Bab 17. Pilihan.

1030 Words
Kyara tidak langsung menjawab. Ia diam menatap semua orang yang menatapnya dengan tajam. Kemudian menatap suaminya yang masih terbaring dengan lemah. Tak lama, gerakan Kyara selanjutnya membuat Aron membulatkan mata. Gadis itu berjalan menuju Brangkar dimana Samudra terbaring. "Kyara?" Aron menatap gadis itu sendu. "Ia lebih memilih pria b******k yang jelas-jelas sudah menyiksanya daripada aku yang jelas-jelas mau menolongnya?" "Maafkan aku, Aron. Tapi aku tidak akan pernah meninggalkan suamiku," jawabnya membuat Lita tersenyum sinis. Mau sok jadi pahlawan, tapi dipermalukan. Lita puas sekali melihat hal itu. Sedang Aron menatap gadisnya sendu. "Kyara...." Sekali lagi, Aron berharap Kyara sadar atas semuanya kemudian ikut bersamanya. Tapi tidak, Kyara masih tetap kukuh dengan keputusannya. Malah lebih membuat Aron kecewa dengan lebih mendekati Samudra dan menggenggam tangannya. "Maafkan aku, Aron," ucap Kyara lirih. Kyara sangat merasa bersalah pada Aron. Pria itu sudah sangat baik padanya, ia bahkan menawarkan hidup yang lebih bebas.Tapi suaminya? ia tidak bisa meninggalkannya. "Kyara apa kau yakin?" tanya Aron seraya mendekati gadis itu. Ia berniat menyadarkannya. Namun, semakin Aron mendekat. Semakin Kyara menjauhinya. Dan hal itu membuat hati Aron semakin sakit. "Kyara, dia tidak menghargaimu. Pria itu hanya menganggapmu sebagai babunya!" ucap Aron membuat Kyara langsung diam membeku, kemudian menatap suaminya lekat. Terdengar begitu kejam memang, tapi Kyara bisa apa? Itu memang benar adanya. Samudra hanya menganggapnya sebagai babu, bukan ratu. Kyara berjalan mendekati Aron kemudian tersenyum manis pada pria itu. Ck! Sedang Aron berdecih. Ia tahu, Kyara hanya pura-pura tersenyum. "Kau memang benar, temanku! Tapi gelar paling tinggi apalagi untuk sang istri jika bukan itu? Bukankah seorang istri memang hanya menjadi babu untuk suaminya? Babu rumah tangga dan juga keluarganya. Aku menerima itu, Aron," jelas Kyara panjang lebar. Aron maupun Sasya terdiam. Apa yang diucapkan Kyara memanglah ada benarnya. Tapi entah kenapa mereka benci sekali mendengar itu. Aron hendak kembali bicara, tapi segera di tahan oleh Sasya. Mau tak mau membuat Aron kembali diam kemudian menghembuskan nafas kasar. "Baiklah kalau memang itu pilihanmu." Dengan rasa penuh kecewa, Aron memandang kyara dan samudra sebentar kemudian pergi dari sana. Sasya lari menyusul pria itu, hendak menghiburnya, mungkin. "Bapak, tunggu!" teriaknya tapi tak dihiraukan. Melewati koridor rumah sakit hingga taman, Sasya terus berlari mengejar pria itu. Takut bunuh diri. "Siapa sangka, kan! Orang sekarang kan banyak yang sakit jiwa karena cinta," gumam Sasya seraya nyengir kuda. "Kamu mengata-ngatai saya!" Orang yang sejak tadi Sasya kejar ternyata mendengarkan. Sasya bahkan menubruk punggung pria itu karena tak fokus. "Eh ngga-ngga bapak. Orang Sasya lagi ngomongin diri sendiri ko," jawab Sasya masih dengan nyengir kuda. Aron berdecih sebentar kemudian kembali melanjutkan jalan hingga kakinya tiba di sebuah restoran besar yang berada tepat di depan rumah sakit. "Sasya kira Bapak mau bunuh diri." Ceplos Sasya tanpa pikir. Aron menoleh ke belakang kemudian menatap gadis yang ternyata mengikutinya itu dengan tajam. "Kamu fikir saya gila?" "He he, ngga ko, Pak, ngga." Ikut duduk di kursi kemudian mengeluarkan ponselnya dan bermain di sana. Mata Aron melirik sebentar, gadis ini sangat mirip dengan Kyara. Hanya berbeda sedikit. Gadis ini lebih dominan lincah dan centil. Namun, Aron terdiam sebentar, dia teringat sesuatu. "Ngapain kamu di sini?" "Ngikutin bapak! Eh, ngga. Sasya laper lah, mau makan!" Mata Aron bertaut. Kemudian menatap rok abu-abu gadis itu dengan tersenyum smirk. "Oh, yasudah kalau gitu kamu traktir saya sekalian." "Oke! Siapa takut!" Sasya terdiam sebentar, kemudian menatap Aron yang kini tersenyum lebar. "Eh, ngga-ngga. Bapak kan kerja, jadi bayar aja sendiri," ucap Sasya seraya membolak balikkan menu makanan. ia hampir tersedak melihat daftar harga yang ada di resto ini. Bagaimana tidak, harga satu piring makanan di sini bisa menghabiskan jatah jajannya selama satu bulan. "Ucapan yang sudah keluar tidak bisa di tarik lagi." Dengan gerakan cool, Aron memanggil seorang pelayan dan memesan makanan paling mahal. Sasya membulatkan mata. "Duit darimana gue bayar semua makanan itu. Lagian tu makanan atau emas, sih. Mahal bener!" gumam Sasya menggrutu. "Ngga, ngga. Pelayan ngga jadi!" Sasya mencoba menghentikan. "Jadi!" Aron membariton, membuat pelayan tadi bingung. "Saya bilang jadi ya jadi, apa kamu mau saya komplain karena pelayanan di sini kurang profesional?" ancam Aron langsung membuat sang pelayan itu ketakutan dan pergi. Sementara wajah Sasya mengerut sedih. Habis sudah uangnya. Niat mau bantu malah jadi buntu. Padahal sengaja Sasya tabung uangnya untuk membeli laptop. Tapi kini, hancur sudah impiannya untuk membrli barang impiannya itu. "Jangan lupa bayar, ya. Saya tidak suka orang pembohong," sindir Aron seraya mengeluarkan ponselnya. Sasya menghembuskan nafas kasar melihat ponsel Aron yang mahalnya kebangetan, i phone keluaran terbaru. Sedang, dia hanya pakai hape samsung itupun masih ram 3. "Huhft!" "Kenapa? Kamu tidak ikhlas?" tanya Aron dengan nada berat. Sasya hanya menggeleng kemudian meneguk air putih yang ada di depannya. "Ngga! Sasya ikhlas kok kasih makan orang kaya!" "APA MAKSUDMU?" "Ngga ada. Burung perkutut lewat tadi," jawab Sasya malas. Tak lama makanan yang Aron pesan sudah tiba, karena lapar tanpa basa basi pria itu langsung melahapnya. Sementara Sasya? Ia sama sekali tidak menyentuhnya. Melihat harga makanan itu membuat Sasya langsung kenyang. "Kamu ngga makan?" "Ngga laper!" "Katanya tadi lapar." Pura-pura tidak mengerti. Sasya tidak menjawab, malas. Hanya menatap atmnya sendu. "Wahai atm yang telah ku jaga selama ini, maafkan aku ya. Kita harus berpisah di sini hari ini," gumam sasya dalam hati. Sementara Aron yang melihat itu sedikit tertawa, tingkah Sasya yang berkumat-kumat entah ngomong apa membuatnya sedikit terhibur. "Makanlah, saya tidak sekejam itu menyuruh siswi miskin sepertimu membayar makanan saya," ucap Aron membuat bibir Sasya langsung merekah. Mendengar itu Sasya senang bercampur kesal. Apa tadi katanya? Siswi miskin? Cih! Dasar sok kaya! "Saya memang kaya, kamu tidak lihat fashion yang saya pakai?" Seperti tahu apa yang Sasya ucapkan dalam hatinya, Aron berkata demikian. Sasya memajukan bibir meng iyehkan. Memang benar barang-barang yang di pakai pria itu mahal, tapi tidak seharusnya sombong juga, kan? Tidak peduli dan lebih mementingkan perutnya. Sasya mulai mengambil beberapa menu makanan kemudian melahapnya. Namun baru saja makanan itu ia gigit, ucapan Aron selanjutnya membuat Sasya tersedak. "Itu ngga gratis. Kamu harus bersedia nikah sama saya sebagai bayarannya!" ucap Aron membuat Sasya berteriak. "Ngga!" Sementara di rumah sakit Setelah kepergian Aron dan Sasya, Lita langsung menyerang Kyara dan kembali menyiksanya. Sekalian ia luapkan kekesalannya pada Kyara atas kesakitan kesakitan cucunya. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD