Memulai Sandiwara

1195 Words
"Aku dimana? Kenapa indah sekali di sini?" lirih wanita dengan tubuh yang masih lemah terbaring di ranjang mewah itu. Sepasang mata jernih dengan bulu lentiknya berkedip beberapa kali. Di luar sana masih gelap karena jarum jam masih berada di angka empat dini hari. Wanita itu berusaha keras menggerakkan kepalanya yang masih tersasa berat dan sakit ke arah samping kirinya tapi tak ada apa-apa di sana hanya pantulan dirinya di cermin besar itu yang terlihat, sekali lagi ia melakukan hal yang sama ke arah yang berbeda dan ia pun melihat sosok pria tampan yang tengah terlelap dengan wajah tenang menenangkannya. "Siapa dia? Apa dia seorang pangeran di negeri dongeng." Gumam wanita itu lagi yang kini berusaha menggerakkan tangannya untuk meraih tangan sang pangeran yang berjarak hanya beberapa centi meter darinya itu. "Kenapa berat sekali rasanya hanya ingin menggerakkan tangan saja." Gerutunya dengan wajah sedikit kecewa. "Apa pria itu yang menolongku?" lanjutnya lagi. Ternyata suara lirihnya itu terdengar oleh Raja Adhees yang membuat pria tampan dengan hidup mancung dan bagian dagu yang indah itu terbangun. Adhees dengan cepat menggenggam tangan wanita yang ia beri nama Barsya itu. Dan sebelah tangannya lagi berada di pucuk kepala wanita cantik itu. "Kamu sudah bangun ratu ku? Apa yang kamu rasakan sekarang? Ada yang sakit?" tanya Adhees dengan wajah khawatirnya seolah ia telah mengenal lama wanita itu. Barsya hanya menatap wajah yang kini tepat berada di atas wajahnya itu dengan penuh kebingungan. "Ratu?" ucap Barsya seraya menggerakkan bola matanya ke kiri dan ke kanan. Sejak kapan aku menjadi seorang ratu. Sepertinya pria ini sedikit gila. Batin Barsya. "Ya sayang kamu adalah ratu ku. Ratu kerajaan Pierre." Adhees pun akhirnya tersenyum lega. Senyum sang pangeran sesungguhnya yang membuat hati para gadis luluh lantah ketika melihatnya. Sepertinya dia mengira jika aku ini hilang ingatan. Gumam Barsya dalam hati seraya menatap lekat wajah di hadapannya. Tapi mengingat luka dan benturan keras di kepala memang sudah seharusnya ia mengalami amnesia bukan, tapi tidak semudah itu dengan Mayor Barsya. "Memangnya kamu siapa dan ada hubungan apa kamu dengan ku?" Barsya masih menatap bingung. Sebaiknya aku ikuti saja permainan pria ini, agar aku bisa segera keluar dari tempat ini. Batin Barsya. "Tentu kamu adalah ratu ku satu-satunya di istana ini dan wanita yang sangat aku cintai." Ucap Adhees dengan tegas dan lantangnya. Kali ini ia memulai sandiwara dan kebohongannya hanya karena jatuh cinta pada seorang wanita. "Jadi ini benar-benar di istana dan kamu adalah seorang pangeran?" Lirih Barsya masih dengan wajah bingungnya yang begitu polos. Adhees tertawa kecil bukan karena ada hal lucu melainkan karena ia tengah dalam perasaan bahagia melihat wanita nya itu. "Aku tidak hanya seorang pangeran sayang, tapi aku adalah raja di negeri ini." Ucap Adhees dengan rasa bangga dan percaya dirinya. "Benarkah?" Barsya masih tak percaya. "Tentu saja, sekarang kamu beritahu aku apa yang kamu rasakan. Dibagian mana yang terasa sakit?" tanya Adhees sekali lagi. "Kepala ku terasa sangat sakit dan tubuh ku masih terasa kaku untuk di gerakkan." Ucap Barsya masih dengan suara lirihnya. "Apa aku harus memanggilkan dokter sekarang?" tanya Adhees memastikan. "Biarkan seperti ini saja dulu, tapi apa kamu bersungguh-sungguh dengan apa yang kamu ucapkan tadi?" tanya Barsya yang masih ragu. "Tentu saja cantik, aku berani bersumpah kalau aku adalah seorang raja. Kalau begitu kamu minum vitamin dulu ya biar aku siapkan." Baru saja Adhees akan beranjak dari tempat tidur itu namun wanita lemah itu menahannya. "Kamu tidak sedang membohongi ku kan?" Aku tidak melihat ada orang lain di sini selain kita berdua." Barsya masih curiga. "Tentu saja aku tidak berbohong, memang hanya ada kita berdua di sini karena ini adalah kamar pribadi ku. Aku tidak membiarkan sembarang orang berada di sini sekalipun itu adalah pengawal istana. Karena aku saja sudah cukup untuk melindungi mu." Tegas Adhees meyakinkan, "sekarang kamu istirahat saja, jangan terlalu banyak berpikir dulu karena itu akan berpengaruh pada kondisi mu nanti. Semakin kamu berpikir maka kepala mu itu akan terasa semakin sakit sayang." Lanjutnya lagi yang kini sudah beranjak meninggalkan tempatnya, mengambil segelas air dan juga obat yang sudah di berikan oleh dokter istana. Apa yang di katakan Adhees memang benar, semakin Barsya berusaha untuk mengingat dan berpikir tentang dirinya dan ucapan pria di sampingnya itu kepalanya akan semakin terasa nyeri. Tapi sungguh wanita itu masih memiliki banyak pertanyaan tentang dirinya dan pria yang menyebut dirinya sebagai seorang raja itu. "Bisa kah aku bertanya lagi sebelum aku meminum kapsul-kapsul itu?" tanya Barsya ketika Adhees telah kembali dengan dua tangannya yang sibuk memegang nampan berwarna emas berisi segelas air bening dan juga piring kaca kecil berisi beberapa obat di atasnya. "Silahkan asal jangan pertanyaan yang membuat ku sulit untuk menjawab?" Adhees duduk di tepi ranjang di samping Barsya. "Sudah berapa lama aku berbaring di tempat tidur ini dan sekarang sudah pukul berapa? Kenapa terlihat sangat terang di balik gorden itu?" tanya Barsya. Sebelum menjawab pertanyaan wanitanya Adhees meletakkan nampan itu di atas nakas yang tepat berada di samping kepala Barsya. "Apa kamu kuat untuk duduk biar aku bantu untuk bersandar?" Tanya Adhees yang dijawab dengan gelengan pelan. "Baik lah kalau begitu aku akan menambah kan bantal di bawah kepala mu saja?" Adhees yang begitu lembut mulai mengangkat kepala Barsya nya dan lengan kekar satunya lagi meraih bantal. Saat ini posisi tubuh kekar pria itu tepat berada di atas kepala Barsya bahkan nafasnya saja terasa sangat hangat berhembus namun debar jantungnya tak terdengar sama sekali benar-benar tenang. Adhees sungguh bisa menguasai diri di tengah gejolak perasaannya. "Wangi sekali tubuhnya, apa seorang raja seharum ini?" Batin Barsya. "Bagaimana dengan pertanyaan ku?" Barsya mengingat kan setelah Adhees selesai dengan kegiatannya tadi. "Kurang lebih satu minggu sudah kamu berbaring di sini dan sekarang masih dini hari. Pukul empat lebih sepuluh menit. Sekarang minum dulu obatnya." Adhees membantu menyuapkan obat ke mulut Barsya dan dengan patuh wanita itu menbuka mulutnya dan di sang raja tampan itu memberikan minuman pada ratunya. Tapi pria itu tengah kembali membuat kebohongan pada jawabannya tadi. Sesungguhnya Barsya sudah tak sadarkan diri dua Minggu lamanya dan sudah melewati masa kritisnya. Dan selama itu pula Adhees tetap setia menemani dan merawatnya di kamar itu di bantu pelayanan khusus yang ia tunjuk sendiri untuk membantu ketika tubuh Barsya harus di bersihkan. "Terimakasih." Lirih Barsya. "Panggilan apa yang biasa aku gunakan untuk memanggil mu? yang mulia raja? Baginda raja?" Barsya bertanya kembali. "Pertanyaan yang sangat bagus sayang, kamu biasa memanggil ku hanya dengan menyebut nama ku saja. Adhees." Jawab Adhees dengan senyum diwajahnya. "Mana mungkin aku sekurang ajar itu memanggil seorang raja hanya dengan menyebut kan namanya saja." Gumam Barsya. Adhees pun terkekeh mendengar hal itu, "ya kamu memang seorang wanita yang paling berani memanggil seorang raja seperti ku hanya dengan menyebut nama saja. Dan memang hanya kamu yang seperti itu sayang. Tapi aku tak pernah mempermasalahkan hal itu." Begitu lah awal pagi buta itu di buka dengan senyum dan taa kecil sang raja yang tak pernah ia lalui sebelumnya di istana indah itu. Bahkan saking bahagianya Adhees sampai tidak menyadari kehadiran Alfa yang sedari tadi mengintai mereka dari balik pintu besar itu. "Lihat? Sekarang wanita itu bahkan sudah menjadi salah satu kelemahan terbesar mu. Bahkan kehadiran ku saja sampai kau tak sadari saat ini." Gumam Alpha dengan wajah menyeramkannya itu.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD