Delapan

1082 Words
Musik Maroon Five mengalun merdu memenuhi ruangan kafe beraroma kopi Sumatera siang ini. Beberapa orang tampak asyik berbincang-bincang dengan teman atau kekasih mereka. Entahlah, Mae tidak tahu dan tidak peduli. Yang ada di dalam pikirannya kali ini adalah mencari sosok Putra yang mengiriminya pesan untuk bertemu di sini. "MAE!" panggil seseorang. Mae menoleh ke sumber suara dan di sudut ruangan pandangan matanya menemukan sosok Putra sedang melambaikan tangan ke arahnya. Senyum merekah tercetak jelas di bibirnya. Membuat Mae ingin memutar tubuhnya dan melarikan diri dari tempatnya berdiri saat ini. Sayangnya yang ia lakukan adalah kebalikan dari keinginan hatinya. Langkahnya terus maju hingga akhirnya ia tiba di depan meja Putra. "Silahkan duduk," kata pria itu menyilahkan yang langsung dilakukan oleh Mae. "Mau minum apa?" tawar Putra. "Mojito saja," jawab Mae singkat. Setelah memesan pada seorang waiter tak butuh waktu lama minuman yang dipesannya pun datang. Saat itulah Mae baru menyadari jika hatinya ingin berlari jauh. Menemui Putra adalah kesalahan besar yang pernah dibuatnya! Lihat saja tatapan matanya itu. Masih sama dengan yang Mae lihat enam tahun yang lalu! "Jadi bisa kamu jelaskan tujuanmu ingin bertemu denganku?" tanya Mae tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Terutama bersama Putra. "Mengapa terburu-buru? Kamu sibuk?" tanya Putra tampak kecewa. "Sedikit," jawabnya singkat. "Begitukah? Kalau begitu aku langsung ke intinya saja." Mae mengangguk setuju. Memangnya apa lagi yang bisa dia lakukan jika ingin segera mengakhiri pertemuan ini? "Aku ingin kita memperbaiki semuanya dari awal lagi." Mae memandang Putra dengan tatapan tidak percaya. Terutama setelah mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan Putra kepadanya beberapa detik yang lalu. Memperbaiki? Apalagi yang perlu diperbaiki jika semuanya sudah berakhir. Sungguh Mae tidak mengerti apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran Putra. "Aku tidak mengerti." Putra membasahi bibirnya. "Aku ingin kita bersama lagi. Dari awal." "Aku dan kamu sudah berakhir. Tak ada lagi yang perlu diperbaiki dan tak ada kita," jelas Mae penuh penekanan. Amarah mulai meletup-letup di dalam hatinya. Bagaimana bisa Putra bersikap seenaknya seperti itu? "Tapi aku masih mencintaimu." "Itu hanya ilusi. Kisah kita sudah berakhir." "Tidak Mae. Rasa cinta ini masih nyata untukmu." Mae memandang Putra dengan jengkel. Masih jelas dalam ingatannya bagaimana Putra memutuskan hubungan mereka dengan alasan tidak ingin menjadi anak durhaka tanpa memikirkan perasaan Mae kala itu. Dan sekarang pria itu dengan seenaknya ingin merajut kembali hubungan di antara mereka tanpa kata maaf ataupun penyesalan di dalam matanya. "Maafkan aku. Aku sudah tidak memiliki perasaan yang sama denganmu," sesal Mae. "Tidak. Kamu bohong. Aku yakin kamu masih memiliki perasaan yang sama denganku. Bukan begitu?" tuduh Putra. Mae menggelengkan kepalanya. "Kamu salah. Aku mengatakan hal yang sebenarnya. Karena aku akan menikah dalam waktu dekat. Jadi, aku mohon demi kebaikanmu sendiri lupakan aku dan jadilah anak yang baik untuk orang tuamu." Selesai mengucapkannya Mae bangkit dari duduknya dan berjalan melangkah keluar tanpa memedulikan teriakan Putra maupun waiter yang memandangnya dengan bingung ketika meletakkan mojito miliknya di atas meja tamunya. *** Gara-gara pertemuannya dengan Putra, alhasil Mae malas pulang ke hotel. Maka dari itu malam ini ia sengaja memilih untuk lembur di kantor. Eni sudah pamit lebih dulu tadi sore. Begitu juga yang lain. Sehingga hanya tersisa dirinya sendiri di kantor ini. Mae melirik jam di layar komputernya. Jam sepuluh malam. Dengan malas Mae merenggangkan seluruh otot tubuhnya. "Ah... pegal sekali," keluhnya pada diri sendiri. Keheningan kembali meliputi. Jika dipikir baik-baik, suasana malam kali ini sedikit lebih menyeramkan daripada biasanya. Apakah karena malam ini malam Jumat? Entahlah, Mae tidak terlalu mempercayai masalah gaib. Dia lebih takut dengan manusia daripada hantu. Dalam keheningan malam Mae kembali berkutat dengan pekerjaannya. Mengedit dan mengecek beberapa naskah yang sempat terbengkalai. Hingga tanpa terasa ketika ia melirik jam, waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam. Lelah mulai merayapi tubuhnya. Akhirnya Mae mengalah dan memutuskan untuk pulang. Untunglah jalan raya Ibu kota malam ini sedikit lebih ramah. Sehingga tidak membutuhkan waktu lama bagi Mae untuk sampai di hotel. Dalam kelelahan yang menyelimuti dirinya Mae membuka sepatu atau lebih tepatnya melempar dan meletakkan tas di atas sofa yang hampir mengenai dirinya sebelum akhirnya menyalakan lampu dan membuka blazer miliknya sambil berlalu menuju kamar mandi tanpa tahu jika ada seseorang yang terus memperhatikannya sejak tadi. Dala diamnya Edward menggelengkan kepala pelan melihat betapa berantakannya perempuan yang dipilihnya sebagai calon istri. Lihat saja bagaimana cara perempuan itu meletakan tas, membuka sepatu dan membuka blazer tanpa meletakkan semua benda ke tempatnya dengan baik. Semua itu dilakukan perempuan bernama Mae itu tanpa melihat. Ya, tanpa melihat. Membuat Edward tak tahu harus kagum atau mengelus dadanya melihat pemandangan itu. "Ya Tuhan!!" pekik Mae ketika pandangan matanya menemukan sosok Edward yang duduk santai di kamar hotelnya. "Sejak kapan kamu duduk di situ?" tanyanya dengan kedua bola mata membesar. "Sejak kamu membuka sepatu, melempar tasmu di atas sofa yang hampir mengenaiku dan membuka blazer tanpa melihat apakah ada pria di dalam kamarmu atau tidak," jawab Edward santai diiringi senyum tercetak di bibirnya. Bibir Mae terbuka lebar. Hampir tidak percaya dengan semua ucapan Edward. Bagaimana bisa dia melakukan semua itu tanpa menyadari kehadiran pria ini di dalam kamarnya? "Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam kamarku!?" tanya Mae lagi ketika ia menyadari hal itu. "Apakah kamu lupa jika hotel ini adalah milikku nona?" sahut Edward. "Juga aku adalah calon suamimu jadi jangan bersikap berlebihan seperti itu." Mendengar kalimat terakhir Edward ada desiran kecil yang sempat menyapu hatinya. Tapi, dengan cepat Mae mengabaikan perasaan itu. "Tapi kamu tidak bisa seenaknya masuk begitu saja ke kamar orang lain! Ba-bagaimana jika aku sedang tidak mengenakan sehelai pakaian!?' cerocos Mae tidak terima dengan sikap Edward yang masuk ke dalam kamarnya tanpa izin. "Tenang saja, aku tidak akan tergoda dengan tubuh rata seperti itu," kata Edward lagi yang sukses membuat Mae memandangnya dengan pandangan tidak percaya antara geram dan terkejut. "Baguslah kalau begitu. Jadi, aku boleh merasa aman berada di sisimu. Karena kamu tidak akan tertarik dengan tubuh ini," balas Mae sengit sambil mengangkat dagunya. Melihat semua sikap dan perilaku Mae sebenarnya membuat Edward ingin tertawa melihatnya. Hanya saja dia tidak boleh melakukan semua itu di depan perempuan ini. Karena ia memiliki Kayana dan Mae hanyalah bagian dari hutang yang harus dilunasinya. "Duduklah," perintah Edward. "Ada yang harus aku bicarakan denganmu." Melihat perubahan raut wajah Edward yang berubah serius, dalam diam Mae menuruti perintah pria itu. Ia memilih duduk di sofa yang agak jauh dari pria itu. "Hal apa yang ingin kamu bicarakan denganku?" Edward memajukan tubuhnya dan memandang wajah Mae lekat-lekat. "Kita akan menikah bulan depan. Karena aku gagal membujuk ibuku. Jadi persiapkan dirimu menjadi seorang istri dari Edward Clay Gunawan." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD