Bab 3. Perangkap Samudra

1775 Words
“Ya, Tuhan. Cobaan apa lagi ini?” tanya Kyara dalam hati. Tapi sebisa mungkin Kyara kuat kemudian kembali bertanya untuk memastikan. “Apa ayah saya baik-baik saja, Mbak? Bagaimana keadaannya sekarang?” “Lebih baik Anda datang ke rumah sakit lebih dulu, nanti akan kami jelaskan semuanya di sini.” “Ba—baik, Mbak. Saya akan segera datang ke sana, terima kasih atas informasinya!” *** Musibah datang silih berganti. Bertubi-tubi tanpa kenal waktu. Belum sembuh luka Kyara atas kematian Indah, sekarang Kyara mendapat kabar buruk mengenai ayahnya. Mendapat kabar buruk di malam hari membuat Kyara terpaksa membangunkan adiknya yang baru tidur untuk ikut ke rumah sakit karena dia tidak tenang jika harus meninggalkan Sasya sendirian di rumah. Tanpa bersiap-siap, keduanya langsung bergegas pergi ke rumah sakit. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya Kyara dan Sasya tiba di Rumah Sakit Sentra Medika. Keduanya setengah berlari saat memasuki lobi dan langsung menghampiri meja resepsionis. “Permisi, Sus. Pasien atas nama bapak Anton Bambang Putra ada di mana, ya?” tanya Kyara dengan napas yang tak beraturan. “Oh, bapak Anton yang merupakan korban penusukan itu, ya. Pasien ada di ruang melati no 22, Mbak,” jawab petugas resepsionis membuat hati Kyara semakin berdegup kencang. “Terima kasih, Sus." Kedua kakak beradik itu pun langsung berlari meninggalkan meja resepsionis. Mencari ruangan yang dimaksud. Cukup lama mereka berputar-putar hingga akhirnya menemukan ruangan yang mereka cari. Seketika Kyara menitikan air mata melihat ayahnya terbaring lemah di atas brankar, lengkap dengan alat yang menempel di tubuhnya “Dengan Nona Kyara?” tanya seorang dokter saat melihat seorang gadis datang. “Ya, Dokter. Saya Kyara, anaknya pak Anton.” “Bisa kita bicara sebentar? Ada hal penting yang ingin saya sampaikan pada Anda.” Dengan sedikit ragu dan gugup Kyara menjawab, “Bi—bisa, Dok." “Sebaiknya kita bicara di ruangan saya saja ya. Mari ikut dengan saya!” ajak dokter itu yang langsung diangguki oleh Kyara. “Sasya, kamu jaga ayah sebentar ya, Kakak mau ikut sama dokter dulu sebentar!” bisik Kyara yang segera diiyakan oleh sang adik. Kemudian wanita itu pergi mengikuti dokter ke ruangannya. Kini Kyara sudah tiba di ruang dokter, hatinya cemas dan tidak tenang. Apalagi saat melihat ekspresi dokter tersebut. “Ada apa ya, Dok?” tanya Kyara saat tak mampu menahan rasa penasarannya lagi. “Begini, Nona. Pasien mengalami pendarahan hebat. Jaringan penting di dalam perutnya mengalami gangguan akibat penusukan itu. Harus segera dilakukan operasi jika kita tidak ingin kehilangan nyawanya.” “Apa, Dok? Operasi” tanya Kyara, syok. “Ya, Nona. Dan kita hanya mempunyai waktu 6 jam dari sekarang.” “6 Jam?” "Apa ini? Enam jam itu waktu yang sedikit. Apa yang harus aku lakukan?" batin Kyara mulai kebingungan. Bukan soal operasi yang membuat Kyara bingung, karena Kyara pasti setuju dokter itu melakukan apa pun asal ayahnya bisa selamat. Namun, perihal biaya yang Kyara pikirkan. Apalagi orang-orang yang menolong Anton membawanya ke rumah sakit swasta yang besar di kota ini. “Kira-kira berapa biaya operasi ayah saya, Dok?” tanya Kyara cemas. Kyara tidak yakin bisa mengizinkan dokter mengoperasi ayahnya sedangkan dia tidak memiliki uang. “Untuk biayanya, silahkan Anda tanya langsung pada bagian administrasi, Nona.” “Baiklah kalau begitu. Terima kasih, Dok,” jawab Kyara terdengar lesu, lalu dia beranjak dari tempat duduknya hendak keluar.. Namun, ucapan dokter selanjutnya membuat Kyara menghentikan langkah kakinya. “Tolong segera putuskan ya, Nona. Saya khawatir pasien tidak bisa bertahan lama dan malah lebih cepat dari yang saya prediksikan." Kyara hanya mengangguk pelan kemudian dengan langkah berat keluar menuju bagian administrasi. “Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya petugas administrasi saat Kyara tidak mengatakan apa pun. “Hmm begini, Sus, saya mau tanya soal biaya operasi ayah saya atas nama Anton Bambang Putra berapa ya, Sus?” “Bapak Anton Bambang Putra, sebentar ya Nona, saya cek dulu.” Petugas administrasi itu menjawab sambil menggerakan jarinya dan menatap layar monitor. “Ini Nona, rincian biaya pengobatan dan biaya operasi pasien.” Wanita berkemeja putih itu memberikan secarik kertas. Dengan cepat Kyara pun menerima dan langsung membacanya. “Apa? 100 juta, Sus?” tanya Kyara setengah berteriak. Tenggorokannya seperti kembali tercekik. “Betul, Nona. Belum termasuk biaya konsultasi yang Anda lakukan.” Tubuh Kyara seketika lemas. “Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu?” lirih Kyara menatap lesu kertas yang ada di hadapannya. Memikirkan ketidakmungkinan operasi itu dilakukan. Namun, ucapan dokter kembali menghantam kepalanya. Dengan langkah lunglai Kyara kembali ke rumah kontrakan, dia tidak tahu ke mana harus mencari uang sebanyak itu dalam waktu 6 jam. Jika dia menjual seluruh barang berharganya pun itu percuma saja, hanya akan menambah nominal kecil di belakangnya. Dalam diam, Kyara kembali menangis. Ujian hidupnya terlalu berat bagi dia yang lemah. Tapi tak lama kemudian netranya tertuju pada rumah besar berwarna pink. Rumah pemilik kontrakan yang dia tinggali. Tanpa berpikir panjang Kyara langsung menghampiri rumah itu dan mengetuknya. “Assalamualaikum!” Takut-takut Kyara menyahut dan mengetuk pintu itu lagi. Hingga tak lama kemudian seorang wanita keluar. “Ada apa?!” hardik Lela, sang pemilik kontrakan yang membuat nyali Kyara langsung menciut. “Hm, begini Bu. Saya ma—" “Oh, kamu mau bayar tunggakanmu, ya? Baguslah! Cepat berikan uangnya!” Tanpa menunggu jawaban dari Kyara, wanita itu sibuk membuka buku catatan yang selalu ia bawa. “Untung kamu bayar sekarang, baru aja saya mau usir kamu dari kontrakan. Masih banyak yang mau ngontrak di tempat saya, kamu tau!” hardiknya lagi. Seketika Kyara meneguk salivanya bulat-bulat. “Maaf Bu, maksud kedatangan Kyara ke sini bukan mau bayar kontrakan,” jawab Kyara dengan suara parau. “Hah? Apa maksudmu?” “Maksud kedatangan Kyara ke sini, Kyara mau pinjam uang untuk pengobatan ayah yang sekarang lagi di rumah sakit, Bu. Ayah Kyara jadi korban penusukan orang nggak dikenal, Bu, dan dokter bilang kalau ayah harus segera dioperasi." Kyara pun akhirnya memberanikan diri untuk bercerita. “Apa? Ayahmu yang suka luntang-lantung nggak jelas itu ditusuk orang nggak dikenal?” cibirnya membuat Kyara menunduk. “Baiklah, akan saya beri kamu pinjaman, tapi dengan bunga 25% bagaimana?” “Apa? 25%, Bu?” “Iya! Kalau nggak mau ya sudah!” Lela pun memutar tubuhnya dan hendak menutup pintu. “Baik, Bu. Kyara setuju, Bu.” “Bagus! Berapa uang yang mau kamu pinjam?” “100 juta, Bu.” “Apa? 100 juta?” teriak Lela dengan mata yang hampir keluar. “Kamu gila, ya! Uang sebanyak itu gimana kamu bisa bayarnya? Tagihan kontrakan kamu aja belum dibayar. Nggak, nggak! Saya nggak akan kasih uang saya begitu aja ke kamu. Udahlah, mending sana kamu pergi!” usir Lela dan langsung menutup pintu dengan keras. “Bilang aja nggak punya uang, huh!” gerutu Kyara kesal. Kyara kembali mencari pinjaman kepada setiap orang yang dikenalnya, tapi semua menolak dengan alasan tidak ada jaminan. Di tengah gelapnya malam Kyara membiarkan tubuhnya terguyur hujan. Memanipulasi tangisnya dengan air hujan yang begitu deras. Kyara lelah, Kyara sangat lelah dengan kehidupanya yang begitu menyedihkan ini. Beberapa saat kemudian suara klakson terdengar nyaring dilanjut dengan teriakan Kyara. “Bodoh! Kalau mau mati jangan bunuh diri di tengah jalan, Bego!” maki si pengendara mobil pada Kyara, kemudia kembali menancap gas. Makian demi makian sudah biasa Kyara dengar. Hatinya sudah kebal dengan ucapan-ucapan seperti itu, apalagi dengan fisik. Dia sudah gagah mengahadapinya. Semua orang memang tidak menyukainya sejak dulu, bahkan membencinya. “Benci? Ah aku jadi ingat Samudra. Pria itu sangat membenciku karena kematian istrinya. Padahal aku juga sangat bersedih atas kematian sahabatku,” gumam Kyara dengan tawa menakutkan. Mengingat nama Samudra membuat Kyara teringat sesuatu. Pria kaya dan kejam itu memiliki banyak uang. Haruskah dia menemui Samudra dan meminjam uang padanya? Tapi Kyara rasa itu mustahil, Samudra tidak mungkin memberikan pinjaman padanya. Mengingat pria itu sangatlah membencinya. “Demi ayah, Kyara! Nggak ada salahnya mencoba, kan?” Bisik-bisik Kyara lain mengatakan. Dan, tanpa berpikir panjang Kyara mempercepat langkah kakinya kemudian menyelinap masuk ke dalam rumah elit milik keluarga Bagaskara. Seorang satpam menyeret Kyara ketika menemukannya masuk mengendap-ngendap ke dalam rumah majikannya. “Ada apa ini?” Suara tegas dan dingin menghentikan gerakan satpam yang tengah menyeret paksa tubuh mungil Kyara. Kyara menoleh membuat Samudra berdecih kesal saat menatapnya. “Kamu? Cih!” Samudra berbalik dan langsung melangkah pergi. Namun, Kyara dengan cepat berlari dan memeluk kakinya. “Tuan! Kumohon, tolong bantu aku!" “Lepas!” “Tidak! Tuan, kumohon bantu aku, ayahku sedang kritis di rumah sakit. Dia harus segera dioperasi supaya nyawanya bisa diselamatkan.” “Biarkan saja dia mati.” Samudra langsung menarik kakinya dengan kuat, tetapi Kyara semakin kuat lagi memeluknya. “Aku mohon, Tuan, aku akan lakukan apa pun asal Tuan mau memberikan pinjaman uang 100 juta untuk pengobatan ayahku.” “Ck, aku bisa lakukan apa pun padamu tanpa harus memberikan uang itu,” jawab Samudra jengah. Samudra bahkan bisa saja membunuh Kyara saat ini juga jika dia mau, sayang saja agama melarangnya. “Tuan, kumohon! Aku janji, aku janji akan lakukan apa pun untukmu. Aku terima jika kamu mau membunuhku sebagai imbalannya.” Kyara yang sudah putus asa tanpa sadar mengatakan hal itu. Baginya nyawa sang ayah adalah yang terpenting saat ini. Samudra terdiam, membiarkan Kyara menangis dan mengotori kakinya. Pria itu diam-diam mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mengirim pesan pada salah satu ART kepercayaannya untuk mengambilkan sesuatu di kamarnya. Tak lama kemudian Samudra menandatangani selembar cek yang bertuliskan uang seratus juta rupiah yang diberikan oleh ART tadi. “Ambil itu dan pergi dari sini!” usir Samudra sambil melempar cek itu tepat ke wajah Kyara. Kyara tertegun, menatap wajah dari suami sahabatnya itu penuh rasa tidak percaya. Pria itu benar-benar memberikan pinjaman uang yang dibutuhkannya? Padahal dia sudah sangat bersalah padanya. “Tuan, kamu benar-benar memberikan pinjaman uang 100 juta padaku?” tanya Kyara dengan suara terbata, dia tidak menyangka Samudra akan sebaik itu. “Tidak semudah itu. Kamu harus menikah denganku sebagai jaminannya! Bukan sebagai istri, melainkan b***k hina dari seorang Samudra Bagaskara!” jawab Samudra dengan tersenyum devil. Kyara tersentak menatap cek tersebut, beralih menatap Samudra yang masih tersenyum sinis. “Itu tidak mungkin, aku hanya akan menikah atas dasar cinta," bantah Kyara dalam hati. Merasa ragu dengan tawaran yang diajukan Samudra. Namun, pikirannya kembali teringat akan kondisi ayahnya hingga gadis itu pun akhirnya tak punya pilihan lain. “Baiklah, Tuan,” jawab Kyara tanpa pikir panjang. Meraih cek tersebut dari permukaan lantai dan pergi dari sana. Melihat Kyara pergi tanpa pamit membuat Samudra berdecih, kemudian tersenyum sinis seraya membayangkan sesuatu. “Kamu sudah masuk ke dalam perangkapku, wanita pembunuh! Jangan harap kamu bisa lepas dariku!" Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD