5. Rayya, Si Penggenggam Hati

1606 Words
“Padamu iya, tapi tidak pada Shaka. Bapakmu sangat menyayangi Shaka kok. Sudahlah nduk, kamu istirahat saja dulu, ibu mau masak.” Selepas Atika meninggalkan kamar, Rayya rebahkan tubuhnya. Dia rindu kamar ini, dia rindu kasur ini. Dia ingin melepaskan rindu yang dipendamnya selama ini untuk hal selain lelaki itu, Abhi! Hidupnya selama empat tahun ini penuh kepura-puraan. Pura-pura bahagia, pura-pura berikan senyum, untuk mengkamuflase sakit yang dia derita. Yang dia tahu hanyalah mencintai tapi dia dimanfaatkan. Jika cintanya seperti kata pepatah, bertepuk sebelah tangan, baginya tidak tepat. Karena mereka menjalin kasih selama enam tahun! Dari mereka ada di bangku sekolah menengah atas hingga hampir lulus kuliah. Enam tahun bukanlah waktu yang sebentar. Itu waktu yang cukup lama untuk mereka sama-sama merajut mimpi indah untuk bisa berada di biduk rumah tangga yang sama. Terlalu banyak mimpi dan harapan yang mereka rajut. Nyatanya, dengan semena-mena, Abhi menikahi gadis lain. Membuangnya layaknya tisu bekas yang harus ada di tong sampah. Dia seperti tidak berharga sama sekali. Kabar terakhir yang dia tahu, Abhi benar-benar menikahi Jessica. Dinar, sang kakak, bahkan mengiriminya foto-foto pernikahan mantan kekasihnya. Di foto itu, Abhi tersenyum, menatap mesra Jessica. Jadi, satu-satunya cara yang harus dia lakukan adalah pergi menghindari Abhi. Dia yakin, waktu akan mampu menghapus luka dan mendatangkan lelaki lain untuknya. Nyatanya, hingga kontraknya berakhir, tetap saja bayangan Abhi mengganggunya. * Rayya melihat ponsel pintarnya yang berdering di pagi ini. Nomor telepon yang asing. Sebuah nomor dari Jakarta. Keningnya berkerut. Dia baru mengirim beberapa lamaran via online minggu lalu. Mungkinkah bisa secepat itu mendapatkan respon? “Mbok ya diangkat toh nduk, jangan dipelototin aja itu hp.” tegur Atika. Rayya meringis karena sang ibu ternyata memperhatikannya. “Halo, selamat siang.” sapanya ramah. “Selamat siang, dengan Mbak Rayya Fatima Utami?” balasan suara yang tak kalah lembut, membuat Rayya lega. Bukan Abhi yang menelponnya! Lagipula kenapa dia bisa sepercaya diri itu berharap Abhi yang menelpon sih? “Iya benar bu. Maaf dengan siapa ini?” “Saya Marla, HRD dari The Santorini Corp. Saya ingin memberi tahu bisakah Mbak Rayya datang ke kantor kami untuk lakukan tes dan wawancara?” Marla, si penelpon menjelaskan. “Eeh Santorini Corp.? Maaf bu, tapi saya tidak melamar di perusahaan ibu, saya juga tidak mengirimkan curriculum vitae, tapi kenapa saya bisa ditawari bekerja di perusahaan ibu?” “Oh kami mendapatkan rekomendasi sangat bagus tentang Mbak Rayya. Kebetulan ada posisi kosong yang kami kira tepat untuk Mbak Rayya. Bagaimana mbak? Untuk jadwal tes dan wawancara, kami akan sesuaikan dengan mbak.” jawab Marla lagi. Sudah menjadi tugasnya untuk menjalankan tugas, dia tentu heran karena langsung petinggi perusahaan yang menginginkan Rayya, bahkan sengaja mengosongkan posisi tertentu untuk Rayya. “Bolehkah saya minta waktu berpikir satu hari? Besok saya telpon Bu Marla untuk infokan keputusan saya?” tanya Rayya, dia berpikir keras dari mana perusahaan ini bisa mendapatkan curriculum vitaenya. Dia takut ini merupakan penipuan. “Tentu boleh, tapi besok biar saya saja yang telpon Mbak Rayya lagi. Kalau takut ini penipuan, silakan cek website kami di sss….” Marla berikan alamat website perusahaannya agar Rayya bisa berselancar dan hilang keraguan. “Baik bu, terima kasih.” “Selamat siang Mbak Rayya, salam sehat selalu.” Usai panggilan telepon itu, Rayya segera berselancar dan mengklik website The Santorini Corp. Matanya membola melihat gedung megah dan bisnis utama perusahaan. “Siapa tadi yang nelpon nduk?” tanya Atika, mengganggu konsentrasi Rayya. Rayya membatalkan niatannya mengklik susunan dewan direksi, andai saja dia sempat membacanya, kisah hidupnya tidak akan rumit. “Bu, aneh deh. Tadi tuh dari perusahaan gede di Jakarta. Dia minta Rayya untuk tes dan wawancara kerja. Padahal Rayya tuh gak pernah kirim lamaran ke perusahaan ini loh bu.” Rayya curhat kepada Atikah. “Looh ya jangan didatengi, hati-hati kalau penipuan kan bahaya toh nduk.” Seorang ibu pasti akan langsung bereaksi untuk melindungi putrinya. “Tapi dari website kantornya sih bener bu, gak bohong. Tadi katanya, mereka dapat rekomendasi dari seseorang yang bilang kalau aku sesuai dengan posisi yang lowong di kantor itu bu. Siapa ya?” tanya Rayya, sambil berpikir keras, menebak siapa orang yang telah memberikan rekomendasi itu. “Coba tanya bapakmu dulu, nduk. Kalau perlu diantar, biar besok bapakmu antar ke Jakarta ya.” Rayya bercerita pada Hadi, sang bapak, yang fokus mencerna cerita Rayya. Dia memang sempat heran darimana perusahaan itu mendapatkan curriculum vitae putrinya. Tapi saat Rayya memperlihatkan website kantor itu padanya, dia merasa lega karena ini perusahaan nyata. “Bapak antar ke Jakarta, kalau perlu sekalian pas kamu mau tes. Tapi bapak menunggu di masjid terdekat aja ya nduk, sekalian istirahat.” “Yeeay, asiik, makasih pak. Besok Rayya telpon dulu kantornya untuk atur jadwal.” * Tanpa Rayya tahu bahwa tes dan wawancara kerja yang dia lakukan hari ini hanyalah sekedar formalitas saja. Posisi yang kosong di perusahaan ini memang disiapkan khusus untuknya. Padahal antara background pendidikannya dan posisi yang ditawarkan tidak sesuai, tapi dia dinyatakan lulus bahkan mendapatkan paket gaji cukup tinggi. “Tapi bu, saya tidak ada pengalaman bekerja di bagian pembelian. Apakah tidak salah jika saya ditempatkan di posisi itu?” “Nantinya akan dibimbing oleh rekan kerja satu bagian pembelian dan akan ada training khusus untuk Mbak Rayya. Jangan khawatir, rekan kerja di pembelian baik dan ramah kok. Mereka akan sigap membantu.” jawab Marla. Perempuan berusia pertengahan tiga puluh ini tersenyum ramah kepada Rayya. Tanggung jawabnya cukup berat kali ini. Dia diminta langsung oleh si bos untuk mengurusi hal ini. Bagaimana caranya agar gadis manis berkulit kecoklatan ini - seperti efek terkena sinar matahari berlebih - mau bekerja di perusahaan ini. Itulah kenapa bos yang memintanya secara langsung untuk merekrut Rayya. Sebenarnya, dengan latar belakang kuliah di fakultas psikologi, Marla tahu ada sesuatu antara si bos dan gadis manis yang duduk di depannya. Tapi dia tidak mau mengusik kehidupan pribadi bos besar jika dia masih ingin bekerja di kantor ini. “Benarkah bu? Waah saya mau kalau begitu.” senyum lebar Rayya menampilkan satu lesung pipi di sebelah kanan, menambah kesan manis gadis itu. Marla membalas senyuman Rayya. “Euum bu mengenai paket remunerasi yang saya dapatkan, itu bagaimana? Apakah disetujui?” tanya Rayya, hati-hati. Marla membuka dan melirik sekilas paket yang diminta Rayya, cukup masuk akal baginya. Apalagi si bos sudah berpesan untuk memberikan berapapun gaji yang diminta Rayya juga paket remunerasi lainnya! “Iya, kami setujui. Nah, selamat bergabung bersama The Santorini Corp. Lusa sudah mulai bekerja ya?!” kali ini Marla menggunakan nada tegas, agar Rayya tidak besar kepala. “Baik Bu Marla, terima kasih.” Rayya berdiri, mengulurkan tangan pada Marla untuk bersalaman, kemudian pamit. Dia ingin segera bertemu Hadi yang setia menunggu di mushala di lantai dasar. Langkah kakinya ringan dan riang. Senyum manisnya dia tebarkan pada beberapa orang yang berpapasan, menularkan rasa gembira pada orang lain hingga mereka juga terkena virus membalas senyum. Tidak perlu mengeluarkan biaya kan untuk ikutan tersenyum? “Nduk, bapak bersyukur sekaligus heran. Kamu bisa segampang ini diterima bekerja di perusahaan sebesar Santorini, tanpa prosedur yang rumit. Kamu yakin gak punya teman yang memberikan rekomendasi? Biasanya kalau secepat ini sih yang kasih rekomendasi udah orang top.” kata Hadi, memberi pendapat. “Enggak pak, gak ada. Rayya juga bingung tapi disyukuri aja ya pak, oiya paket remunerasi yang Rayya minta juga disetujui. Aaah senaaangnya!” wajah ceria Rayya juga menular ke Hadi, walau tetap terselip rasa was-was karena kemudahan yang didapat putrinya. Dia yakin ada seseorang yang campur tangan dalam hal ini, semoga saja membawa kebaikan bukan keburukan. “Emang kamu minta apa aja sih?” tanya Hadi penasaran. “Yang pasti fasilitas kesehatan kelas satu pak. Sejak kerja di LSM aku jadi tahu betapa berharganya kesehatan. Terus ada tunjangan transpor, makan dan pulsa.” Jawab Rayya, riang. “Itu semua disetujui?” tanya Hadi lagi, takjub. “Iya pak. Alhamdulilah banget kan? Besok Rayya sudah mulai bekerja. Minta doa bapak yaa.” “Lah kalau gitu kita segera ke kostan yang diinfo mbakmu. Semoga masih ada kamar buatmu ya.” * Sementara itu di lantai lima belas, setelah Rayya meninggalkan ruangan Marla, Abhi tersenyum lebar saat menerima laporan kesuksesan Marla merekrut Rayya. “Terima kasih Bu Marla. Tolong titip Rayya, beri dia pelatihan agar bisa mengikuti ritme kerja di bagian pembelian.” titah Abhi. “Baik pak. Saya permisi dulu.” saat hendak mencapai pintu, Abhi berkata lagi dengan nada serius. “Tempatkan satu orang yang sebaya Rayya sebagai guardian di bagian pembelian. Sumpah dia agar tidak membocorkan apapun. Pastikan Rayya baik-baik saja. Apapun yang terjadi, dia harus mampu menjaga Rayya. Dia harus bertanggung jawab pada keselamatan Rayya.” Marle membalik tubuhnya, berpikir sebentar dan menjawab, “bagaimana dengan Amel? Dia bisa dipercaya. Amel jago bela diri, dia kan pemegang sabuk hitam taekwondo.” Abhi beri senyum terbaik, “saya percaya pada Bu Marla, tapi maksud saya dengan keselamatan karena saya tidak mau Rayya dinilai negatif oleh karyawan lain yang julid Bu.” jawab Abhi puas. Marla memang bisa dipercaya. “Consider it done pak.” senyum kecil Marla tercetak, dia cukup tahu apa yang sudah dialami oleh si bos. Termasuk siapa pemilik hati sebenarnya walau Abhi menikahi putri pemilik perusaan utama. Sepeninggal Marla, Abhi mengambil bingkai foto di mejanya, foto itu adalah foto akad nikahnya dengan Jessica. Diambilnya, dielus penuh sayang, menghela nafas panjang dan berucap lirih, “maafkan aku Jess. Aku tidak pernah bisa menjadikanmu sebagai satu-satunya, karena hatiku hanya berisi namanya, Rayya Fatima Utami. Sekarang, biarkan aku mendapatkan kebahagiaanku sendiri, kamu sudah berjanji hal ini kan? Bahwa aku juga berhak akan kebahagiaanku sendiri.” mata Abhi menerawang jauh, membayangkan betapa dia jahat karena tidak pernah mencintai Jessica, istri cantiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD