Enam

1279 Words
Ini benar-benar luar biasa! teriak Mae dalam hati. Tidak pernah muncul dalam pikirannya akan menikmati semua kenyamanan ini. Tempat tidur empuk yang sangat luas ditambah bathub yang dipenuhi aroma mawar akan dinikmatinya. Belum lagi makan malam yang sudah berada di dalam perutnya. Steak well done yang empuk dan rasanya melebur menjadi satu dengan lidahnya, benar-benar lezat! Ah... haruskah ia berterima kasih pada pria itu? Tidak. Tidak perlu. Toh semua ini memang hak-nya setelah menandatangani surat kontrak itu. Bukan karena kebaikan hati pria itu. Siapa tadi namanya? Mae mencoba mengingat nama pria yang akan menjadi suaminya selama dua tahun. Edward Clay Gunawan. Suami? Memikirkan kata itu membuat Mae bergidik ngeri. Sungguh dia belum terbiasa akan kata itu. Dalam kesendiriannya di kamar suite ini Mae mulai mengetikkan nama lengkap pria itu. Detik berikutnya profil lengkap dan berbagai berita muncul di layar laptopnya. Edward Clay Gunawan, seorang pebisnis properti yang patut diacungi jempol diusianya yang masih terbilang muda. Edward Clay Gunawan, CEO baru hotel Pure Purnama Hotel. Edward Clay Gunawan mendapatkan penghargaan sebagai pengusaha termuda se-Indonesia. Dan masih banyak lagi beritanya. Benar-benar membuat Mae bingung harus memulai membacanya dari mana. Sampai satu judul artikel berhasil menarik perhatiannya. Edward Clay Gunawan hendak membawa kekasihnya Kayana Muliawan ke pelaminan. Lho? Ternyata dia sudah punya kekasih. Tapi mengapa dia membutuhkan seorang istri kontrak jika dia memang sudah punya kekasih? Lalu dimana kekasihnya sekarang? Juga bagaimana perasaannya kekasihnya itu? Dan mengapa dia memilih menikah dirinya? Bukan kekasihnya yang cantik itu? Berbagai pertanyaan dan persepsi mulai muncul di dalam kepala Mae. Ia tidak habis pikir dengan semua ini. Jelas-jelas pria itu memiliki kekasih? Kalau begitu mengapa dia tidak menjadikan kekasihnya sebagai istrinya? Mengapa harus dirinya? Dasar laki-laki buaya! Pandai sekali mempermainkan wanita! Ini tidak benar. Sepertinya dia harus berbicara dengan Edward Clay Gunawan, putusnya. Tak lama kemudian ponselnya bergetar. Dengan emosi yang masih melanda, Mae meraih ponselnya dengan kasar. Kemudian dia melihat isi pesan yang baru saja diterimanya. Jam 1 siang di Siloam Hospital. ~ Edward Benar-benar Bos besar. Seenaknya saja memerintahnya! Tapi mau tidak mau, Mae harus memenuhi perintah pria itu. Kebetulan juga dia memiliki hal yang harus dibicarakan dengan pria itu kan? Tahu jika dirinya tak punya pilihan maka Mae menuruti permintaan Edward. Ia pun bersiap-siap menuju rumah sakit tepat waktu. Sesampainya di rumah sakit itu, Mae mendapatkan pesan berupa info tentang lantai dan kamar yang harus ditujunya. Dalam diam ia menuruti semua perintah Edward. Mae jelas tahu dengan baik mengapa dia harus datang ke rumah sakit ini. Hanya saja ia tidak menyangka akan secepat ini menemui ibu dari Edward Clay Gunawan. Di lorong yang sunyi itu Mae dapat melihat Hendra berdiri tegak di depan sebuah pintu kamar VIP. Pakaian jas hitam yang dikenakannya lebih membuat dirinya mirip seorang mafia daripada sekretaris. "Kau sudah datang," adalah kalimat pertamanya ketika melihat kedatangan Mae. "Ya, bosmu itu menyuruhku datang dan aku tidak punya pilihan lain. Kau tahu itu bukan?" keluh Mae. Hendra terkekeh. "Beliau memang seperti itu. Tapi sebenarnya hatinya baik. Sekarang masuklah. Beliau ada di dalam." "Haruskah aku masuk?" tanya Mae berbisik. Hendra mengangguk lalu hendak membukakan pintu tanpa persetujuan Mae. Alhasil Mae melemparkan pelototan kepada Hendra. "Satu hal lagi," tahannya. "Pak Edward meminta kau membantunya berbicara dengan ibunya." Mendengar pesan yang disampaikan Hendra sukses membuat kening Mae menyatu. Membantu berbicara? Berbicara apa? Sambil menebak-nebak langkah Mae membawanya masuk ke dalam ruangan saat itulah ia menemukan sosok Edward duduk di sisi tempat tidur pasien. Dipenuhi rasa penasaran langkah Mae mendekati mereka. Saat itulah Edward memutar tubuhnya dan ketika pandangan mata mereka bertemu, untuk pertama kalinya Mae menemukan senyum terhangat yang tercetak di wajah tampan itu. "Kamu sudah datang?" sapanya lalu bangkit berdiri. "Sapalah ibu terlebih dahulu," lanjutnya. Dalam kebingungan Mae berjalan mendekat dengan hati-hati dan memandang wajah paruh baya yang sedang terbaring penuh lelap dan memandang wajah Edward dan ibunya secara bergantian. Apa yang harus dilakukannya? Dia bukan artis yang pandai berakting! Haruskah ia memutar tubuh dan melarikan diri lalu membatalkan kontraknya? Tidak. Gaya itu bukan gaya dirinya. Ia bukanlah perempuan pengecut. Sekali maju teruslah maju sampai tertembak dan mati! "Um..." Mae membersihkan tenggorokannya. "Salam kenal, saya Vanessa Mae." "Bangun dan lihatlah, bu. Calon menantu ibu sudah datang," imbuh Edward. Melihat apa yang sedang terjadi di depan matanya membuat Mae merasa iba. Di sisi lain ia juga dapat merasakan betapa besar kasih sayang seorang anak kepada ibunya hingga rela menikah dengan perempuan lain demi menyelamatkan nyawa ibunya. Meski pernikahan itu hanyalah sandiwara. Tapi Mae tahu jika Edward sudah mengorbankan waktu dan uang untuk itu. Hal ini menambah nilai Edward di mata Mae. Mae melirik Edward hati-hati tapi tampaknya pria itu terlalu larut dengan pikirannya sendiri. Pandangan matanya terus memandang wajah ibunya. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Membuat Mae sedikit penasaran. Seperti apa perasaan Edward saat ini? Melihat perempuan yang dicintainya terbaring lemah di atas tempat tidur. Apakah sama dengan perasaannya saat itu? Ketika sekelibat bayangan yang dihindarinya selama ini muncul. Cepat-cepat Mae menutup matanya dan menggeleng cepat. Seakan dengan tindakannya itu bayangan itu segera menghilang. "You okay?" tanya Edward yang entah sejak kapan memperhatikan Mae tanpa sepengetahuan wanita itu. "Ya... aku baik-baik saja," jawabnya cepat. "Um... aku harap ibumu segera sembuh dan kita bisa bertemu." Mae menyudahi kalimatnya. Saat itulah ia bisa mendengar suara lembut Edward mengalun merdu di telinganya. "Benar Bu. Aku sangat berharap ibu segera sembuh. Karena kami akan segera menikah. Sesuai dengan keinginan Ibu. Jadi, aku harap Ibu segera pulih dan bisa melihat pesta pernikahan kami." Tiba-tiba saja Edward melakukan hal yang tidak terduga. Ia meraih jemari Mae dan meletakannya di atas punggung tangan ibunya ditambah tangannya. "Kita bertiga akan menjadi sebuah keluarga. Keluarga yang ibu dambakan selama ini. Bukan begitu, sayang?" Untuk beberapa detik Mae mematung di tempatnya. Apa tadi katanya? Sayang? Demi Tuhan ini sedang akting bukan? Sandiwara. Tapi mengapa suara Edward begitu lembut dan terdengar seperti nyata. Seakan dia memang adalah perempuan yang dicintainya. Ketika sepuluh detik berlalu dan Mae tak kunjung menjawabnya Edward menaikkan kedua alisnya. Saat itulah Mae sadar jika sekarang adalah gilirannya untuk bersandiwara. "I-iya... Betul sekali yang dikatakan Edward." Gugup campur bingung melebur menjadi satu di dalam pikirannya saat ini. Bagaimana bisa dia yang hanya seorang pengusaha bisa sebagus ini berakting? Mungkin sejak awal pria ini seharusnya menjadi seorang aktor daripada seorang pengusaha! Lihat saja pandangan mata dan senyum yang terukir di bibirnya. Sangat lembut sampai membuat hati Mae hampir tertipu. Untunglah dia cepat sadar jika semua ini hanyalah bagian dari kontrak yang telah mereka buat. "Thank's sudah datang," ucap Edward setelah mereka berdiri berhadapan di depan kamar ibu. "Bukan apa-apa. Memang sudah tugasku bukan?" jawab Mae ringan. "Baguslah kalau kamu tahu tugasmu. Tugasmu selanjutnya akan kukabari nanti," tambah Edward. "Okay." Mae melipat kedua tangannya di d**a dan menyipitkan matanya memandang Edward. "Tapi, tadi aku hampir tertipu olehmu. Aku tidak menyangka jika kamu bisa berakting sebaik itu." "Mungkin maksud ucapanmu itu kalau kamu hampir tertipu karena tadi aku terlihat seperti pria yang benar-benar mencintaimu?" "Ya. Tapi untungnya aku pintar. Jadi aku tidak akan tertipu dengan sikapmu itu." "Baguslah kalau begitu. Karena aku tidak mau kamu jatuh cinta padaku." Mae memandang Edward dengan bibir terbuka dan pandangan tidak percaya. Percaya diri sekali pria ini!? "Tenang saja. Aku tidak akan pernah jatuh cinta kepadamu! Jadi anda tidak perlu khawatir," dengusnya dengan emosi tertahan. "Ayo kita pergi Hendra," ajak Edward yang dibalas anggukan oleh Hendra. Kemudian mereka meninggalkan Mae dengan emosi yang masih memenuhi hati dan kepalanya. "Wah! Sombong sekali! Bagaimana bisa aku bekerja sama dengan pria macam itu?" gumamnya pada diri sendiri. Sebaiknya dia segera mencari udara segar sebelum api kemarahan menyulut rumah sakit ini dan menyebabkan kebakaran. Tapi ketika pintu lift terbuka, pandangan mata Mae dikejutkan oleh sosok yang pernah mengisi hatinya. "Mae?" panggil pria itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD