Setelah menyelesaikan ritual mandinya, Alika malu-malu ketika ia keluar dari kamar mandi hotel, jantungnya terasa bergemuruh kala pandangannya bertemu pada sepasang mata tajam yang tengah mengamatinya dari atas ranjang.
“Kamu sudah selesai?” tanya Bimo yang segera bangkit dari duduk nya, ia berjalan menghampiri sang istri sedangkan Alika hanya bisa menundukkan wajahnya seraya menahan debaran aneh pada jantungnya.
“Udah ... ,” cicit Alika tanpa berani menatap Bimo. Kini Bimo sudah berdiri di hadapan wanita itu.
“Ya sudah, kalau begitu minggir,” ucap Bimo membuat Alika mendongakkan wajahnya untuk menatap suaminya tersebut.
“Ha?” bengong Alika yang membuat Bimo menghela nafasnya.
“Minggir, kamu menghalangi jalan saya,” ucap Bimo seraya menatap ke belakang tubuh Alika.
Alika mengikuti arah tatapan sang suami hingga wajahnya memerah menahan malu kala ia paham bahwa suaminya tersebut ingin masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri, ia terlalu larut dengan kegugupan nya, ia kira Bimo akan meminta hak nya malam ini. Dengan pelan, Alika menepuk kening nya lalu menyingkir dari depan pintu kamar mandi, setelah Bimo memasuki kamar mandi Alika segera menghentakkan kakinya berulang kali menyadari kebodohannya.
“Bego banget sih!” rutuk Alika.
“Ngapain juga aku ngarep mas Bimo bakal-” perkataan Alika terhenti dengan bayangan adegan m***m yang sempat ia pikirkan di kamar mandi tadi.
“Aargggh! m***m banget sih aku jadi cewek!” rutuknya kembali lalu berjalan menuju ranjang, tidak ada sesi bersolek atau mengenakan lingerie sexy malam ini jika mereka menikah bukan karna cinta.
Sesaat sebelum ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang, ia menatap ranjang tersebut, ranjang yang satu jam lalu ia tinggalkan masih tertaburi ratusan kelopak mawar merah asli membentuk lambang cinta kini ranjang itu sudah bersih seperti ranjang hotel pada umumnya dan Alika tahu siapa pelakunya, ia menatap nanar pada ratusan kelopak mawar yang jatuh di sisi kaki ranjang, bahkan ketika ia keluar dari dalam kamar mandi tadi ia sudah tidak melihat lilin-lilin dan juga ratusan kelopak mawar yang membentuk sebuah jalan menuju ranjang ini
“Hufft,” Alika menghela nafasnya dengan kasar lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang kemudian menutup seluruh tubuhnya menggunakan selimut hingga sebatas leher. Ia begitu dilema saat ini, apa yang harus ia lakukan ketika suaminya keluar dari kamar mandi? Berpura-pura tidurkah? Atau bagaimana ia pun tidak tahu.
Selama sepuluh menit Alika gusar di atas ranjang ia mendengar suara pintu kamar mandi yang dibuka, tubuhnya menegang kala mencium aroma sabun dan shampo yang dipakai oleh Bimo, wangi maskulin, tipikal wangi seorang pria. Nafasnya seakaan terhenti kala melihat d**a bidang sang suami yang begitu tegap dan berotot.
Diam-diam Alika mengintip dari balik selimutnya, menatap sang suami yang tengah mencari celana di dalam lemari hotel. Belum selesai dengan nafasnya yang tadi tercekat kini nafasnya seakan habis saat melihat punggung kanan sang suami yang dihiasi tato begitu besar berbentuk salah satu sisi sayap. Alika tersadar dari rasa terkesimanya kala ia merasakan sesuatu yang basah di pipinya, ia segera menyentuh pipinya lalu menengok ke arah bantal dan alangkah terkejutnya ia saat ia menyadari bahwa ia tengah mengeces saat ini.
“Ya ampun!” pekik Alika yang membuat Bimo terkejut, segera saja ia membalikkan tubuhnya lalu menatap sang istri yang sedang sibuk mengusap bantal.
