louisa - enam

1349 Words
Louisa sedang mengupas apel untuk Bunda. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Tante Ruby dan Diego muncul dari balik pintu dan masuk ke dalam membawa sekeranjang parcell buah-buahan yang lumayan besar. "Aduh, Kak Rin. Kenapa kamu bisa masuk rumah sakit?” tanya Tante Ruby pada Bunda. "Maklumlah, sudah berumur. Penyakit tua selalu datang tanpa dijemput." Diego mendekati Louisa dan memberikan parcell tersebut. Louisa menerimanya dan menaruhnya di meja. "Yaudah, sekarang fokus dulu aja sama penyembuhan. Jangan mikir aneh-aneh. Biar cepet sembuh. Masa mau nikahin anak malah sakit." Louisa terbatuk karena keselek air ludahnya sendiri ketika mendengar itu. Sepertinya baru kemarin ia menyetujui menikah dengan Diego. Kenapa sudah menyebar jika ia akan menikah? "Iya, Louisa udah bilang kalau ia mau menikah dengan Diego. Kapan kira-kira bisa dilaksanakan?” tanya Bunda pada Tante Ruby yang sudah duduk di sampingnya. Bahkan Bunda sudah mengubah posisi tidurnya menjadi bersender di ujung ranjang. "Bunda sembuh dulu. Baru omongin lagi,” ucap Louisa memotong. "Ya, bisalah satu bulan lagi?” tanya tante Ruby. "Hah? Kecepetan Tante. Belum ini itu persiapan. Apalagi untuk mencari gedung. Aku sama sekali belum kepikiran juga. Nggak mungkin satu bulan." "Iya, Mi. Jangan satu bulan terlalu mepet,” ucap Diego menambahkan. "Yaudah, dua bulan. Untuk gedungkan kalian nggak usah pusing. Om Ezra bilang, di restoran miliknya saja sekalian pembukaan outdoor side baru mereka saja. Jadi masalah gedung kalian sudah tidak usah pusing. Hanya pikirkan pre-wedding, undangan, souvenir, bridal dan wedding-organizer. Nanti Mami yang bantu nyari vendor dekornya." "Mami terlalu bersemangat." "Bagaimana kalau setahun lagi, Tante? Biar aku sama Diego juga ada pendekatan?" ucap Louisa bernegosiasi agar pernikahan itu tidak cepat terlaksanakan. "Nggak bisa. Satu tahun terlalu lama," Bunda menimpali. "Sekarang, kalian boleh pergi lihat-lihat undangan atau souvenir. Biar Tante nunggu Bunda kamu. Oh ya, jangan panggil Tante lagi, tapi Mami. Oke, Sayang?" "Tapi..," "Nggak ada tapi-tapian. Bunda di sini sama Mami. Jadi nggak usah khawatir. Sana pergi." Diego lebih dulu berjalan menuju pintu, mau tidak mau Louisa mengikutinya dan pamit pada Bunda. Louisa menghela napas ketika ia sudah berada di luar. Dua bulan itu terlalu cepat. Sangat cepat. Diego berjalan lebih dulu tanpa menunggunya, Louisa mengikuti Diego dengan lemas meskipun sudah tertinggal jauh. Sesampainya di parkiran, ia membuka pintu mobil dan duduk di samping Diego. Otaknya sama sekali tidak bisa berpikir. Semua membuatnya menjadi tidak berjalan dengan baik. "Nggak usah khawatir. Semua akan baik-baik aja. Jalanin aja apa maunya mereka. Toh, setelah menikah kita akan tetap hidup sendiri-sendiri dan bebas tanpa ikatan." "..." Diego menjalankan mobilnya menuju pembuat undangan. Ia menuju tempat yang direkomendasikan Naomi. Tempat yang sama pula Naomi membuat desain undangan pernikahannya dulu. Diego tidak memiliki konsep khusus untuk pernikahan ini. Ia akan menyerahkan semuanya pada Louisa. "Aku nggak ada konsep khusus. Semua bebas terserah kamu. Aku cuma minta jangan dibuat princess atau tema-tema aneh. Yang sewajarnya aja. Kamu juga boleh buat pernikahan impian kamu. Terserah,” ucap Diego. "....." Diego melihat wanita di sebelahnya begitu lemas, entah apa yang mengganggu pikirannya. Diego tidak peduli. Setidaknya ia tau jika wanita ini tidak akan menyusahkannya. Sesampainya di tempat pembuat undangan, mereka melihat-lihat contoh yang ada di sini. Diego melihat wanita ini sudah mulai bersemangat melihat beberapa contoh undangan. "Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" ucap salah seorang wanita menyambut Louisa dan Diego. "Iya, kita mau buat undangan untuk dua bulan ke depan. Untuk tanggal dan jumlah bisa nyusulkan? Kita mau lihat modelnya saja dulu." "Bisa kok. Silahkan duduk dulu." Diego duduk di sofa yang disediakan sedangkan Louisa masih berputar-putar di sekeliling etalase yang menampilkan beberapa model undangan. Louisa duduk di samping Diego lalu berbisik di dekat telinga laki-laki itu. "Memangnya berapa undangan yang kamu mau sebar?" "Mungkin seribu?" "Hah? Sebanyak itu relasi kamu? Tempatnya muat?" "Aku belum tau,” ucap laki-laki itu santai. Tidak lama datang wanita itu membawa beberapa contoh, "Nah ini beberapa contoh undangan. Ini yang kemarin Bu Naomi pakai. Satuannya delapanbelas ribu. Kalau yang ini undangan terbaru belum ada yang pakai." "Yaudah saya ambil yang ini aja,” ucap Diego. "Jangan dulu mbak. Kita di sini lihat-lihat dulu aja ya,” ucap Louisa yang mendapatkan tatapan tajam dari Diego. Mereka keluar dari tempat itu dengan muka Diego yang bete. Sedangkan Louisa, ia sedang memikirkan undangan yang mahal. Undangan yang akan disebar seribu. Sedangkan Diego memilih undangan dengan harga duapuluh lima per satu lembarnya. Hanya undangan mereka menghabiskan duapuluh lima juta? Tidak. Louisa akan mencari yang lebih baik lagi. "Kenapa kamu mikir-mikir lagi sih?” tanya Diego kesal ketika duduk di mobil dan menjalankan mobilnya. "Terlalu mahal hanya untuk undangan." Diego tidak percaya dengan jawaban Louisa. Terlalu mahal? Bukannya Diego yang mengeluarkan uang? Kenapa Louisa yang tidak setuju? "Kan uang aku juga?" "Justru karena uang kamu. Jangan terlalu mahal untuk undangan. Ya, aku tau kamu kaya. Tapi, nggak ada salahnya kan orang kaya hemat juga?" Diego mengehal napas, "Aku nggak bisa nemenin kamu terus-terusan buat nyiapin ini. Aku sibuk." Louisa mengangguk, "Nanti aku yang cari." Diego diam tidak menjawab. Biarkan saja Louisa mencari sendiri, ia sudah baik ingin membantu tapi wanita itu tidak ingin. Bahkan Diego masih heran dengan Louisa, sebenarnya apa yang di pikiran wanita ini? Semua wanita bukannya senang jika Diego dengan royal mengeluarkan uangnya? Kenapa justru wanita ini melarangnya mengeluarkan uang? "Kenapa?” tanya Louisa. Ia melihat muka Diego yang aneh. "Nggak, biasanya wanita senang ketika aku royal mengeluarkan uang. Kenapa justru kamu banyak mikir ketika aku mengeluarkan uang?" Louisa mengangguk, "Ini pernikahan bukan keinginan kamu dari hati. Maksud aku, kita nggak saling mencintai. Kemungkinan untuk cerai juga besar, kan?" Diego mengangguk, "Jadi untuk apa menghambur-hamburkan uang besar untuk pernikahan bohongan ini?" Diego melihat Louisa di sampingnya sejenak. "Wanita lainnya senang aku mengeluarkan uang demi kepentingan mereka." "Aku bukan termasuk wanita lainnya itu. Jadi jangan disamakan." Louisa yakin, jika ia akan merancang dan mencetak undangannya sendiri. Selain harga lebih murah, ia juga yakin lebih puas. Toh Diego bilang buat ini menjadi pernikahan impiannya kan? Kemungkinan besar ia tidak akan menikah lagi dan Louisa akan menjadikan ini pernikahan impiannya. "Nanti aku akan transfer uang untuk kamu. Untuk urus undangan dan souvenir. Gimana?" Louisa melihat ke arah Diego, tidak ada lagi raut kesombongan di wajahnya. Louisa mengangguk. "Nanti aku rinciin semuanya, kalau lebih aku bakal balikin ke kamu." Louisa mengambil ponselnya, lalu mengirim w******p untuk Delbert.   Me Kapan ke Jakarta? I need you.   Louisa memandang ponselnya dengan tidak sabar, pesannya untuk Delbert sudah terkirim dan terbaca. Tapi belum juga mendapatkan balasan. Diego yang melihat Louisa gelisah sebenarnya penasaran apa yang ditunggu dari ponselnya. Tapi ia mengurungkan niatnya. Itu bukan urusannya. Tiba-tiba suara ponsel Louisa berbunyi menandakan pesan masuk. Senyum Louisa mengembang membuat Diego benar-benar ingin tau. Lagi-lagi ia mengurungkan niat karena itu bukan urusannya. Louisa tersenyum melihat balasan pesan Delbert. Delbert Sudah di Jakarta. Lagi menuju apartemen. Sabaran kek. Me See you. Aku juga on the way ke sana.   "Ini di mana ya?” tanya Louisa pada Diego. "Menuju rumah sakit, kan?" "Kamu turunin aku aja di sini. Aku nggak ke rumah sakit. Oh ya, untuk wedding organizernya?" "Aku nanti kabarin kamu, kita pakai wedding organizer waktu punya Naomi saja." Louisa mengangguk, "Yaudah. Boleh berhenti di samping sana kok." Louisa menunjuk smaping jalan di depan. "Kamu nggak ke rumah sakit?" Louisa menggeleng, "Terus Bunda siapa yang jaga?" "Mas Arya udah sampai rumah sakit. Tadi dia kabarin aku pas di tempat undangan. Makasih ya,” ucap Louisa lalu keluar dari mobil Diego. Membuat Diego tidak tau harus bersikap apa. Bukannya tidak pernah menurunkan wanita, ia sering menurunkan wanita dengan paksa di pinggir jalan. Tetapi tidak pernah mendapatkan permintaan itu malah. Kebanyakan wanita yang pernah dekat dengannya memintanya mengantar ke sini dan ke sana. Menyusahkannya. Kenapa justru Louisa tidak meminta itu? Malah minta diturunkan di sini? Ia melihat Louisa yang masuk kedalam taksi dan taksi itu menjauh darinya. “Bukan urusan lo. Biarin aja dia mau ke mana,” ucap Diego dalam hati dan kembali menjalankan mobilnya untuk menjemput Maminya di rumah sakit. Shit! Diego akan ditanyakan ke mana Louisa dan ia tidak tau ke mana wanita itu pergi. Ia pasti akan kena omel maminya. “b******k! Jangan-jangan Louisa sengaja melakukan ini,” umpatnya sambil memukul kemudi. ♥♥♥  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD