Tujuh

1037 Words
Namanya Putra. Putra Wijaksono. Pria yang berhasil meluluhkan hati Mae di bangku kuliah. Dia bisa menjadi sahabat, teman dan kakak bagi Mae. Pokoknya saat itu Putra adalah segalanya bagi Mae. Hidupnya. Hingga suatu hari Mae sadar jika dirinya yang bukan apa-apa tidak akan pernah bisa menjadi salah satu menantu keturunan darah biru. Ayah Putra yang berstatus pejabat negara tidak ingin Mae menjadi pasangan putra semata wayangnya. Padahal mereka sama-sama masih mahasiswa. Apa bedanya? Toh masih sama-sama minta uang saku. Hal ini membuat Mae tidak ingin berharap terlalu banyak akan hubungan mereka. Maka ketika mereka lulus Mae langsung pindah kost-an dan menghapus kontak Putra dari ponselnya. Yang ada di dalam pikirannya saat itu adalah mungkin Putra bukan jodohnya. Dengan hati hancur Mae berusaha sekuat tenaga melupakan Putra. Sebulan, dua bulan, hingga delapan belas bulanlah ia baru benar-benar melupakan pria itu. Tidak mudah, tapi Mae bersyukur ia berhasil melewati fase kesedihan itu. Hingga hari ini ia tak pernah menduga jika ia akan bertemu kembali dengan mantan kekasih sekaligus cinta pertamanya. "Putra..." balas Mae terkejut sambil melangkah mundur dari lift. Dari balik bulu matanya dia dapat melihat Putra masih tetap tampan dalam balutan kemeja navy pendek dipadu celana jeans panjang. Terlihat bukan pakaian biasa. Melainkan keluaran butik ternama yang dilihatnya di salah satu mall besar ibukota. Menyadarkan Mae jika Putra yang berdiri di hadapannya bukan lagi Putra yang pernah ia kenal. Putra yang sederhana. Melainkan seorang pria bonafide. Putra melangkah keluar dari lift dan berjalan hingga berdiri tepat dihadapan Mae. Senyum terbaik tercetak jelas di bibirnya. Senyum yang selalu dibuat Putra hanya untuk dirinya. Senyum yang masih diingat baik oleh Mae di dalam ingatannya. "Apa kabar?" tanya Putra sumringah. "Baik," sahut Mae pendek. Hati kecilnya ingin segera pergi dari sini. "Syukurlah. Kamu bekerja di sini?" tanya Putra lagi. "Nggak kok. Hanya mengunjungi...." Tiba-tiba saja ucapannya terhenti karena sesuatu menyentak kesadarannya. Rasanya ia tidak perlu memberitahu kebenarannya jika ia baru saja menjenguk calon mertua pura-puranya. "Salah satu kerabatku," ralatnya. Putra mengangguk mengerti. Pandangan matanya tak berhenti memandang Mae. "Bagaimana dengan menikmati secangkir kopi? Aku tahu kedai kopi yang enak di dekat sini?" ajaknya. "Maaf. Aku tidak bisa. Aku harus segera kembali ke kantor," tolak Mae cepat. "Ah... begitu? Lain kali mungkin?" tawar Putra tidak menyerah. Setelah enam tahun lamanya sejak mereka berpisah dan saat ini takdir kembali mempertemukan mereka lagi, dia tidak akan membiarkan Mae lepas dari pelukannya lagi. Cukup sekali saja ia melakukan hal bodoh. Membiarkan perempuan yang dicintainya pergi begitu saja! "Ya, ya... lain kali saja." Mae mengangguk bak robot. "Kalau begitu aku permisi dulu." Tanpa menunggu jawaban Putra cepat-cepat ia melangkahkan kakinya melewati tubuh pria itu. Namun Putra bertidak diluar dugaannya. Pria itu menangkap pergelangan tangannya. Alhasil Mae dibuat terkejut olehnya. Dengan mata terbuka lebar Mae memandang genggaman itu dan wajah Putra secara bergantian. Jantungnya yang sudah lama tenang mulai kembali bereaksi menabuh drum. Perutnya mulai melilit kesakitan. "Ma-maaf. Aku hanya ingin tahu nomor ponselmu," jelas Putra diiringi senyum kaku. "Itu juga jika kamu mengizinkan," imbuhnya Bibir Mae terbuka dua detik sebelum akhirnya kembali menutup. "Untuk apa?" "Aku akan mentraktirmu secangkir kopi. Jadi, aku rasa aku membutuhkan nomor ponselmu supaya aku bisa menghubungimu." "Putra, aku rasa itu tidak perlu." "Mengapa?" "You know, kamu dan aku sudah berakhir. Jadi, aku rasa kita tidak membutuhkan waktu untuk menikmati kopi bersama." "Aku mengerti. Tapi bagaimana jika sebagai teman? Bagaimanapun kita pernah menjadi teman bukan?" Mae memandang kedua manik cokelat milik Putra sesaat. Mencoba menyelami apa yang ada di dalam sana. Namun, semakin ia menyelam terlalu dalam justru dia tenggelam semakin dalam dengan kenangan manis yang pernah terjadi diantara mereka enam tahun yang lalu. "Baiklah," kata Mae akhirnya mengalah. Nyatanya ia tidak mempunyai celah untuk melarikan diri. Mungkin satu kali pertemuan akan memuaskan Putra hingga akhirnya pria itu akan mundur. Toh kisah mereka telah lama berakhir. Mae yakin cinta diantara mereka telah hilang. "Terima kasih," ucap Putra tulus. "Aku akan menghubungimu." Setelah bertukar nomor ponsel Putra membiar Mae pamit karena harus kembali ke kantor. Dari balik bulu matanya Putra memandang kepergian Mae dengan senyum yang tak pernah memudar dari bibirnya. Akhirnya Tuhan mengembalikan mataharinya kembali. *** Keesokan paginya sebuah pesan singkat dari Putra membuat hari Mae tidak tenang. Rasanya mengerjakan ini salah dan mengerjakan itu juga salah. Alhasil apa yang dikerjakannya selalu tidak pernah benar. Sehingga saat makan siang Eni tidak dapat menahan pertanyaan yang sejak tadi bersemayam di dalam hatinya. "Ada apa sih dengan lo hari ini?" Penasaran sudah memenuhi hatinya. Belum lagi melihat tingkah laku Mae yang resah. Siapa yang melihatnya pun tahu jika Mae sedang tidak baik-baik saja. "Gue?" Tunjuk Mae pada dirinya sendiri. "Bukan. Tapi hantu sebelah lo," jawab Eni asal. "Jangan sembarang ngomong deh," tegur Mae yang paling parno sama masalah hantu. "Jadi cerita dong sama gue. Ada masalah apa lagi?" Mae tampak berpikir apakah ia harus bercerita atau tidak. Masalah Putra tak ada hubungannya dengan Edward Clay Gunawan. Jika Eni sampai tahu dan masalahnya dengan Putra sampai ke telinga pria itu, bisa bahaya! Bagaimana kelanjutan nasib hidupnya selama dua tahun nanti? Maka dengan penuh rasa bersalah Mae menggelengkan kepalanya. "Nggak ada. Cuma masalah kerjaan aja," dustanya. "Yakin?" Mae mengangguk pelan. "Yaelah... gue kira lo kenapa. Masalah kerjaan nggak usah lo pikirin. Gue siap bantu lo. Yang penting urusin masa depan lo sama bos lo itu. Kalau bisa lo mesti pertahanin pernikahan ini," cerocos Eni. "Maksud lo?" tanya Mae tidak mengerti. Eni berdecak kesal. Ia mendekatkan wajahnya dan meminta Mae melakukan hal yang sama. "Jika Edward jatuh cinta sama lo, itu artinya hidup enak lo akan berlanjut. Lo nggak usah mikirin tempat tinggal dan masalah kerjaan, lo bisa resign. Lo nggak mau kan jadi editor sampe keriput lo susah dihitung?" Satu... Dua... Tiga detik kemudian Mae menoyor kening temannya itu. "Khayalan lo terlalu tinggi." "Lho?? Di mana letak masalahnya?" tanya Eni tidak terima. "Nggak. Gue udah tanda tangan kontrak dan nggak akan ada yang berubah dari kontrak itu. Termasuk perasaan," jawab Mae mantap. "Tidak ada seorangpun yang dapat melihat masa depan, Mae sayang..." Sayangnya tak ada yang tahu dengan apa yang akan terjadi di masa datang. Karena itu masih rahasia Yang Maha Kuasa. Sama seperti perasaan Mae saat ini belum tentu akan sama dengan suatu hari nanti. Jadi biarlah waktu yang akan menjawabnya suatu hari nanti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD