6. Rivan vs Shaka vs Abhi : Lelaki-lelaki Rayya

1138 Words
Abhi memasukkan bingkai foto tadi ke sebuah tas kecil. Dia akan pergi ke suatu tempat dan meletakkan bingkai foto itu di situ. Dibuangkah? Tidak! Dia hanya ingin menaruh bingkai foto ini ke tempat yang semestinya. Abhi minta agar supir menunggu di basement parkiran. Dilangkahkannya kaki saat pintu lift terbuka, tapi dia mematung saat melihat Rayya dan Hadi Utomo, sang bapak, sedang berjalan menuju mobil mereka. Tidak mau terlihat, Abhi balik badan, mencari tempat yang dirasa aman untuk bisa melihat Rayya dari kejauhan. Melihat senyum tercetak di bibir yang dulu dia sering nikmati, debaran hati itu masih sama seperti sepuluh tahun lalu, saat mereka masih merajut mimpi indah bersama. Walau kemudian Jessica hadir di antara mereka, tapi tetap saja Rayya, hanya Rayya, gadis yang menjadi ratu di hatinya. Sekarang dia ingin agar mantan ratu itu kembali dimahkotai cintanya. Sudah cukup perannya bersama Jessica. Senyum tercetak di bibir Abhi, “jangan khawatir sayang, sebentar lagi kita akan kembali bersama. Kamu milikku Rayya! Milikku!” desis Abhi dengan senyum puas membayangkan mereka akan kembali bersama. “Pak Mamat tolong antar saya ke tempat Jessica.” Pak Mamat, lelaki berusia paruh baya yang menjadi supir setianya, mengangguk dan sigap membawa sang bos ke tempat yang sering mereka kunjungi. “Bapak tunggu di sini saja, saya tidak akan lama kok. Urusan saya kali ini hanya sebentar.” Abhi, lelaki tampan petinggi grup usaha Santorini yang terkenal dingin dan kaku, memberi perintah pada supirnya. Kali ini dia akan sangat cepat menyelesaikan urusannya karena Rayya sudah hadir di hidupnya. Welcome my Rayya! * Sudah satu bulan lebih Rayya bekerja di Santorini. Dia tidak punya banyak teman tapi ada satu orang, Amel, teman satu bagiannya dan duduk di ruangan yang sama hanya beda kubikel. Terkadang Rayya malah merasa jika Amel terlalu melindunginya, entah kenapa dan untuk apa. Rayya merasa ada beberapa omongan tidak enak tentang dirinya karena dia tidak melalui tahapan psikotes layaknya karyawan lainnya. Tapi Rayya abaikan itu, lebih baik dia fokus saja mempelajari tentang purchasing. “Amel,” tanya Rayya dengan mimik serius pada gadis tomboy di depannya yang sibuk mengunyah bakso pedas, “aku mau nanya dong.” Amel mendunga dan ada satu helai mie kuning yang keluar dari sudut bibirnya, tentu saja hal ini membuat Rayya terkikik geli. “Mau nanya apa sih Ray? Kok malah ketawa gitu?” Rayya tidak mau menjawab, dia menunjuk ke arah mie yang menggelantung bebas. “Aaah ini hehe… Sluurp.. Done! Nah, sekarang kamu mau tanya apa?” tanya balik Amel setelah memakain lagi mie itu membuat Rayya kegelian. “Mel, entah kenapa aku merasa di kantin ini banyak juga yang melihat ke arahku dengan tatapan aneh gitu. Mereka pasti masih saja menggosip tentang aku yang bisa bekerja tanpa psikotes. Aku merasa seperti supermodel yang ditonton ratusan pasang mata.” keluh Rayya. Sambil menunduk, dia coba melirik kanan kiri untuk mengamati situasi kantin yang ramai seperti biasa. “Masih ada yang berani nyindir kamu ya Ray? Siapa? Biar aku kasih ‘salam sayang’.” jawab Amel acuh sambil tetap nikmati bakso pedasnya. Salam sayang versi Amel itu berbeda dari kebanyakan karena dia akan memberikan omelan pada siapapun yang menyindir Rayya. “Yaaah.. Gitu deh.” “Seperti yang aku pernah bilang, abaikan kaum julitawati yang iri padamu. Gak guna kamu memikirkan mereka kan Ray?” Rayya tersenyum kecil mendengar julukan yang disematkan Amel kepada para karyawati yang tidak suka padanya, kaum julitawati! “Iya sih. Tapi tetap saja aku kan anak baru Mel, aku benar-benar merasa gak enak dengan situasi ini.” keluh Rayya. Amel, yang sudah selesai makan, menyandarkan punggung dan kedua tangannya bersidekap depan d**a. Dia perhatikan gadis berkulit kecoklatan karena terbakar sinar matahari ini, dengan seksama. Rayya tidak tahu bahwa dia mempunyai tugas melindungi Rayya. Tugasnya langsung diberikan oleh Kepala HRD. Amel sudah bisa menyangka ada sesuatu antara bos kecil dan Rayya. Amel sudah lakukan penyelidikan latar belakang Rayya dan bisa menarik benang merah bahwa Abhi, Si Kang Tae Oh kw, pernah punya hubungan spesial dengan Rayya namun kandas di tengah jalan. Satu bulan lebih dekat dengan Rayya, membuat Amel tahu bahwa dia adalah seorang gadis yang baik hati dan lembut juga naif. Itu mungkin yang membuat Abhi jatuh cinta pada Rayya. “Abaikan saja Ray, mending kamu tetap fokus pada hidup dan pekerjaanmu. Yang lain itu kan karena mereka iri padamu.” “Mel, kenapa kamu gak ikutan iri padaku?” tanya Rayya dengan polosnya. Amel tersenyum geli mendengar itu, perlukah dia beri tahu hal yang sebenarnya bahwa dia diminta untuk melindungi Rayya dari para pelaku perundungan? “Buat apa Ray? Aku sudah puas dengan hidupku, dengan pekerjaanku, dengan apa yang telah aku dapatkan. Sudah, gak perlu memikirkan mereka yang iri padamu. Oiya Ray, aku harus bertemu salah satu pemasok sore ini. Kamu hati-hati ya, laporkan aku segera jika ada yang sakiti kamu.” “Apa sih Mel? Iya tenang aja.” * Sudah lewat magrib saat Rayya akhirnya berhasil menuntaskan pekerjaannya. Rayya tidak biasa pulang jam segini tapi karena besok akhir pekan, dia ingin habiskan hari Sabtu dengan hati tenang tanpa memikirkan pekerjaan. Suasana kantor sudah sepi, hanya tinggal beberapa karyawan saja yang masih bekerja. Rayya berbasa-basi, berpamitan pada yang masih bekerja. Letak lantai bagian purchasing di lantai 11, membuatnya harus bersabar menanti kereta lift berhenti. Jika sudah malam, maka hanya tiga kereta lift saja yang beroperasi. Kali ini hanya dua karena satu kereta lift sedang dalam perbaikan. Hufft… nasib jadi b***k korporat. Jam segini baru kelar kerjaan. Ya Allah, lelah sekali tubuh ini. Nanti di rumah, aku mau telpon Shaka aah, aku kangen banget sama dia! Gawai canggihnya bergetar, Rayya tersenyum melihat nama yang tertera di layar, tidak, bukan Shaka, tapi lelaki lain, Rivan! “Hai Kak Rivan, apa kabar?” sapa ramah Rayya. Berbicara dengan Rivan walau melalui panggilan telepon, sudah membuatnya senang. “Hai Rayya…, alhamdulilah baik. Kamu gimana?” “Eeh bentar Kak, ini aku masuk lift dulu ya.” Rayya tergesa masuk lift tanpa melihat penumpang yang ada di dalam lift itu. Dia terlalu senang karena telepon Rivan. Sudah lama mereka berpisah. “Kak Rivan, tunggu sebentar ya, ini lagi di lift, sinyalnya gak bagus nih. Bentar ya…” Posisi berdiri Rayya di baris kedua karena ada karyawan lain yang juga pulang bersamaan dirinya. Selama lift bergerak turun, Rayya hanya menunduk saja, melihat ke layar gawainya, takut jika sambungan telpon dengan Rivan akan terputus. Andai saja Rayya mau melihat sebentar ke pintu lift yang bersih bersinar, kinclong, layaknya cermin, dia akan bisa melihat ada seorang lelaki yang berdiri menempel dinding belakang lift dengan rahang mengeras mendengar sapaan ramah Rayya pada Rivan. “Yes, Kak Rivan, udah di lobi nih.” Abhi masih bisa mendengar suara Rayya menyambung pembicaraan yang terputus saat kaki jenjang gadisnya melangkah keluar. Otaknya segera berpikir apa yang akan dia lakukan untuk menjadikan Rayya sebagai miliknya, secepatnya, sebelum didahului oleh lelaki lain. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD