“Apa benar ini rumah kakek saya?” Tanya Danisa yang masih tak percaya.
"Iya, Nona. Kakek Anda adalah Hengky Adiwijaya, salah satu konglomerat di negeri ini," jawab lelaki itu dengan hormat.
Danisa terdiam, mencoba mencerna semua informasi yang baru saja ia terima. Hatinya yang hancur oleh pengkhianatan suaminya kini diwarnai dengan kejutan dan kebingungan akan sosok kakeknya yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya.
Lelaki itu berkata, "Mari, Nona. Tuan sudah menunggu kedatangan Anda." Meskipun ragu, Danisa menganggukkan kepalanya. Ia berjalan mengikuti petunjuk arah lelaki yang menjemputnya.
Lelaki itu pun membuka pintu utama rumah yang megah itu. Danisa menghela nafas, berusaha menerima dan merasakan kehadirannya di tempat tersebut. Saat ia masuk ke ruang tamu, matanya langsung tertuju pada lampu gantung yang sangat mewah. Ruang tamu itu benar-benar megah, dengan segala perabotan yang serba mewah.
Lelaki itu mempersilakan Danisa untuk duduk. "Silakan, Nona, untuk duduk terlebih dahulu. Saya akan memanggil Tuan dan memberitahunya jika Anda sudah tiba." Danisa mengangguk dan duduk. Lelaki itu kemudian meninggalkan Danisa sendirian di ruang tamu yang cukup luas itu.
Danisa melihat sekeliling ruang tamu. Matanya berhenti pada salah satu pigura foto yang cukup besar. Ia terkejut saat melihat ada foto dirinya di antara seorang laki-laki dan perempuan. Wajah laki-laki itu sangat mirip dengan ibunya. Dengan suara pelan, Danisa berkata, "Apa benar ibuku adalah putri dari pemilik rumah ini?"
Danisa masih bertanya-tanya hingga akhirnya dua orang asisten rumah tangga yang memakai seragam khusus menyajikan minuman dan makanan untuknya. Selain minuman untuknya, pelayan itu pun menyajikan minuman di salah satu sudut meja lain yang Danisa tebak untuk pemilik rumah ini, yang tadi disebut sebagai Hengky Adiwijaya.
Setelah menyajikan makanan dan minuman, dua pelayan itu kembali meninggalkan ruang tamu. Suasana di ruangan tamu cukup dingin dan mencekam. Danisa benar-benar bingung karena sudah beberapa menit namun belum ada satu orang pun yang menghampirinya.
Danisa merasa haus, jadi ia mengambil minuman yang tersaji di sana dan meminumnya perlahan. Saat ia kembali meletakkan cangkir ke atas meja, seorang laki-laki yang sudah lanjut usia masuk ke ruangan itu. Kehadirannya membuat Danisa refleks berdiri, lalu ia menundukkan kepalanya. Laki-laki itu berjalan mendekatinya dan berdiri tepat di depannya.
"Lihatlah wajahku, Danisa," katanya lembut.
Perlahan, Danisa mengangkat wajahnya untuk menatap laki-laki yang ada di hadapannya. Kulitnya sudah keriput, namun masih tampak tegas. Laki-laki itu tersenyum dan berkata dengan suara bergetar, "Akhirnya kakek bisa bertemu denganmu. Bolehkah kakek memelukmu?"
Danisa masih bingung, tetapi melihat mata lelaki yang berkaca-kaca itu, ia hanya mampu mengangguk, memperbolehkan laki-laki itu memeluknya. "Kakek sangat merindukanmu, sangat merindukanmu," katanya sambil memeluk Danisa dengan hangat. Air mata lelaki itu terurai, menunjukkan betapa emosionalnya pertemuan ini baginya.
Setelah beberapa saat, lelaki itu melepas pelukannya dan memperkenalkan dirinya. "Kakek adalah Hengky Adiwijaya. Kakek ini adalah ayah dari ibumu. Ibumu adalah Marsha Putri Adiwijaya. Dulu, ibumu memaksa untuk menikah dengan ayahmu, Andika, yang berasal dari keluarga biasa. Tapi kakek tidak merestui mereka. Jadi setelah mereka menikah, kakek meminta agar mereka berjuang sendiri. Akhirnya, mereka pindah ke luar kota hingga kakek kehilangan jejak mereka. Lalu, kakek mendengar kabar bahwa mereka sudah meninggal. Ceritanya panjang, dan hingga akhirnya kakek tahu bahwa mereka memiliki seorang putri cantik seperti kamu."
Danisa merasa hatinya campur aduk mendengar penjelasan kakeknya. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang dialaminya saat ini. Semua rasa bingung dan tidak percaya bercampur dengan perasaan hangat dari pelukan dan kata-kata kakeknya.
Hengky mempersilakan Danisa untuk duduk di sofa yang sama dengannya. "Mari duduk, Danisa," katanya dengan lembut. Setelah mereka berdua duduk, Hengky memulai pembicaraan yang mengejutkan Danisa.
"Sesungguhnya, kakek sudah memperhatikan kehidupanmu beberapa hari terakhir," Hengky mengawali. "Kakek tahu jika rumah tanggamu awalnya baik-baik saja. Namun, kakek juga tahu bahwa setelah kehadiran ibu mertuamu, rumah tanggamu mulai ada masalah setiap harinya. Bahkan, kakek tahu bahwa ibu mertuamu menghadirkan orang ketiga di dalam rumah tanggamu."
Danisa benar-benar terkejut mendengar bahwa Hengky memperhatikan kehidupannya selama ini. Ia merasa sakit hati mengingat perlakuan yang diterimanya dari ibu mertuanya. Terlebih lagi, ia baru tahu bahwa suaminya mulai bermain api dengan Tamara.
Melihat Danisa terdiam, Hengky melanjutkan, "Kakek tahu kamu merasakan sakit hati dan merasa sebatang kara. Kakek hanya ingin berpesan padamu, jika menurutmu perlakuan mertua dan suamimu sudah terlalu keterlaluan, lebih baik kamu tinggal saja di sini."
Namun, Danisa menolak. "Kakek, aku akan berusaha mempertahankan rumah tanggaku. Selama apa yang diperbuat oleh suami dan mertuaku tidak membuatku sangat sakit hati dan masih dalam batas wajar, aku akan bertahan."
Hengky mengangguk, memahami keputusan cucunya. "Oke, baiklah. Kakek tidak akan memaksa. Tapi kakek ingatkan padamu, jika terjadi sesuatu pada rumah tanggamu, langsung telepon kakek. Nanti kakek akan menjemputmu. Kamu mengerti?"
Danisa mengangguk dan menjawab, "Iya, kakek. Aku mengerti."
Setelah pembicaraan itu, Hengky menjelaskan bahwa Danisa adalah salah satu pewaris kekayaan yang ia miliki. "Kamu harus tahu, Danisa, bahwa kamu adalah salah satu pewaris kekayaan kakek. Kakek ingin memastikan bahwa kamu hidup dengan baik dan bahagia."
Danisa merasa campur aduk mendengar ini. Di satu sisi, ia masih merasa terkejut dengan semua informasi yang baru diterimanya. Di sisi lain, ia merasa sedikit lega mengetahui bahwa ada seseorang yang peduli dan siap membantunya di saat-saat sulit.
Setelah berbicara cukup panjang lebar, akhirnya Danisa pun pamit pada sang kakek. "Kakek, terima kasih atas semuanya. Aku berjanji akan tetap mengunjungi kakek jika rumah tanggaku dengan Aksa baik-baik saja," kata Danisa dengan tulus.
Hengky mengangguk dan tersenyum, "Kakek akan selalu menunggumu, Danisa. Ingat pesan kakek, jika terjadi sesuatu, jangan ragu untuk menghubungi kakek."
Danisa mengangguk dan memeluk kakeknya sekali lagi sebelum beranjak pergi. Ia kemudian diantar kembali oleh sopir Hengky dengan mobil mewah yang sama. Sepanjang perjalanan, pikirannya penuh dengan berbagai perasaan—dari keterkejutan hingga rasa lega yang bercampur aduk.
Setibanya di rumah, Danisa langsung masuk ke dalam. Namun, begitu ia melangkah masuk, pemandangan di depan matanya membuat darahnya mendidih. Di ruang tamu, ia melihat Aksa duduk berdekatan dengan Tamara, tertawa dan berbincang mesra. Mata mereka bertemu, dan seketika senyum Aksa memudar melihat ekspresi marah Danisa.
"Danisa, aku bisa jelaskan," kata Aksa dengan suara panik, namun Danisa sudah terlalu marah untuk mendengarkan.
"Jelaskan apa, Aksa? Bahwa kamu sedang bersenang-senang dengan wanita yang disebut-sebut oleh ibumu sebagai calon istrimu?" Suara Danisa bergetar menahan amarah dan sakit hati.