“Enggak semua orang bisa kita sama-ratakan, Pah. Setiap orang punya karakteristik sekaligus tingkat kepekaan yang berbeda. Bisa jadi menurut kita benar, menurut mereka bahkan saudara kita sendiri, apa yang kita lakukan ini justru salah.”
Episode 7 : Prewedding
****
Prewedding Ipul dan Rena, sungguh terjadi. Setelah meminta restu Rafael berikut Fina layaknya arahan yang Rafael berikan, keduanya sungguh mengantongi sponsor pernikahan dari Rafael dan Fina.
Rena tanpak anggun dengan gaun panjang tak berlengan yang memiliki belahan di atas lutut. Sedangkan Ipul mengenakan setelan jas hitam dan dengan wajah yang dibuat sekeren mungkin.
“Mai Ren-Ren … itu belahan gaunmu serem banget. Coba minta dijahit lagi!” bisik Ipul yang tak rela melihat Rena mengenakan gaun terbuka.
“Memang begini, Beb, modelnya! Serius, aku bahkan merasa cantik banget!” balas Rena dengan santainya.
Ketika Ipul dan Rena sibuk mempermasalahkan gaun tak jauh dari pintu ruang make-up, di sudut ruang make-up, tepatnya di depan cermin Rias yang baru saja Rena dan Ipul tinggalkan, kedua perias di sana sibuk memperhatikan Ipul dan Rena.
“Itu, wajah Ipul enggak bisa dibuat maskulin atau seenggaknya berwibawa, biar enggak terus kelihatan lawak begitu?” bisik si pria yang bergaya 'melambai’.
Si wanita bertubuh cukup segar sebagai lawan bicara, buru-buru menggeleng. “Wajah Ipul memang gitu. Horor-lawak!” bisiknya sambil memasang wajah pasrah.
Si pria bergaya melbai, refleks menelan ludah dan kemudian kembali menatap Ipul lebih rinci. “Wajah Ipul tuh ngegemesin. Tapi ngegemesinnya jadi pengin nabok atau malah cakar-cakar!” ucarnya sambil mengangguk-angguk santai.
Si wanita segera mengangguk dan setuju dengan anggapan si pria yang juga sukses membuatnya tertawa. Bahkan karenanya, ia sampai menekap mulutnya menggunakan kedua tangan, demi menghalau tawanya agar tidak pecah.
“Bisa kutebak, Rena mau sama Ipul karena kasih sayang yang Ipul berikan!” tambah si pria lagi yang masih asyik mengamati kebersamaan Ipul dan Rena.
Kali ini, Ipul sampai jongkok dan menutupi belahan gaun Rena dan dikata Ipul terlalu tinggi.
“Tukang jahit mana? Ini bajunya belum jadi. Masa iya, setinggi ini belahannya. Ini pasti belum jadi,” racau Ipul sambil mengamati sekitar.
Kedua perias tadi langsung sibuk menahan tawa. Keduanya kompak menekap mulut sambil terus memperhatikan kebersamaan Rena dan Ipul.
“Ya ampun, Beb. Jangan malu-maluin, lah. Ini gaun sudah jadi. Model masa kini. Masa iya, mau kamu komentari seribet itu? Kalau kamu enggak setuju, aku ngambek, lho. Lihat … aku sudah secantik ini, masa ia harus marah-marah di depan banyak orang. Nanti, usaha kita minta sponsor Rafael sama Kak Fina, juga bisa gagal total.” Rena tak hentinya merengut sebal kepada Ipul yang kemudian ia tuntun untuk tidak terus-menerus jongkok di hadapannya sambil mencoba menutupi belahan gaunnya.
“Nanti kalau Rafael sama keluargamu tahu, aku izinin kamu pakai gaun belahan setinggi itu, kiamatlah aku!” ujar Ipul sambil beranjak mengikuti tuntunan Rena.
“Sudah, enggak usah mikir jauh-jauh dulu. Yang penting foto prewedding kita beres. Ayo cepet. Habis dari sini, kita kan harus ke Bali!” balas Rena lagi yang kali ini sampai mengomel.
Ipul pasrah dan sungguh menyerahkan segala sesuatunya kepada Rena, kendati lantaran belahan gaun Rena yang bagi Ipul terlalu tinggi, Ipul menjalani pemotreran prewedding dengan setengah hati.
Pemotretan prewedding kali ini dilakukan di rumah Rena. Di ruang olahraga yang bagi fotografernya memiliki bentuk anak tangga yang jauh lebih elegan sekalugus santai. Sebab tak beda dengan kediaman rumah pribadi Rafael, konsep rumah keluarga Rena juga mengusung nuansa Eropa yang begitu megah.
Sementara itu, alasan Mey dan Burhan tak ikut menyaksikan pemotretan, tak lain karena keduanya sedang dinas keluar negeri untuk urusan pekerjaan. Sedangkan Raden yang tidak memiliki jadwal, memilih menginap du rumah Rafael karena Raden ingin menghabiskan waktunya bersama Bubu.
Di anak tangga, Rena dan Ipul berdiri berhadapan. Rena ada di anak tangga di atas anak tangga keberadaan Ipul berpijak. Rena sengaja diminta tersenyum malu-malu sambil cukup menunduk, sedangkan Ipul menatap Rena dengan takjub. Tentunya, mengarahkan ekspresi Ipul masih menjadi pekerjaan cukup rumit bagi semuanya, apalagi seperti yang kedua perias tadi tegaskan, wajah Ipul terbilang horor dan humor.
“Ipul … Ipul, lebih dalam lagi natapnya. Tatapan takjub! Lihat, Rena cantik banget! Rambutnya diikal gantung begitu dan senyumnya sangat wah … ayo tatap yang lebih kalem lagi! Wajahmu masih horor-horor lucu!” seru pengarah pemotretan di sana.
Semua kru pemotretan sekaligus perias yang mendengar teguran tersebut, kompak tersenyum dan bahkan menahan tawa mereka. Beruntung, setelah sekian teguran yang dilayangkan kepada Ipul, akhirnya Ipul bisa bersikap ‘cool’ dalam menatap Rena.
“Oke! Ini mazing!” seru pengarah gaya lagi.
Seseorang menyikut pria tersebut selaku pengarah gaya dalam pemotretan. Si pria langsung kebingungan sambil memastikan. “Kenapa?”
“Kalau sama Ipul, diusahakan jangan berbicara dengan bahasa rumit apalagi inggris. Nanti dia kebingungan!” bisik si pria yang langsung membuat si pengarah gaya tak percaya.
“Tahun dua ribu dua puluh saja, sudah mau habis. Sedangkan Ipul juga artis. Masa ia enggak tahu bahaga linggis? Eh Inggris?” keluh si pengarah gaya.
Rena tahu, untuk orang sekelas Ipul, mengimbangi gaya hidup Rena yang boleh dikatakan berlevel tinggi, merupakan sebuah pengorbanan yang luar biasa. Itu juga yang membuat Rena merasa bangga. Rena juga tak segan memuji Ipul seperti resep rahasia yang ia dapatkan dari Fina. Karena menurut Fina, salah satu kunci keromantisan hubungan Rafael dan Fina adalah saling puji di setiap halnya, bahkan ketika kegagalan sekaligus kekecewaan yang menjadi hasil kerja keras mereka. Namun, khusus untuk orang macam Ipul yang kadang akan langsung besar kepala ketika mendapat pujian, Rena juga harus melakukan pujian khusus.
“Itu tadi luar biasa, Beb! Kamu keren! Tapi kamu harus lebih semangat lagi, biar hasilnya lebih keren!” ujar Rena.
“Ah, masa, sih? Padahal aku biasa saja?” balas Ipul sambil tersenyum malu-malu. Ipul tak hentinya tersipu sambil menggaruk asal sekitar lehernya yang sebenarnya tidak gatal.
Rena yang menyikapinya masih dengan kebahagiaan semakin yakin, semua resep yang Fina berikan dalam menjalin hubungan romantis, memang benar adanya. Buktinya, kini Ipul sungguh merasa lebih tertantang untuk melakukan yang lebih baik.
“Tapi, Beb … kalau ke Bali, jangan ke pantailah … nanti ada sumarni! Ngeri, Beb! Gimana kalau tiba-tiba, ada bom juga? Meledak lah kita, enggak jadi nikah kalau gitu caranya!" Keluh Ipul kemudian yang menjadi uring-uringan.
“Ya ampun … ya jangan mikir gitu, Beb. Parno ih kamu!” tegur Rena.
“Lho … kok p***o, Beb? Aku kan enggak m***m!” ujar Ipul kebingungan.
“Ya ampun … parno … parno. Bukan p***o! Parno sama p***o itu beda, Beb!”
Menyadari Rena dan Ipul justru sibuk berdebar, pengarah gaya pun langsung menegur. “Sudah … sudah … ayo kita lanjut! Ke taman!” serunya.
***
Rafael mengemban Bubu dan melangkah santai bersama Fina menuju dapur. Semerbak aroma lezat tercium begitu kuat, meski mereka masih jauh dari area dapur. Mereka masih ada di ruang keluarga lantai bawah, yang dengan kata lain, masih ada sekitar dua puluh lima meter menuju dapur.
“Jadi lapar, ih!” keluh Fina yang menjadi kerap menelan ludah.
Rafael menyikapi Fina dengan serius. “Ini bau pizza, ya? Rina sama Daniel lagi buat pizza?” tanyanya memastikan.
“Kurang tahu sih, Pah! Tapi Rina bilangnya, mau bikin makanan buat makan siang,” balas Fina.
Rafael langsung tersenyum semringah. “Wah … kita bakalan makan enak, Bu! Dimasakin makanan orang bule sama aunty Rina sama uncle Daniel juga!” ujarnya kepada Bubu yang sampai ia cium dengan gemas.
Fina hanya tersipu. “Pah, kamu enggak mau lihat acara prewedding Rena dan Ipul?” tanyanya sambil menyikapi sang suami dengan banyak keseriusan.
Rafael dan Fina terus melangkah menuju dapur.
“Enggak usahlah. Mereka kan sudah dewasa. Biar sama-sama belajar saja. Lagian kan, cara pikir kita juga pasti beda dengan konsep mereka. Mereka pasti tahu mengenai apa yang harus mereka lakukan.” Rafael menghela napas dalam.
“Nyatanya, Rina sama Daniel saja, tahu, mengenai apa yang harus mereka lakukan sekaligus batas-batas dalam hubungan?” tambah Rafael yang kemudian menatap Fina.
“Enggak semua orang bisa kita sama-ratakan, Pah. Setiap orang punya karakteristik sekaligus tingkat kepekaan yang berbeda. Bisa jadi menurut kita benar, menurut mereka bahkan saudara kita sendiri, apa yang kita lakukan ini justru salah.” Fina mencoba menjelaskan.
“Pilih jalan tengahnya saja. Kita mengalah dan lebih sedikit berkoban, agar mereka apalagi saudara kita, lebih merasa dihargai sekaligus berarti. Kalau pun kita enggak bisa kasuh dukungan secara langsung, seenggaknya kita bisa telepon, atau malah video call, seperti yang selalu Rena dan Ipul lakukan?” tambah Fina lagi masih menyikapi Rafael dengan serius.
Rafael yang sedari awal penjelasan langsung menyimak, berangsur mengangguk, mengiyakan, sekaligus menyanggupi saran sang istri. “Baiklah. Kita video-call mereka sambil pamer makanan enak! Aku jadi lapar, serius!” ujarnya dan sukses membuat Fina tertawa.
Tak terasa, pintu dapur sudah ada di hadapan mereka. Di mana, aroma nikmat semakin tercium kuat. Apalagi ketika mereka mebuka pintu dan mendapati Daniel berikut Rina sedang tertawa menganati hasil pizza yang belum dikeluarkan dari nampan panggangan.
Boleh dibilang, di mata Rafael dan Fina, Daniel dan Rina merupakan bukti nyata pasangan yang selalu lurus tanpa pertikaian yang berarti. Apalagi, Daniel begitu pengertian dan selalu bisa membuat Rina nyaman. Bahkan meski cara pacaran keduanya terbilang jauh dari kata wah. Keduanya selalu menghabiskan sebagian besar waktu kebersamaan dengan keluarga. Baik untuk sekadar mengobrol, atau pun masak-masak layaknya sekarang. Kalaupun keduanya menghabiskan waktu di luar, terbilang sangat jarang dan lebih sering hanya untuk mencari bahan masakan atau makanan yang ingin mereka buat. Dan kalaupun keduanya ingin menonton, membeli kaset dan menontonnya di rumah, selalu menjadi pilihan sekaligus kebiasaan.
“Wahhh … lambungku meronta kelaparan!" Ujar Rafael dan langsung membuat Rina dan Daniel tertawa.
Rina dan Daniel sama-masa mengenakan celemek yang cukup bergelepot tepung.
“Oke, Mas! Sebentar, kami siapkan!” ujar Daniel yang masih saja tertawa.
“Wah ... bikin spagetti juga?” ujar Fina yang semakin membuat lambung Rafael meronta.
Kebahagiaan yang menyelimuti mereka menjadi terasa sangat sempurna, lantaran sebentar lagi, perut mereka juga akan kekenyangan.