Chap #7

1402 Words
Helena dan Rina masuk ke restoran disamping kantor, kali ini Rina mentraktir Helena dan tidak membiarkan sahabatnya itu memakan bekal nasi yang di bawah Helena dari rumah. Rina sudah sering kali mengajak Helena makan di restoran, namun Helena selalu menolak karena tidak ingin merepotkan sahabatnya. “Apaan sih, Rin? Di sini kan makanannya mahal-mahal, jangan deh kita ke tempat lain saja.” Helena menolak. “Aku yang bayar, kamu tenang saja, aku nggak akan menyuruh kamu bayar.” Rina menggeleng. Lalu membuka daftar menu. “Tapi, kamu hanya membuang uangmu.” “Aku nggak membuang uang, Helena, aku memakai uangku untuk makan, kita membutuhkan makan agar bisa bekerja, ‘kan?” “Tapi—“ “Stop! Nikmatin saja makanannya.” Arsen tersenyum ketika melihat Helena tengah duduk di salah satu kursi di pojokan bersama temannya. Arsen menghampiri Helena dengan senyum sumringah. “Hai!” sapa Arsen. Helena mendongak menatap Arsen tengah melempar senyum kepadanya. Rina menatap atasannya tanpa berkedip, baru kali ini ia menatap Arsen begitu dekat seperti ini. “Ternyata makin tampan jika di lihat lebih dekat seperti ini.” Rina bergumam sendirian. “Kalian mau makan siang? Kebetulan saya sendiri, biarkan saya bergabung dengan kalian, tenang saya yang akan traktir.” Arsen tersenyum. “Tidak! Anda cari teman yang lain saja, kita tidak membutuhkan teman,” tekan Helena. Rina menendang kaki Helena, membuat Helena meringis kesakitan. “Apaan, sih?” “Silahkan duduk, Pak, kita juga hanya berdua kok,” Rina mempersilahkan Arsen untuk duduk. “Rina, apaan sih kamu? Aku nggak mau!” “Dia atasan kita, kamu yang apa-apaan, hargain donk,” bisik Rina. “Aku nggak suka sama dia.” “Nggak suka sama dia? Itu urusan belakang.” Rina berbisik, sesekali menatap Arsen yang tengah memesan makanan lewat daftar menu. “Rin—“ “Diam, La, kita ditraktir loh ini, ini bisa jadi bahan pamer sama Jojo dan gengnya.” Rina tersenyum sumringah. “Aku akan membayar makananku sendirian,” kata Helena. “Apaan sih kamu, kita belum juga memulai makan, tapi kamu sudah merusak suasana.” Rina menggeleng. “Pokoknya aku akan membayarnya sendiri, tidak ada traktir hari ini!” tekan Helena.             “Baiklah, terserah kamu,” jawab Arsen. “Ada apa dengan kamu dan Pak Arsen?” tanya Rina. “Kita nggak ada apa-apa.” “Terus kenapa kedengarannya kamu membencinya?” “Karena dia patut di BENCI!” Helena sengaja berbicara nyaring agar Arsen mendengarnya. Arsen hanya tersenyum menanggapi perkataan Helena. Rina mendapatkan telpon ketika makanan baru saja datang. “Maafkan saya, Pak, saya harus pergi, ada urusan.” Rina mencari alasan agar Helena dan Arsen bisa mengobrol tanpanya. “Kamu mau kemana?” tanya Helena. “Mbak Koila menelponku,” jawab Rina. “Aku ikut!” “Kamu mau membuang makanan? Katanya kamu yang akan membayar makananmu sendiri. Bukannya kamu anti membuang makanan?” tanya Rina, membuat Helena memberi isyarat agar ia bisa pergi dari sini. “Maaf ya, Pak, saya pergi dulu.” Rina berjalan meninggalkan Helena dan Arsen yang tengah saling mencuri pandang. Sepeninggalan Rina, Helena berdeham membuat Arsen tertawa kecil tanpa disadari Helena, hanya seperti ini yang membuat Arsen merasa nyaman dan tenang. “Kenapa kamu menunduk? Apa saya telah membuat moodmu hilang?” tanya Arsen. “Kalau anda tahu, kenapa anda masih mengejar saya? Sepertinya anda tidak pantas menerima perlakuan santun saya, mulai sekarang biarkan saya berbicara informal.” Helena memberi jeda. “Please, jangan menggangguku, aku nggak tahu apa yang kamu inginkan dariku, tapi sikapmu ini salah.” Helena menggeleng. “Salah? Beginilah caraku menyukai seseorang, aku pasti akan mengejarnya meski dia sudah memiliki kekasih, bahkan jika dia memiliki suami.” Arsen menyatakan hal yang membuat mata Helena membulat. “Jangan becanda, kamu nggak menyukaiku, hanya saja kamu–“ “Aku paling tahu bagaimana perasaanku, aku menyukaimu.” Helena berusaha mengatur detak jantungnya. “Pertemuan kita sangat singkat, namun kamu sudah menyatakan perasaan suka terhadapku? Apa itu masuk akal?” “Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk menyukai seseorang, jadi jujur pada hatimu dan lihat aku sebentar saja.” “Itu tidak perlu.” Helena menggeleng, menolak dengan tegas. “Kenapa?” Arsen memberi jeda. “Kamu takut bahwa ketika kamu melihatku, hatimu akan goyah?” Helena menghela napas. “Kamu pikir, kamu siapa?” “Sudah, kan? Aku perduli terhadapmu.” Helena sejenak memalingkan wajah dan mengedarkan pandangan seraya menarik napas dalam-dalam, ia tidak tahu bagaimana caranya menghadapi sikap atasannya itu, yang sudah berhasil membuat hatinya goyah akan perasaannya terhadap Bara. Bara menatap Helena yang memilih memalingkan wajah dan tidak melihatnya. “Tidak masalah jika kamu tidak mau menatapku. Aku hanya ingin kamu menyadari perasaanku dan perasaanmu sendiri.” “Aku tidak menyukaimu, aku sudah memiliki kekasih, kamu jangan selalu berpikir bahwa perasaanku meragukan kekasihku.” Helena menunjuk Arsen, sejenak menatap pria yang sudah berhasil mengganggu harinya. **** Helena berjalan memasuki bar dimana Rina menunggunya, setelah bertemu Arsen, Helena memilih menenangkan perasaannya di bar. “Tumben kamu mengajakku kemari? Bukannya kamu sudah lama hijrah?” Rina terkekeh. “Aku ingin minum, semoga saja Tuhan mengampuniku, jika hari ini aku pulang dalam keadaan mabuk.” “Aku nggak kepengen minum, sih. Tapi, karena kamu memaksa, aku jadi kemari.” “Baiklah.” “Kamu tenang saja, aku yang akan mentraktirmu,” “Hari ini, biarkan aku menikmati waktu dengan uangku sendiri.” “Bara menyuruhmu berhemat.” “Biarkan saja aku boros untuk hari ini saja.” Helena meyakinkan diri, bahwa yang ia lakukan memang benar. Ia ingin sesekali tidak mengikuti arahan Bara tentang hemat dan tidak terlalu boros. Rina tersenyum melihat perubahan sikap Helena. Arsen berhasil membuat Helena bingung dengan perasaannya. “Sepertinya aku harus mengatakan ini deh, apa Pak Arsen sudah berhasil membuat hatimu goyah? Jika iya, berarti kamu menyukainya.” Rina mencoba menyelidiki perasaan sahabatnya. “Aku tidak menyukainya, Rina.” “Terus kenapa kamu mengajakku minum setelah bertemu dengannya?” “Apa kamu harus bertanya? Bisa kan kita tidak membahas Arsen?” “Aku ingin tahu apa yang kamu lakukan dan yang kamu bicarakan dengannya setelah aku meninggalkan restoran.” “Apa yang harusnya ku lakukan dengan Arsen? Aku bahkan belum memarahimu karena meninggalkanku berdua dengan Arsen, sedangkan kamu tahu sendiri, aku sedang menghindarinya.” Helena menatap sahabatnya. “Aku pergi karena Mbak Koila memintaku datang secepatnya,” “Jangan bohong!” “Baiklah. Aku pergi karena ingin membebaskan diriku dari percakapan kalian, aku memang seharusnya tidak di sana … seharusnya kamu sadar, jika Arsen jelas mengejarmu.” “Bukan begitu, kamu salah paham, kita hanya … sudahlah, aku juga akan menikah, tidak baik membahas pria lain.” Helena menggeleng. “Kau akan menikah dengan Bara adalah masa depan. Sedangkan Arsen mengejarmu adalah masalah saat ini. Terus terang, bahkan jika kamu sudah menikah, kamu tidak bisa menghentikan seseorang untuk mengejarmu.” Helena terdiam, jelas perkataan Rina masuk ke telinganya dengan menyaring setiap kata. Helena menoleh menatap sahabatnya. “Tidak bisakah kita membicarakan topik lain?” “Kenapa kita tidak bisa membicarakan masalah ini? Apa karena aku benar?” “Tidak sama sekali.” “Jujur padaku … aku benar, kan? Bagaimana perasaanmu?” Rina menatap sahabatnya. “Aku tidak menyukainya,” “Benar?” “Iya.” “Tapi matamu terlihat jelas, bahwa kamu menyimpan rasa pada Pak Arsen. Dia memang lebih baik dari Bara.” tutur Rina. Helena menoleh menatap sahabatnya. “Arsen lebih baik dari Bara? Itu salah!” “Salah? Terus apa yang ku katakan tentang perasaanmu, benar?” “Jangan memancingku, Rin, aku tidak menyukai pria itu dan aku bukan siapa-siapa untuk dikejar pria seperti Arsen.” Helena menggeleng, membuang jauh pikirannya tentang perkataan Rina. “Rasa nyaman dan rasa suka, tidak melihat dari kamu siapa dan asal usulmu.” “Jangan memulai berspekulasi, Rin. Aku bilang tidak, ya tidak!” tekan Helena. “Baiklah. Anggap saja kau benar.” “Lagian aku sudah mau menikah, jangan membahas tentang perasaan yang tidak pernah ada diantara aku dan Arsen.” “Apa kamu mempertahankan perasaanmu terhadap Bara, karena kamu akan menikah? Jika tidak? Apa perasaanmu akan memilih Pak Arsen?” Rina benar-benar menyelidiki perasaan Helena, ia sangat tahu apa yang kini dipikirkan sahabatnya dan apa yang membuat sahabatnya gelisah. “Tidak! Aku bilang tidak! Tetap tidak!” Rina menghela napas. “Mungkin kamu belum menyadarinya saja.” “Sudahlah, Rin, kamu jangan menganggap Arsen lebih baik karena dia kaya raya dan mengabaikan perasaanku terhadap Bara karena dia miskin,”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD