Seketika terjadi jeda sejenak di antara mereka berdua setelah Kanae mendengar penjelasan singkat dari pria asing itu. Kanae merasa linglung mendadak. berpikir bahwa mungkinkah dirinya kini tengah bermimpi? Atau kah mungkin ini hanya semacam permainan Kamera Tersembunyi?
Yang lebih jelas, Kanae yakin bahwa dirinya tengah dibohongi oleh pria tampan di depannya ini. Tapi pertanyaan besar dalam kepala Kanae saat ini adalah, bagaimana pria itu bisa mengetahui nama ibunya? Kenapa dia harus datang tepat di saat Papa dan Bundanya telah tiada?
Kanae tidak memiliki sanak saudara lagi yang bisa dihubungi untuk memastikan kebenaran tersebut. Tentu saja Kanae tidak bisa mempercayai tiap ucapan pria itu dengan mudah.
“Aku tidak bisa ikut denganmu. Apa lagi ke Jepang? Aku tidak pernah pergi ke sana. Dan tempat sejauh itu, mana bisa aku akan ikut begitu saja. Aku tidak mengenalmu atau pun tidak pernah mendengar cerita yang kau katakan itu. Mungkin saja kau telah membohongiku,” jawab Kanae dengan mantap.
Tentu saja dirinya tidak mungkin akan mengikuti ucapan pria asing itu begitu saja, walau pria itu memiliki wajah tampan sekali pun. Jaman sekarang banyak aksi penculikan yang dilakukan orang pro, lalu mereka tidak sean untuk membunuhnya. Kanae tidak ingin terjebak dalam situasi mengerikan itu.
Sementara pria di depannya itu nampak tetap tenang mendengar penolakan Kanae, seolah hal itu bukanlah masalah berarti baginya. Dengan santai pria itu menyandarkan punggung tegap serta lebarnya pada punggung kursi dengan tetap memerhatikan Kanae dengan lekat.
Mata jelaga hitam itu seolah tengah mengawasi Kanae dengan begitu tajam tanpa sedikit pun pergerakan yang terlewat. Membuat Kanae merasa semakin tegang di tempat. Kanae merasa pria itu tengah menilai dirinya dengan kedua mata tajam itu, dan Kanae sangat tidak suka. Pria itu sangat tidak sopan bagi Kanae.
“Saya sudah mengatakan hal yang sesungguhnya, Nona Kanae. Dan sejujurnya saya juga tidak perduli akan pendapat anda. Baik menerima atau tidak, yang jelas saya sudah ditugaskan untuk membawa anda ke Jepang, bersama dengan saya. Untuk sekarang, tolong bersiaplah segera. Sebentar lagi kita akan berangkat,” ucap Shima menjelaskan.
Kening Kanae seketika mengerut tajam mendengar ucapan pria itu. Bagaimana bisa pria itu memutuskan pilihannya tanpa meminta persetujuannya lebih dulu? Kanae semakin tidak menyukai pria tersebut.
“Aku sudah mengatakannya padamu. Aku tidak akan ikut denganmu. Lagi pula bagaimana aku bisa berangkat dengan kondisi tubuhku seperti ini? Lebih baik sekarang kau pergi dari rumahku, dan jangan pernah mengganggu hidupku lagi. Apa kau mengerti itu?!” tegas Kanae sembari menunjuk pintu kamarnya yang tertutup, menyuruh pria bernama Shima itu pergi dari hadapannya.
Kanae sangat serius dengan ucapannya itu. Kepalanya saat ini terasa berat, dan tubuhnya terasa sangat lemas. Perutnya terasa begitu lapar. Kanae sudah cukup menderita untuk beberapa hari belakangan ini. Jadi gadis itu tidak ingin menambah beban hidupnya lagi dengan melibatkan diri pada pria asing yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya dengan bebas dan menyuruhnya untuk ikut bersamanya ke Jepang ini.
Kanae hanya ingin makan, lalu beristirahat penuh dalam kamarnya seharian ini. Itu saja. Namun sepertinya penegasan Kanae itu tidak berarti apa-apa untuk Shima. Bahkan pria itu tidak berjengit sedikit pun dengan bentakan Kanae, atau bahkan menolehkan pandangannya ke arah pintu yang Kanae tunjuk.
Dia hanya tetap bersikap tenang tanpa beban dan menatap lurus ke arah Kanae dengan kedua mata yang begitu tajam, seolah dia siap membius tiap orang yang ada di depannya dengan sorot mata miliknya itu. Sikap tenang pria itu justru membuat Kanae semakin tidak sabar melihatnya.
“Kenapa kau hanya diam saja?! Kubilang cepat pergi dari rumahku sekarang juga! Aku tidak ingin berurusan denganmu atau siapa pun itu!” bentak Kanae sekali lagi dengan suara satu oktaf lebih tinggi.
“Sayangnya saya tidak bisa menuruti keinginan anda, Nona Kanae. Saya hanya menjalankan perintah yang diberikan pada saya. Jika anda ingin menolaknya, maka silahkan anda mengatakannya sendiri secara langsung pada Tuan Iyoto nanti,” balas Shima dengan wajah datarnya. “Di Jepang tentunya,” tambahnya.
“Dan untuk masalah kesehatan anda, anda jangan khawatir, Nona Kanae. Kami telah menyiapkan pesawat berkualitas terbaik. Anda bisa beristirahat di sana selama perjalanan nanti. Dan kami juga telah menyiapkan perawat yang akan menjaga anda selama penerbangan nanti. Lagi pula kami juga berencana akan tetap membawa anda jika pun anda belum sadarkan diri tadi. Untuk sekarang bawahan saya sedang menyiapkan keberangkatan kita yang akan dilakukan tidak lama lagi,” jelas Shima.
“Apa?”
Kanae mau tidak mau hanya bisa melongo di tempat mendengar ucapannya yang terasa tidak masuk akal itu. Bagaimana bisa pria itu akan membawa tubuhnya yang tidak sadarkan diri ke Jepang secara paksa.
“Bukankah ini tindakan kriminal? Dia berusaha menculikku?”
Pikiran Kanae tidak bisa berhenti memikirkan hal buruk karena ucapan pria itu. Bukankah ini tidak bisa dibiarkan? Pria itu ingin menculiknya secara terang-terangan. Tidakkah seharusnya Kanae pergi keluar untuk mencari bantuan sekarang? Ya, hanya itu yang bisa dipikirkan Kanae saat ini.
Gadis itu langsung memegang kepalanya ketika secara tiba-tiba dia merasakan nyeri di sana. Kanae harus menahan tubuhnya yang condong ke depan untuk tetap menegak, sembari menahan rasa nyeri yang melanda kepalanya. Sepertinya berbicara dengan pria Jepang itu membuat demam Kanae menjadi semakin parah.
“Ugh, menyebalkan!” keluh Kanae dengan suara lirih.
“Lebih baik anda beristirahat saja, Nona Kanae. Sebentar lagi bawahan saya akan datang untuk membawa kita pergi,” celetuk Shima yang menyadari kondisi gadis itu menjadi semakin parah.
“Diam. Aku tidak ingin berbicara denganmu lagi,” sambut Kanae dengan ketus. Sungguh, Kanae hanya tidak ingin berdebat saat ini. Apa lagi dengan pria asing tidak jelas seperti Shima. Namun di waktu yang tepat, pintu kamar Kanae tiba-tiba diketuk dari luar.
“Shima-san, persiapan sudah selesai. Kita bisa berangkat kapan pun yang diperintahkan,” lapor salah satu pria di luar sana. Membuat Kanae langsung tertegun mendengarnya. Kanae tidak tahu apa yang tengah pria itu katakan karena pria luar di sana berbicara dengan Bahasa Jepang.
Namun apa pun itu, Kanae bisa merasakan bahwa pria itu mengatakan hal yang tidak Kanae inginkan. Tubuh Kanae kembali menegang secara otomatis. Gadis itu melirik ke arah Shima yang masih menatap lurus ke arahnya.
“Penerbangan kita sudah selesai dipersiapkan, Nona Kanae. Kita akan pergi sekarang juga,” ucap Shima yang lalu bangkit berdiri dari duduknya. Membuat Kanae seketika mendongak dan membolakan kedua matanya dengan bingung sekaligus panik secara bersamaan.
“Ap—apa ... apa yang kau katakan itu?!” tanya Kanae dengan nada gagap menatap Shima dengan pandangan waspada. Namun pria itu bersikap tidak perduli dengan respon yang ditunjukkan Kanae. Pria itu menoleh ke arah pintu kamar yang masih tertutup.
“Masuklah. Bawa Nona Kanae sekarang juga!” titah pria Jepang itu dengan mantap. Detik kemudian pintu kamar terbuka lebar menunjukkan 3 pria besar yang sempat Kanae lihat sebelum gadis itu tidak sadarkan diri tadi. Melihat ketiga pria itu tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya begitu saja, membuat Kanae semakin panik di tempat.
“Hei hei! Siapa kalian?! Siapa yang menyuruh kalian masuk begitu saja?! Pergi! Pergi!” teriakan Kanae semakin mengencang ketika ketiga pria itu langsung mengelilingi tubuhnya dan mulai mengangkatnya dengan mudah. Kanae ketakutan. Bahkan mereka langsung menutup mulut Kanae untuk mencegahnya berteriak lebih keras.
Kanae berusaha memberontak sebrutal mungkin. Namun tentu saja tenaganya yang lemah dan dalam kondisi lemas seperti itu tidak bisa dibandingkan dengan kekuatan dari tenaga 3 pria besar berotot seperti mereka. Kanae tidak bisa melakukan perlawanan lebih.
Mata lebar Kanae sempat melihat ke arah Shima yang menatapnya dengan wajah dingin tanpa bermaksud untuk menolongnya sama sekali. Pria itu bahkan mengalihkan pandang ke arah lain untuk berbicara dengan satu pria yang berdiri di sebelahnya. Tidak memedulikan Kanae lagi.
Membuat gadis itu merasa semakin membencinya. Mereka dengan serempak membawa Kanae ke dalam mobil hitam yang terparkir persis di depan rumahnya. Entah kenapa tidak ada siapa pun orang yang melihat dan datang untuk menolongnya. Membuat aksi penculikan itu berjalan begitu lancar.
Kanae hanya bisa menangis dalam diam, memikirkan masa depannya setelah ini. Dan pintu mobil akhirnya tertutup rapat, menyembunyikan Kanae yang berada di dalam mobil bersama dengan semua pria besar itu.