“Apa kabar, Ma?” tanya Arsen pada sang Mama lewat VC.
“Alhamdulillah, Mama baik-baik saja, papamu juga begitu.”
“Apa kemarahan Papa belum reda?”
“Belum, Sayang, kamu tenang saja, Papa kamu itu marahnya hanya sebentar kok, yang terpenting bagi kami berdua, kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan,” tutur Naomi pada putranya.
“Ucapkan kata maafku untuk Papa, aku bukannya menolak untuk melanjutkan usaha Papa di sana, tapi aku ingin mandiri dan tidak bergantung kepada Papa juga Mama.”
“Sayang, cepat atau lambat Mama dan Papa kamu akan pergi menghadap ilahi, kami sudah tua, Nak, jadi siapa lagi yang akan meneruskan bisnis Papa kamu jika bukan kamu?”
“Karena itu biarkan aku belajar dari perusahaan orang lain.”
“Baiklah, kamu baik-baik ya di sana, apa kamu sudah bertemu Aleia?”
“Sudah, Ma.”
“Aleia sekarang kerja dan tinggal dimana?”
“Dia kerja sebagai manager, Ma dan dia juga tinggal di apartemennya.”
“Kamu harus menjaganya.”
“Dia bukan anak kecil untuk aku jaga.”
“Tapi, dia tunanganmu, Nak.”
“Mama jangan terlalu memanjakannya.”
“Baiklah, papamu memanggil Mama, sudah dulu ya, Nak. Kamu hati-hati di sana, Mama akan menelponmu lagi nanti.”
“Iya, Ma. Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumssalam.”
Arsen mendengkus, papanya menentang keras keputusannya untuk menjadi CEO di perusahaan ini, karena mengingat jika Arsen adalah ahli waris satu-satunya yang bisa meneruskan bisnis dan usaha papanya.
***
Helena berjalan memasuki ruangan Koila, karena panggilan managernya itu.
“Ada apa, Mbak? Apa saya membuat kesalahan lagi?” tanya Helena, ragu.
“Tidak. Pekerjaanmu sangat sempurna, saya memanggilmu karena CEO menyuruh kamu untuk membawakan laporan ini ke ruangannya sebelum rapat.”
“Apa harus saya, Mbak? Kan ada yang lain.”
“Pak Arsen meminta saya untuk menyuruh kamu, bukan orang lain, kamu mau menolak perintah atasan kita?”
“Baik, Mbak, akan saya bawa laporan itu ke atas.”
Helena menghela napas, ia sebenarnya malas bertemu Arsen, apalagi mengingat jika setiap bertemu Arsen, Arsen akan mengganggunya dan membuat perasaan Helena kepada Bara menjadi ragu.
“Maaf, Mbak Jennifer, saya kemari mau menitipkan laporan keuangan untuk Pak Arsen.” Helena menyerahkan dokumen kepada Jennifer.
Suara pintu terbuka, membuat Helena terkejut bukan main. “Pak Rubi?”
“Kamu membawa laporannya? Silahkan masuk, Pak Arsen sudah menunggu.” tutur Rubi.
“Saya titip saja kepada Mbak Jen, saya masih ada pekerjaan,” Helena menolak.
“Kamu jangan menolak perintah Pak Arsen, kamu mau dipecat?” tanya Jennifer, membuat Helena menghela napas pelan.
“Baiklah, saya masuk dulu.” Helena berjalan memasuki ruangan atasannya itu dan melihat Arsen seperti biasa tengah menginput sesuatu dengan kacamata baca yang ia kenakan.
“Pak, saya membawa laporan keuangan yang anda minta.” Helena mencoba santun dan menaruh laporannya di atas meja Arsen. “Saya permisi, Pak.”
“Kamu mau langsung pergi?” tanya Arsen, mendongak dan membuka kacamatanya.
“Maksudnya?”
“Kamu sudah tidak membutuhkan buku catatanmu lagi?”
Satu hal yang di lupakan Helena, buku catatannya masih ada pada Arsen.
“Saya minta buku catatan saya kembali,” kata Helena.
“Aku baru selesai membacanya jadi saya kembalikan, cerita didalamnya menyentuh sekali.” Arsen sengaja menyindir. Membuat Helena menghela napas.
“Anda sudah tahu siapa pemiliknya, kenapa anda masih membacanya? Itu mengganggu privasi saya, semua orang memiliki privasi masing-masing, jadi anda tidak berhak untuk membaca rahasia saya.” Helena tanpa jeda.
“Tapi saya sudah terlanjur membacanya.”
“Kembalikan buku catatan saya sekarang juga!”
“Saya baru tahu jika kamu dan pacarmu itu memiliki rencana untuk membeli rumah yang sangat sederhana, namun layak dihuni.” Sejenak Arsen tertawa kecil, tawa khasnya yang penuh dengan kesombongan. “Dan sudah lima bulan kamu dan pacarmu tidak pernah berhasil mendapatkan rumah.”
“Seperti apa yang kamu tulis, saya jadi merasa pacarmu itu tidak berniat menikahimu.” Arsen menyeringai.
Helena mendengkus. “Cukup! Saya tidak meminta pendapat anda setelah membacanya, kembalikan saja buku catatan saya!”
“Tinggalkan pacarmu! Jangan bertahan hidup dengan seseorang seperti itu. Pria itu harus rela berkorban bukan malah sebaliknya.” Arsen kembali menambahkan. Helena mencoba menahan amarahnya.
“Anda siapa menyuruh saya memutuskan hubunganku? Anda tidak memiliki hak dan kewajiban untuk menyuruh saya.”
“Kamu sebenarnya bodoh atau pura-pura bodoh? Kamu sudah lama menyadari hubunganmu dengan pacarmu itu tidak sehat, dimana seorang wanita yang harusnya memiliki kehidupan, namun malah disuruh kerja keras bekerja didua tempat untuk menambah uang nikah? Ujung-ujungnya jika nikah di KUA juga, bagaimana? Sia-sia donk perjuangan kamu yang selama ini menahan diri untuk makan makanan kesukaan kamu.” Arsen tidak paham dengan apa yang kini dilakukannya, tapi menyuruh Helena memutuskan hubungannya dengan Bara, membuat Arsen lupa bahwa dia bukan siapa-siapa.
“Meski saya kelaparan dan harus bekerja di lima tempat sekaligus, itu tidak masalah bagi saya, karena saya mencintai pacar saya, dia akan menjadi suami saya sebentar lagi, karena perasaan itu tidak semudah apa yang anda katakan,” Helena mendengkus, berusaha mendapatkan buku catatannya lagi.
“Saya yakin, kamu tidak akan bahagia menikah dengan pria yang melebihi hemat seperti pacarmu itu.” Arsen keukeuh.
“Itu sudah menjadi hidup saya, anda tidak usah ikut campur.” Helena merebut bukunya dan meninggalkan Arsen yang masih menatap punggungnya.
“Apa yang aku lakukan? Kenapa aku harus ikut campur dengan kehidupan asmaranya? Aneh,” gumam Arsen.
Helena berjalan meninggalkan ruangan Arsen tanpa menoleh melihat Rubi dan Jennifer yang tengah menautkan alis melihatnya keluar dari ruangan Arsen dengan tergesah-gesah.
“Kapan sih aku bisa menjauh dari pria itu?” gumam Helena.
“Siapa yang ingin kamu jauhi?” tanya Rina, ketika melihat sahabatnya itu tengah bergumam sendirian.
****
“Ada apa, Sob? Kenapa wajahmu masam seperti itu? Tumben juga kamu ngajakin aku ke club siang hari?” tanya Deris.
Saat ini, Arsen dan Deris tengah menghibur diri di club, melihat semua orang happy mendengarkan dentuman musik yang keras. Arsen dan Deris sengaja duduk menjauh dari keramaian agar bisa mengobrol.
“Aku mau tanya, jika ada seorang pria ikut campur dalam urusan asmara seorang wanita yang baru dikenalinya itu, menurut kamu gimana?” tanya Arsen.
“Kamu maksudnya?”
“Ya.”
“Kamu ngurusin hubungan asmara siapa emangnya?”
“Karyawan di kantor.”
“Cantik dia?”
“Iya.”
“Jawabannya mah hanya satu, kamu suka sama dia, ada perasaan nyaman ketika dia ada didekatmu.”
“Masa?”
“Kamu tanya hatimu aja, aku mah nggak tahu hati kamu ngomong apaan sekarang,” kekeh Deris. “Kamu suka sama wanita lain, apa nggak masalah dengan Aleia?”
“Kamu ‘kan tahu aku sama Aleia kayak gimana, kita udah nggak kayak dulu.”
“Tapi, setidaknya jangan memberikan harapan ke Aleia, dia itu tunangan kamu, jadi kamu jangan nyakitin dia hanya karena kamu suka sama wanita lain.”
Arsen mendengkus, ada perasaan bersalah pada Aleia tentang perasaan nyamannya pada Helena.
“Aku tahu perasaan itu bisa berubah kapan aja, nggak ada yang menjamin bahwa kamu bakal cinta selamanya sama Aleia, tapi setidaknya kamu harus menyelesaikan Aleia sebelum kamu mencintai wanita lain.” Deris menambahkan.
“Aku? Cinta? Sama wanita itu? Nggak sejauh itu juga, Der.”
“Perasaan suka mah sudah bisa dipastikan bakal jatuhnya ke cinta.”
“Itu mah kamu, bukan aku.” Arsen menggeleng.