Chap #8

1101 Words
Helena kini bekerja di butik Angela, seperti biasa ia akan bekerja full time di akhir pekan. Sesaat kemudian seorang wanita yang berpakaian feminim terlihat masuk ke butik, membuat Helena menghampiri pelanggan itu dengan menundukkan kepala. "Aleia?" tunjuk Helena. Aleia memicingkan mata, menatap wajah Helena. "Helena?" "Iya. Aku Helena," kata Helena, dengan senyum sumringah. "Wah." Aleia memeluk Helena, menepuk punggung temannya itu. Teman kuliahnya dulu, mereka tak terlalu akrab sewaktu kuliah, namun mereka sering bersama ketika ada tugas kuliah. "Kamu apa kabar, sih, Al? Kamu makin cantik tahu nggak," puji Helena, membuat Aleia melepas pelukannya. "Aku baik. Seperti yang kamu lihat. Kamu bagaimana? Kamu kerja di sini?" tanya Aleia, tak melepas rangkulan tangannya pada lengan Helena. "Aku juga baik. Dan, aku juga kerja di sini. Kamu bukannya kerja di Jerman? Sekarang di Indonesia udah berapa lama?" tanya Helena, lagi. Obrolan mereka terlihat asyik. "Aku baru mau dua minggu di Jakarta. Kebetulan ada perusahaan yang menawarkan aku jadi manager umum. Dan, kamu tahu aku asli sini," jawab Aleia. "Duduk dulu, Al," tarik Helena dan membantu Aleia duduk di kursi tunggu. "Kamu udah mau nikah?" tanya Helena, lagi. "Iya," jawab Aleia. "Calon suamiku itu dari Jerman juga, dan kebetulan dia di kerja di Jakarta juga." "Wah. Kamu ih bagus banget, udah mau nikah aja," kata Helena. "Selamat, ya." "Iya. Kamu gimana? Udah nikah?" Helena menggelengkan kepala. "Belum." "Kok bisa? Kamu 'kan cantik, Helena." "Emangnya cantik itu ukuran, ya,” kekeh Helena. “Tapi kamu udah punya pacar, ‘kan?” tanya Aleia. “Sudah. Kami juga akan menikah, namun belum tahu waktunya kapan.” “Wah. Bagus donk,” seru Aleia. “Kamu mau beli gaun?” “Aku mau lihat-lihat gaun nih, soalnya aku nikah bentar lagi.” "Kamu lihat-lihat saja dulu.” "Baiklah, saya lihat-lihat dulu," jawab Aleia. “Mana ya yang bagus, La.” “Gaun mana pun yang kamu kenakan akan terlihat tetap cantik.” "Terima kasih, ya, kamu juga cantik, La. Bahkan kamu lebih cantik di bandingkan aku." Aleia balik memuji. "Terima kasih kembali." senyum Helena. “Setelah aku pesan salah satu gaun di butik ini, kamu mau ‘kan makan siang denganku?” “Boleh, Al, aku mau,” jawab Helena. “Aku akan memanggil Lala,” kata Aleia. “Kamu masih ingat Lala, ‘kan?” “Masih. Dia sudah nikah juga, kan, ya.” “Benar. Malah sudah ada dua anak,” kekeh Aleia. “Bentar aku telpon dulu.” Helena menunggu Aleia menelpon Lala, seraya melihat-lihat majalah yang menunjukkan beberapa gambar gaun yang tadi di lihat Aleia. Selera Aleia sejak dulu memang bagus. Dan, penampilannya selalu menarik. “Dia mau datang,” kata Aleia, mengakhiri telpon. “Benarkah?” “Hem. Kita reunian juga,” kekeh Aleia. *** Helena dan Aleia masuk ke restoran dimana Lala sudah menunggu mereka, Lala adalah salah satu teman kuliah mereka. Lala melambaikan tangannya. Membuat Aleia dan Helena tersenyum lalu memeluk dan mencipika-cipiki Lala secara bergantian. “Ya ampun. Aku seneng banget loh ketika Aleia telpon dan meminta bertemu,” seru Lala, membuat Aleia tersenyum dan menyibak rambutnya. “Aku ketemu Helena di butik dekat sini, dia kerja di sana, jadi aku ajakin aja makan siang bareng,” jawab Aleia. “Bagaimana kabarmu, La?” tanya Helena. “Seperti yang kamu lihat aku baik-baik saja. Bahkan jauh dari kata baik. Kamu bagaimana, Helena?” tanya Lala, balik. “Aku juga baik. Maaf, ya, La, waktu itu aku nggak datang di acara pernikahanmu.” “Aku sih sempet kecewa sama kalian karena nggak datang, tapi mungkin dengan cara ini kita ketemu lagi kali ya,” kekeh Lala. “Dua anakmu mana, La?” tanya Aleia. “Mereka di rumah neneknya. Aku mah kalau mau jalan atau mau kemana, suka titipin dua anakku ke rumah neneknya.” “Kayaknya kamu udah sukses banget, ya,” puji Helena. “He he. Kamu bisa aja. Aku ini biasa aja kok,” jawab Lala. “Yang hebat itu si Aleia ini, dia mau nikah bentar lagi, dan calon suaminya itu adalah CEO di perusahaan pertambangan. Aku kalah sama dia, suamiku hanya manager hotel.” “Ish. Itu juga udah bagus, La,” sambung Aleia. “Kalian memang hebat,” jawab Helena. “Kamu bagaimana, Helena? Udah nikah?” tanya Lala. “Belum. Baru rencana,” jawab Helena. Apa yang bisa ia banggakan terhadap Bara? Bara pelit dan tidak pernah membahagiakannya dengan uang, malah ia di suruh hemat demi biaya nikah, namun Helena tidak pernah mempemasalahkan itu karena kesetiaan dan kasih sayang Bara sudah cukup buatnya. “Wah. Bagus donk, hanya aku donk ya yang udah punya dua bocah,” kata Lala. “Amelia juga udah punya tiga bocah, La,” sambung Aleia. “Oh iya, tapi dia jarang banget ketemu kita,” jawab Lala. “Jadi kalian masih sering ketemu?” tanya Helena, seraya menyeruput teh hangat yang sudah di siapkan pelayan. “Udah seminggu sih kami gak ketemu lagi, ketemu terakhir pas jemput Aleia di bandara,” jawab Lala. “Kalian makan saja, aku yang traktir hari ini,” kata Aleia. “Ish. Bener-bener dah si Aleia ini, kamu beruntung banget sih,” puji Lala. “Jangan terlalu muji, La,” kekeh Aleia. Beberapa menit kemudian empat waitres datang membawa makanan pesanan Lala, terlihat Helena takjub melihat semua makanan yang sedang di sajikan waiters di atas meja. “Banyak banget yang kamu pesen, La,” kata Helena. “Kita makan puas aja, ya, nggak usah mikirin diet, kan yang bayar istri CEO ini,” kekeh Lala, membuat Helena tersenyum. “Dia ini udah kaya banget, makin kaya lagi pas nikah sama sang Billionaire.” “Wah. Kalian beruntung, ya,” kata Helena. “Memangnya kenapa, Helena? Kamu nggak beruntung?” tanya Lala. “Bukan begitu. Aku hanya senang melihat kalian bahagia,” jawab Helena. “Alhamdulillah,” jawab Lala, dan Aleia secara bersamaan. Mereka bertiga lalu menikmati makan siang mereka, dan terlihat cara makan Aleia dan Lala sangat berkelas, apalah daya Helena yang hanya bisa memperlihatkan betapa bodohnya dia. “Aku seneng banget loh bisa ketemu kalian,” kata Lala. “Tapi seperti biasa aku nggak bisa lama, aku harus menjemput kedua anakku, karena sebentar lagi suamiku akan pulang.” “Nggak apa-apa, kita bisa ketemu lagi lain kali,” kata Aleia. “Bener, La, kamu harus menjemput kedua anakmu dulu,” sambung Helena. “Tapi kita masih bisa ketemu, ‘kan?” “Masih donk, kenapa nggak bisa, lagian kita di kota yang sama,” jawab Aleia. “Ya sudah. Ayo di makan,” kata Lala. Mereka menikmati makan siang mereka dengan sesekali tertawa ketika Lala memberikan candaan pada mereka. Helena senang akhirnya ia bisa hang out bersama teman-temannya. Selama ini ia harus bekerja dan tidak bisa bersantai. Untung saja Rumi mau memberikan izin kepada Helena, karena Aleia yang memintanya setelah memesan gaun pengantin termahal. Setelah makan siang, mereka menikmati cemilan penutup makan siang mereka yang sudah di sediakan. Helena melihat masih banyak makanan yang tersisa bahkan makanan yang tidak mereka sentuh atau makan, ingin sekali rasanya Helena membungkus makanan itu untuk ponakan dan ayahnya. Namun, ia akan sangat malu jika memintanya pada Aleia dan Lala. “Ada apa, Helena?” tanya Lala, ketika melihat lamunan temannya. Helena mendongak. “Aku nggak kenapa-napa, La,” jawab Helena. “Ya sudah. Aku nggak bisa lama, ya, aku sudah di jemput supir,” kata Lala. “Jadi, kamu mau pulang sekarang?” tanya Aleia. “Iya. Supirku udah nunggu tuh didepan,” kata Lala, menunjuk mobil BMW di depannya. “Ya sudah. Masih ada hari lain juga,” kata Aleia. “Aku pulang dulu, ya,” kata Lala, mencipika-cipiki kedua temannya. “Aku akan menghubungi kalian nanti.” Sepeninggalan Lala … Helena dan Aleia memilih tetap di tempat, mereka ingin menikmati waktu senggang. “Kamu beli bajunya banyak banget, Al,” kata Helena, melihat beberapa kantung kertas yang kini bertengger di atas meja sebelah. “Beginilah nasibku, Helena,” jawab Aleia, menghela napas panjang. “Nasibmu? Sepertinya nasibmu baik-baik saja.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD