Bab 2. Kebencian

1476 Words
Setumpuk pertanyaan dari para peziarah tidak ada yang berani keluar. Tentang apa yang sebenarnya terjadi, juga siapa pelakunya, tidak ada satupun yang berani buka suara walau sorot mata mereka dipenuhi rasa penasaran. Samudra masih terdiam di posisinya, bahkan hingga para peziarah mulai pergi meninggalkan makam istrinya satu persatu. Dan, kini hanya tinggal Samudra, Lita, Arya, dan Alexa yang masih berada di sana. “Ayo kita pulang, Sam!” ajak Arya sambil menepuk pundak keponakannya dengan lembut. “Biarkan Indah tenang di sana,” lanjutnya. Samudra hanya diam, tidak menjawab sepatah kata pun, bahkan dia tidak sanggup bicara melihat gundukan merah istri kecilnya. Kecupan itu, senyuman itu. Mana dia tahu itu adalah yang terakhir untuknya. Andai saja Samudra tahu Indah akan pergi, akan ia kurung istri kecilnya itu. Tidak ijinkannya ke mana pun. “Sam!" “Paman duluan saja, aku masih mau di sini!" Dengan berat Samudra menggerakkan lidahnya, menjawab dengan lirih, dan tatapannya tampak kosong. Wajahnya datar tanpa ekspresi menatap pusara istri tercintanya. “Tidak, Sam. Kamu juga harus istirahat." Baru saja Samudra hendak menjawab, seorang wanita tiba-tiba datang melewatinya, bersimpuh di depan makam istrinya dan menangis di sana. “Ndah! Kenapa semua ini terjadi padamu. Kenapa kamu nolongin aku, kenapa juga kamu ninggalin aku dengan cepat. Ndah, tolong maafin aku. Maaf karena kelalaianku kamu harus berakhir seperti ini. Aku masih nggak percaya kamu harus pergi secepat ini …." parau Kyara dengan suara terisak-isak. Sebenarnya ia sudah ada di pemakaman sejak tadi. Namun, para bodyguard Samudra menghalanginya, sampai akhirnya Kyara memberontak dan berhasil lepas. Kyara pun langsung berlari, dan berhasil tiba di peristirahatan terakhir sahabatnya saat ini. “Pembunuh! Mau apa kamu datang ke sini? Pergi kamu! Aku tidak sudi cucu mantuku di ziarahi pembunuh sepertimu!” bentak Lita dengan tatapan penuh kebencian. Semua hanya diam, tidak ada yang menimpal. Sedang Kyara mendongak, menatap wanita paruh baya yang duduk di kursi roda itu memakinya. Tak elak di sampingnya, seorang pria diam tanpa ekspresi. Tatapan lurusnya yang kosong berubah tajam, kilatan benci dan amarah menjadi satu. Tangannya mengepal, rahangnya juga tercekat kuat. Seperti ada bom besar yang hampir meledak. Kyara bisa melihat dengan jelas hal itu. Kyara menghampirinya dan bersimpuh. “Tuan, maafkan aku. Tolong maafkan kesalahanku,” lirih Kyara memohon ampun. Dia sangat merasa bersalah pada pria yang berada di hadapannya. Tetapi, semua yang telah terjadi bukanlah keinginannya. “Kumohon maafkan aku. Aku sungguh tidak tahu kalau kelalaianku akan membuat istrimu mening-." “CUKUP!” bentak Samudra sampai membuat Kyara terlonjak kaget. Samudra tak kuasa mendengarnya. Penjelasan itu hanya menambah luka di hatinya, memutar kembali adegan naas yang menusuk matanya. Jika istrinya meninggal dengan cara baik, mungkin Samudra akan menerima meski tetap bersedih. Tetapi Indah meninggal dengan cara yang begitu mengenaskan, hal itu sungguh membuat Samudra tak terima, kilat amarah dan kebencian pun dia lontarkan pada gadis cupu itu. “Sebanyak apa pun kamu minta maaf, itu tidak akan mengembalikan istriku!” ujar Samudra dengan suara bergetar. Menatap gundukan merah di depannya dengan desiran darah yang kuat. “Tapi Tuan, aku benar-benar nggak menyangka hal ini akan terjadi,” lirih Kyara dengan suara tercekat. “Hentikan! Aku tidak peduli apa pun yang kamu ucapkan, wanita pembawa sial! Tapi aku pastikan kamu akan membusuk di penjara!” Samudra pun langsung memutar tubuhnya dan bergegas pergi. Kini giliran Lita yang menatap benci pada Kyara. “Dasar pembunuh!” makinya. “Sudahlah. Ayo Oma, lebih baik kita pergi dari sini!” sahut Alexa kemudian mendorong kursi roda Lita dengan hati-hati diikuti oleh Arya di belakangnya. *** Satu minggu kemudian. Setelah melakukan pengajuan tuntutan pada Kyara enam hari yang lalu. Samudra dan pengacaranya sudah bersiap mendengar putusan Jaksa dalam kasusnya. Tidak ada toleransi apa pun bagi Samudra dalam hal ini. Samudra ingin Kyara menderita di dalam penjara selama seumur hidupnya. Karena baginya, nyawa harus dibayar dengan nyawa. Yaitu nyawa Kyara yang harus mati di penjara. “Silakan untuk pihak Saudara Samudra Bagaskara memberikan bukti terakhir atas tuntutannya!” ujar sang Jaksa mempersilakan. Pengacara Samudra pun maju dan memberikan lembar-lembar foto tubuh Indah yang sudah tidak terbentuk. Sangat menyayat hati setiap kali Samudra melihatnya. “Silakan untuk pihak Saudara Kyara Cinta memberikan bukti terakhir untuk pembelaannya!” Suara itu kembali terdengar. Tidak ada yang maju, semua berbisik menggunjing Kyara yang tidak memiliki bukti pembelaan. Namun tak lama kemudian, seorang pria bertubuh atletis melangkah maju sambil membawa sebuah rekaman CCTV. Memutarnya di depan semua yang hadir. Video awal kejadian hingga akhir yang dia muat di dalamnya membuat Samudra membuang pandangan karena tak tega. Dia semakin mengepal, ambisi memenjarakan Kyara juga semakin tinggi. Semua terdiam tatkala sang jaksa berdiskusi akhir di depan mereka. Hingga akhirnya seorang pria berbaju hitam angkat bicara. “Berdasarkan semua bukti-bukti yang ada, dengan ini saya putuskan … saudara Kyara Cinta, bebas dari tuntutan!” ujar hakim ketua dengan jelas dan padat membuat semua orang yang hadir saling tatap. Suara putusan dari sang hakim terdengar begitu panas di telinga Samudra. "Bagaimana bisa gadis cupu itu menang di persidangan hanya dengan pengacara murahan? Jelas-jelas istriku meninggal karena menolong gadis cupu sialan itu! Dan, dia bisa bebas tanpa syarat? Ini tidak bisa dibiarkan!" batin Samudra dengan amarah yang begitu membuncah. “Tidak! Ini tidak adil. Bagaimana bisa Anda membebaskan gadis cupu itu dalam kasus ini? Jelas-jelas dia yang sudah membunuh istriku!” teriak Samudra penuh emosi. Menunjuk Kyara penuh benci. Tidak ikhlas, sedetik pun Samudra tidak ikhlas jika gadis cupu itu bebas, apalagi sampai merasa bahagia akan kebebasannya. Sementara Kyara menangis pilu, kata tiap kata yang keluar dari mulut Samudra sungguh menyayat hatinya. Bukan keinginannya ini semua terjadi. Kyara sangat menyayangi Indah dan dia pun marah pada dirinya sendiri hingga detik ini. “Maaf, Tuan Samudra. Namun, bukti sudah jelas menunjukkan bahwa istri Anda sendiri yang memilih untuk menolong Saudara Kyara. Merelakan keselamatan nyawanya untuk menyelamatkan Saudara Kyara,” tutur hakim tegas dan ketuk palu pun akhirnya dilakukan. “Argh!” umpat Samudra yang benar-benar murka. Kilatan kebencian semakin menggunung pada Kyara. Menghampiri wanita itu dan menatapnya tajam. “Akan kupastikan kamu tidak akan hidup dengan damai!” ancam Samudra dingin, kemudian melenggang pergi dari sana. *** Menang dari sidang bukanlah keinginan Kyara, tapi dipenjara seumur hidup juga bukanlah pilihan yang tepat. Bukan Kyara tidak ingin mempertanggungjawabkan semua kesalahannya, tapi wanita itu harus tetap berjuang untuk menghidupi adiknya. Tidak ada yang berubah setelah kepergian sahabatnya. Kyara malah semakin terpuruk dan lebih menutup diri dari semua orang. Menjauhkan dirinya yang pembawa sial dari orang lain. Kyara tidak ingin orang lain terkena sial lagi gara-gara dirinya. Cukup kejadian Indah menjadi alasan kuat penutupan dirinya. “Kakak!” teriakan kecil membuyarkan lamunan Kyara. Anak perempuan berusia 15 tahun itu adalah teman satu-satunya bagi Kyara, juga merupakan semangat hidupnya. Jika saja tidak ada anak perempuan itu, mungkin Kyara sudah mengakhiri hidupnya sejak kejadian waktu itu. “Kakak!” panggilnya lagi seraya merengek. “Ada apa? Kenapa kamu menangis?” Setelah memeluk tubuh mungil adiknya, Kyara mengusap pipi anak perempuan itu dengan penuh kasih sayang. “Aku nggak diijinin sekolah lagi. Mereka bilang nggak mau punya anak didik dari adik seorang pembunuh sepertiku,” adunya dengan air mata yang sudah menetes. “Sasya, siapa yang bilang begitu?” tanya Kyara seraya meraup wajah adiknya dengan gemetar. Tega sekali orang itu mengeluarkan kata-kata menyakitkan seperti itu pada adiknya. “Pak Samudra, Kak. Dia bilang kalau aku nggak pantes sekolah di sana," jawabnya kembali menangis. Kyara langsung terjatuh lemas. Suami dari sahabatnya itu keterlaluan. Bukankah dengan memblacklist jaringan pekerjaannya itu sudah lebih dari cukup? Kyara sudah begitu tersiksa akan hal itu. Dan, kini Samudra juga melakukan hal kejam pada adiknya. “Yasudah ngga papa, nanti kamu belajar bareng kakak aja, ya, Sya!” Kyara berusaha setegar mungkin saat berbicara dengan adiknya. “Baik, Kak.” Kyara kembali memeluk tubuh Syasa erat. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain menerima. Semua orang tahu, Samudra memang orang kaya dan juga terpandang. Bukan hanya dalam bidang bisnis, bahkan dalam bidang pendidikan pria itu juga menguasainya. Seraya menangis Kyara menciumi adiknya, dia merasa sangat bersalah pada sang adik karena harus ikut merasakan penderitaan akibat dendamnya seorang Samudra. *** Pagi yang sejuk sudah berganti malam. Baru saja beberapa menit mata Kyara terpejam, deringan ponsel membangunkannya. Dengan cepat Kyara bangun dan menerima panggilan tersebut. Berharap jika nomor yang menghubunginya itu adalah panggilan kerja. “Halo selamat malam, dengan keluarga bapak Anton Bambang Putra?” tanya seorang wanita dari seberang telepon. Mendengar nama sang ayah disebut, hati Kyara tak tenang. Anton memang jarang pulang ke rumah dan ini sudah seminggu lamanya sang ayah tidak pulang sejak keberangkatannya. “Ya, saya anaknya. Ada apa ya, Mbak?” “Ayah Anda mengalami kecelakan. Seseorang tidak dikenal menusuk korban di bagian perut. Para warga membawanya ke sini dan sekarang pak Anton ada di Rumah Sakit Sentra Medika. Diharapkan keluarga korban untuk segera datang,” tutur wanita itu dengan penuh penuh ketenangan. “Apa, Mbak? Ayah saya tertusuk?” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD