membuatnya semakin penasaran. Saat mobil memasuki sebuah gerbang besar, pemandangan taman hijau yang sangat indah dan terawat membuat Danisa tertegun. Mobil terus melaju hingga berhenti di depan sebuah bangunan megah nan mewah.
Lelaki itu membukakan pintu mobil untuk Danisa. Dengan mulut ternganga, Danisa keluar dari mobil dan memandang rumah besar di depannya. "Apa benar ini rumah kakek saya?" tanyanya, masih tidak percaya.