“Ada apa?” tanya Bimo yang membuat Alika menoleh ke arah sang suami, ia menggelengkan kepalanya dengan heboh, ia begitu gugup saaat ini.
Mas Bimo pasti ngetawain aku kalo dia tau aku ngeces gara-gara liat punggungnya, aishh kenapa juga sih harus ngeces segala? malu-maluin aja. Rutuk Alika dalam hati.
“Um ... um ... Nggak papa, Mas,” jawab Alika seraya menyengir lebar yang membuat Bimo mengerutkan keningnya, ia kembali melanjutkan mencari celana training panjang berwarna abu-abu di dalam lemari yang tadi dibawakan oleh ibunya, setelah mendapatkan apa yang ia cari, ia segera memakai celana tersebut di hadapan Alika yang sontak saja hal itu membuat Alika menyembunyikan wajahnya di balik selimut.
Setelah selesai mengenakan celana training berwarna abu-abu dan kaus singlet berwarna putih, Bimo segera berjalan menuju ranjang lalu merebahkan tubuhnya di samping Alika, jantung Alika berdebar-debar kala merasakan keberadaan sang suami di samping nya.
Bimo menutup kedua matanya menggunakan salah satu lengannya, bersiap untuk tidur karna seharian ini ia begitu kelelahan mengikuti serangkaian acara pernikahannya dengan Alika.
“Mas ... ,” cicit Alika seraya menatap wajah Bimo yang ada di samping kanan nya. Bimo membuka kedua matanya lalu menolehkan wajah ke samping kiri, menatap wanita yang kini berstatus sebagai istrinya tersebut.
“Apa?” tanya Bimo sekenanya sedangkan Alika memilin selimut yang melingkupi tubuhnya saat ini, ia hendak menanyakan sesuatu yang mengganjal di hatinya sejak tadi namun ia teramat malu untuk menanyakan hal tersebut.
Bimo yang dapat melihat keraguan di wajah sang istri segera memiringkan tubuhnya, lalu menyangga kepalanya menggunakan siku, menghadap ke arah Alika dan hal itu sukses membuat Alika terkesiap. Alika tertegun menatap wajah sang suami yang terkena cahaya bulan di langit kota Yogyakarta malam ini, wajah yang terlihat begitu tampan dari tahun ke tahun yang tidak pernah Alika lewati perkembangannya kini sedang menatapnya menunggu jawaban yang akan ia ucapkan.
“Ada apa?” tanya Bimo sekali lagi.
“Um ... um.. kita kan udah nikah sekarang.” ucap Alika membuat Bimo mengernyit.
“Menurut kamu?” tanya Bimo sedangkan Alika mendumel dalam hati, mengapa suaminya itu sangat minim ekspresi dan datar? Namun demi kelancaran jawaban yang ia inginkan akhirnya ia mengalah untuk tidak memprotes sikap sang suami.
“Um ... untuk ... urusan ranjang bagai-” belum juga Alika menyelesaikan perkataannya ia sudah dikejutkan dengan tindakan Bimo yang menindih tubuhnya. Wajah Alika terasa begitu panas ketika merasaka deru nafas sang suami yang mengenai wajahnya saat ini.
Urusan ranjang aja langsung agresif, dasar laki-laki! Maki Alika dalam hati meskipun degupan jantungnya menggila saat ini.
“Masss ... ,” rengek Alika seraya mendorong d**a sang suami namun hasilnya nihil, pria yang ada di atas nya itu tidak bergerak sama sekali bahkan tubuh mereka begitu menempel saat ini.
“Apa?” tanya Bimo dengan deru nafas yang memburu memandang wajah cantik di bawah nya saat ini.
“Minggir ih, berattt ... ,” ucap Alika tanpa mau menatap wajah sang suami.
“Kamu tahu posisi seperti apa saat pria dan wanita melakukan hubungan intim?”
“Mas!” pekik Alika seraya memandang wajah Bimo, ia sudah malu dengan keadaan mereka saat ini ditambah dengan pertanyaan Bimo yang membuat sesuatu dalam dirinya basah dan menghangat.
“Jawab,” titah Bimo.
Puk
Pertanyaan Bimo membuat Alika memukul d**a bidang pria itu. “Ish, Mas kok nanyanya frontal banget sih?!” tanya Alika dengan kesal sekaligus malu, lagi-lagi ia memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan Bimo
“Posisi pria dan wanita saat melakukan hubungan intim seperti ini. Maka kamu harus terbiasa dengan berat tubuh saya saat menindih tubuh kamu seperti saat ini,” ujar Bimo panjang lebar yang membuat Alika terkejut karna ini untuk pertama kalinya Bimo berbicara sepanjang itu.
Ia berpikir apakah sifat Bimo yang sedatar tembok akan berubah seiring dengan perubahan status di antara mereka? Yang awalnya berstatus hanya sebatas teman kini berubah menjadi sepasang suami istri. Namun ia segera menghilangkan pemikirannya tersebut lalu kembali mendongakkan wajah untuk menatap wajah sang suami.
“Ya tapi nggak nempel begini juga, Masss. Berattt ... ,” keluh Alika, ia benar-benar merasa keberatan dengan tubuh tegap Bimo yang menindihnya saat ini, diam-diam Bimo tersenyum begitu tipis mendengar penuturan sang istri meskipun Alika tidak dapat melihat senyuman itu, ia segera melonggarkan kungkungan kedua tangannya pada tubuh sang istri.
“Hufffttt.” Alika bernafas lega kala Bimo sedikit menjauhkan tubuh pria itu darinya.
Keheningan melanda seketika selama beberapa menit, Alika terdiam seraya menatap d**a bidang sang suami sedangkan Bimo menatap wajah sang istri yang ada di bawahnya, wanita itu tampak asik memperhatikan d**a bidangnya yang tertutupi kaos singlet berwarna putih tanpa melanjutkan perkataan nya tentang ‘urusan ranjang’.
“Sudah?” tanya Bimo membuat Alika mendongak.
“Apa?” tanya Alika dengan wajah polos dan bingungnya.
“Memandangi d**a saya,” jawab Bimo membuat kedua pipi Alika memerah karna kepergok tengah memandangi d**a bidang pria itu.
Puk
Alika kembali memukul d**a Bimo seraya mengerucutkan bibirnya. “Ge er!” ketus Alika tanpa mau menatap wajah Bimo.
“Lanjutkan perkataan mu,” ucap Bimo membuat Alika mengernyit.
Perkataan apa? Tanya Alika dalam hati.
“Yang mana?” tanya Alika.
“Urusan ranjang.”
Blush.
Lagi-lagi wajah Alika merona mengingat tentang hal itu.
“Um ... ya itu ... ,” ucap Alika ambigu membuat Bimo mengerutkan keningnya.
“Apa?” bolehkah Alika kesal saat ini karna Bimo tidak dapat menangkap maksud dari perkataannya?
“Ya ... itu ... Kita kan nikah karna perjodohan ... Yang berarti terpaksa,” ucap Alika dengan pelan membuat Bimo mengeratkan rahangnya mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh sang istri.
“Terus untuk urusan ranjang, apa ... apa bakal terpaksa juga?” tanya Alika lalu dengan panik ia mengoreksi perkataannya.
“Um ... um maksud ku apa akan ada ‘urusan ranjang’ dalam pernikahan ini?” tanya Alika kembali.
Ia bernafas dengan lega karena akhirnya ia dapat mengutarakan maksud pertanyaannya sedari tadi. Namun kelegaan dalam hatinya seolah ditarik kembali secara paksa setelah mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh sang suami.
“Menurut kamu?” tanya Bimo yang berhasil membuat Alika mati kutu, wanita itu memejamkan matanya untuk beberapa saat, merutuki sikapnya yang menanyakan hal itu, seharusnya ia membiarkan malam ini terlewati begitu saja tanpa harus menanyakan hal tersebut.
“Um ... gimana ya?” tanya Alika dengan bingung yang membuat Bimo lagi-lagi mengeratkan rahangnya melihat keraguan dalam wanita itu.
“Kalau saya meminta hak saya apakah kamu mau memberikannya?”