Sembilan

1066 Words
"Mengapa secepat itu?" protes Mae. Ia tidak pernah menyangka jika pernikahan palsu itu akan segera dilaksanakan. Di dalam pikirannya, ia masih bisa bebas selama beberapa bulan ke depan. Setidaknya itulah yang berada di dalam pikirannya selama ini. Namun, siapa sangka khayalan itu akan menghilang bak kabut tipis. "Ibuku sudah siuman dan beliau menanyakan perkembanganku. Saat itulah dia tahu semuanya dan memintaku menikahimu bulan depan," jelas Edward dengan wajah datarnya. Tak ada raut cemas ataupun protes. Membuat Mae terheran-heran dibuatnya. Bagaimana bisa pria ini begitu santai? "Demi Tuhan bulan depan itu dua minggu lagi!" pekiknya tertahan. "Tidak bisakah kamu mengundurnya?" Edward memandang wajah Mae untuk beberapa detik sebelum akhirnya membuka suara. "Apa kamu lupa alasan mengapa kamu berada di hotel ini?" Bibir Mae terbuka lebar. Ucapan Edward menyadarkan dirinya dan membuka pikirannya dalam hitungan detik. Maka dengan cepat dia menutup bibirnya dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ah...benar. Kalau begitu mari kita menikah," ujarnya diiringi tawa kaku. Edward memandang semua tingkah laku Mae dalam diam. Ia tidak tahu harus tertawa atau marah. Sikap perempuan ini membuatnya sedikit kebingungan. Tidak seperti kekasihnya Kayana yang begitu memegang prinsip teguh. Sangat berbanding terbalik. "Aku akan mempersiapkan pernikahan kita secepat mungkin. Dan kamu, persiapkan dirimu untuk bertemu dengan ibuku. Aku akan meminta Hendra untuk memberikan dokumen yang berisi data pribadiku. Jadi pastikan kamu mempelajari semua itu dan jangan berbuat kesalahan ketika bertemu dengan ibuku nanti," kata Edward mengingatkan yang dibalas Mae dengan anggukan patuh. Karena sekarang ia lebih merasa dirinya seorang karyawan daripada seorang calon istri seorang CEO terkenal. Benar-benar sulit dipercaya jika sebentar lagi dia akan menikah? Sepertinya dia harus segera berbicara dengan ayahnya. Tapi bagaimana cara berbicara dengan ayahnya jika pernikahan ini hanyalah pernikahan palsu? "Ada apa?" tanya Edward ketika melihat Mae terdiam setelah beberapa menit berlalu. "Um...begini, aku belum berbicara dengan ayahku perihal pernikahan pura-pura ini," jawab Mae putus asa. "Jika beliau tahu aku menikah pura-pura seperti ini, aku yakin ayahku akan marah besar. Edward terdiam. Ia tampak berpikir keras untuk mencari jalan keluar masalah ini. Sedangkan Mae tampak panik di tempatnya saat ini. Cemas dan takut tercetak jelas di dalam raut wajahnya. Terlihat jelas dari bagaimana dia mulai mengigiti kukunya. "Kamu tidak usah khawatir. Biar aku yang mengatasi masalah ayahmu. Berikan saja nomor telepon dan alamat ayahmu," putus Edward. "Ta-tapi... ba-bagaimana kamu akan mengatasinya?" "Itu urusanku. Yang terpenting persiapkan dirimu untuk menemui ibuku lusa nanti. Beliau ingin bertemu denganmu." Mendengar ucapan Edward berhasil membuat bibir Mae terbuka lebar. Sulit dipercaya jika pria yang suka mengatur ini adalah pria yang akan menjadi suaminya kelak. Meski bukan suami sebenarnya. tapi dia akan menghabiskan waktu selama dua tahun dengan pria ini! Ah, rasanya terlambat jika Mae harus menyesal! Akhirnya yang bisa dia lakukan hanya mengangguk pasrah dan mempercayakan semuanya kepada pria itu *** Siang itu Mae memutuskan untuk mengenakan blouse putih dipadu celana panjang hitam dam sepatu flat shoes berwarna nude dengan harapan calon mertua palsunya tidak akan kecewa dengan penampilannya hari ini. Rambut sebahunya di curly asal dan tidak lupa Mae menyapukan make up tipis di wajahnya. Tujuan dia melakukan semua hal itu hanya untuk satu tujuan, calon mertua palsunya bisa menerima dan mempercayai semua kebohongan ini. Ddddrrrtttt.... Ponsel Mae yang berada di atas meja rias bergetar. Tanpa melihat siapa yang menghubunginya Mae langsung menjawabnya. "Halo..." "Aku sudah di lobby hotel. Waktumu lima menit untuk sampai di sini." Setelah mengatakannya sambungan telepon pun terputus. Mae memandang layar ponselnya dengan pandangan tidak percaya. Mata membesar dan bibir terbuka lebar. Bagaimana bisa ada pria yang bertindak seenaknya seperti Edward!? Sesuai dengan perintah Edward, dengan cepat Mae memandang wajahnya sekali lagi untuk memastikan riasan wajahnya tidak tebal seperti badut. Setelah merasa oke dia memandang penampilannya untuk meyakinkan dirinya jika penampilannya kali ini tidak akan mengecewakan sang tukang perintah. Setelah itu Mae langsung berlari kecil melangkah keluar kamar hotelnya. Delapan menit kemudian ia tiba di lobby dan menemukan mobil sedan hitam milik Edward sudah terparkir manis di sana. Sambil berusaha menenangkan napasnya yang menderu akibat berlari, Mae melangkah masuk ke dalam mobil di mana seorang bell boy telah membukakan pintu mobil untuknya. "Terima kasih," gumam Mae seraya masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil Edward tampak duduk santai di sebelahnya. Raut wajahnya yang datar membuat Mae ingin melempar wajah tampan itu dengan sebuah kue black forest. "Kamu terlambat tiga menit," adalah kalimat pertama yang diberikan Edward tanpa sedikitpun melirik dirinya. Pria itu lebih memilih melirik jam tangannya daripada Mae yang sudah bersusah payah mempercantik dirinya. "Bagaimanapun aku perempuan normal yang ingin terlihat cantik," jawab Mae asal yang akhirnya berhasil membuat Edward menoleh ke arahnya dengan sebelah alis terangkat. "Cantik?" dengus Edward tidak percaya akan pendengarannya. Di sisinya Mae melemparkan pandangan jengkel ke arah Edward sebelum akhirnya memutuskan untuk diam dan berharap dua tahun ini akan berjalan lebih cepat dari yang diharapkannya. Setelah itu keduanya memilih untuk diam dengan pikirannya masing-masing. Edward yang lebih sibuk dengan ponselnya sedangkan Mae memilih untuk memandang ke arah luar jendela mobil. Setidaknya di luar sana dia dapat menemukan kebebasan. Di mana ada beberapa pasangan yang tampak mesra berboncengan dengan kekasihnya walaupun menggunakan motor bebek. Atau ada juga pasangan yang bercanda tawa duduk bersisian di halte bus. Semua pemandangan itu membuat Mae sedikit merasa iri dengan mereka karena mereka bisa memiliki kebahagiaan untuk bebas. Bebas memilih dengan siapa mereka akan berpasangan. Tidak seperti dirinya yang terjebak dengan pria pengatur di sisinya. Jika bukan karena dirinya yang sedang sial, mungkin Mae tidak perlu mengalami semua ini. Hanya saja bagian terburuknya dewi fortuna sedang tidak berada di sisinya saat ini. "Kamu sudah mempersiapkan semua yang aku perintahkan kepadamu?" kata Edward membuka percakapan lagi. "Sudah," jawab Mae singkat. "Aku harap kamu tidak melakukan kesalahan," kata Edward mengingatkan. Lebih tepatnya terdengar mengancam daripada mengingatkan. "Kamu bisa mengandalkan aku. Lagipula aku bukan orang yang suka makan gaji buta," sahut Mae asal. "Apa maksudmu?" Edward menoleh dan memandang Mae dengan matanya yang membesar. "Bukan apa-apa." Mae memandang Edward dan memberikan senyum singkat sebelum akhirnya kembali memandang keluar jendela. Di sisinya Edward menarik napas panjang. Bagaimana bisa ada perempuan yang selalu membantah setiap kata-katanya? Sangat berbanding terbalik dengan ibunya yang tampak lemah lembut. Mengingat kejadian itu membuat hati Edward pedih. Andai saja boleh memilih ia ingin menukar posisinya saat itu dengan orang lain. Sayangnya Tuhan berkata lain. Yang Maha Kuasa lebih suka jika dirinya dibebani perasaan bersalah seperti saat ini. Tanpa sepengetahuan Mae, diam-diam Edward meliriknya. Maafkan aku Mae... Maafkan aku karena telah membuatmu sedih... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD