Lima

1087 Words
Mata Mae tak berhenti berbinar ketika dia melihat kamar barunya. Dengan wajah penuh kekaguman dia menarik koper merahnya ke dalam kamar suite itu. Dimana satu set sofa panjang putih dengan meja kaca tertata sempurna di tengah ruangan. Di hadapannya sebuah televisi slim yang besar berdiri tegak di atas rak minimalis bercat hitam. Di sisi kanan ruangan terdapat meja bar yang dihiasi dengan gelas-gelas wine yang tergantung sempurna. Tak jauh dari terdapat kitchen set yang sangat bersih. Ketika menoleh ke sisi kiri ruangan Mae menemukan sebuah ruangan. Dibaliknya terdapat sebuah tempat tidur ukuran king size yang terlapis oleh seprei yang sangat lembut. Bahkan ketika Mae mencoba duduk di atasnya, rasa empuknya seakan memberitahu betapa mahalnya tempat tidur itu. Di sisi kanan kamar ada pintu kaca di mana di dalamnya terdapat bathup putih berbentuk persegi. Melihat kemegahan kamar suite ini membuat Mae tak berhenti terkagum-kagum. Sampai lupa menutup bibirnya yang sejak tadi terbuka terus menerus. "Bagaimana? Apakah anda menyukai kamar ini? Jika tidak kami masih memiliki kamar suite yang lain," ujar Andre selaku manajer hotel. Ia sudah mendapatkan info perihal kedatangan Mae. Oleh karena itu, sikapnya yang kompeten selalu berhasil membuat tamu puas. Seperti Mae saat ini yang menggelengkan kepalanya berkali-kali sebagai jawaban atas pertanyaan pria itu. "Tidak. Maksudku, tempat ini cukup untukku," jawab Mae tergagap. Andre tersenyum ramah. "Syukurlah kalau begitu. Kami sengaja mempersiapkan tempat ini sebaik mungkin. Bahaya sekali bukan jika calon istri direktur kami kecewa akan pelayanan kami." "Ca-calon istri?" tanya Mae bingung. Lupa akan kesepakatan yang mereka buat siang tadi. Juga tidak menyangka jika akan ada orang lain yang tahu perihal pernikahannya dengan Edward. Karena sejujurnya Mae belum terbiasa dengan kata calon istri. "Iya. Anda Vanessa Mae bukan?" Sekarang raut wajah Andre tampak khawatir. Takut jika ia salah mengenali orang. Bisa fatal akibatnya. Alamat mendapatkan surat peringatan atau dipecat adalah jalan keluar tercepat. "Te-tentu saja! Aku hanya bercanda denganmu. Kamu mesti lihat raut wajahmu saat ini. Hahaha..." Selesai mengatakannya Mae berjalan meninggalkan Andre yang ikut tertawa hambar. Hati kecilnya menarik napas lega. Setidaknya pekerjaannya masih aman. "Kalau begitu saya permisi. Jika anda membutuhkan sesuatu anda bisa menghubungi resepsionis," pamit Andre. Mae mengangguk setuju. "Terima kasih Andre," ujarnya tulus. Andre tersenyum lalu menghilang dari balik pintu kamarnya. Untuk sesaat Mae terdiam sejenak dan memandang seluruh sudut ruangan. Nasi telah menjadi bubur. Apa yang telah terjadi tidak dapat diputar kembali. Termasuk kesepakatan diantara mereka berdua. Jadi, mengapa tidak membiarkan dirinya istirahat dan menikmati kemewahan ini? Kedua sudut bibir Mae terangkat ke atas. Detik berikutnya ia menjatuhkan tasnya ke atas sofa lalu berjalan menuju meja bar. Ia menuang segelas wine dan menyesapnya sedikit. Inikah yang namanya kenikmatan orang kelas atas? Dilangkahkan kakinya mendekati dinding kaca dan menyibakkan tirai putih besar yang menjadi penghalang. Detik berikutnya ia terpana. Di depan matanya keindahan malam ibukota tampak begitu indah. Lampu-lampu yang memenuhi ibukota bersinar terang dengan berbagai macam warna. Lalu lintas yang padat menambah cahaya lampu yang menghiasi jalan raya. Sungguh, indah sekali melihatnya dari atas sini. Kapan terakhir kali ia melihat keindahan seperti ini? Entahlah. Mae sendiripun tidak tahu. Hidupnya terlalu sibuk mengubur masa lalu sampai-sampai ia tidak menyadari waktu berjalan dengan cepat. Termasuk sekelilingnya. *** "Istri kontrak?" Sebelah alis Kayana naik ke atas. Baru saja Edward membicarakan rencananya untuk menyelamatkan ibunya yang sekarat. "Mengapa harus mengorbankan hubungan kita? Apa salahku pada ibumu?" "Bukan mengobarkan. Aku hanya ingin kamu mengerti jika untuk beberapa bulan ke depannya aku harus bersama dengan perempuan lain. Dan semua itu hanyalah pura-pura. Palsu. Dan aku melakukannya untuk menyelamatkan nyawa ibuku," jelas Edward tenang. Berbeda dengan Edward yang tampak tenang, Kayana tidak seperti itu. Baru saja dia pulang dari Paris setelah pemotretan majalah Vogue. Tapi sayangnya semua rasa lelahnya dibayar dengan berita buruk seperti ini! Dimana belas kasihan Edward sampai tega melakukan ini kepadanya!? Dan berapa lama katanya? Dua tahun! Memang betul sekali jika Kayana memang belum ingin menikah dalam waktu dekat. Tapi jika seperti ini caranya sama saja seperti pengkhianatan! "Hanya pura-pura," kata Edward mengingatkan. "Aku dan dia hanya tinggal satu atap. Tapi aku pastikan tidak ada apa-apa antara aku dan dia. Do you believe in me?" Untuk sesaat Kayana memandang ke dalam manik cokelat Edward yang sejuk dan teduh. Hal inilah yang selalu menjadi tempatnya membuang lelah setelah bekerja terlalu keras. Sehingga seberapa besar amarah yang dirasakannya, pada akhirnya ia akan merasa sejuk ketika melihatnya dan hilanglah semua amarah. "Only for two years and remember, you are mine," jawab Kayana akhirnya mencoba mengerti. "Of course," balas Edward singkat. Mendengar jawaban Edward perlahan Kayana menyandarkan kepalanya di d**a kekasihnya yang bidang. "Mengapa ibu tak pernah menyukaiku?" Edward tidak langsung menjawab. Ingatannya melayang pada perdebatan yang dilakukannya dengan ibunya beberapa waktu lalu sebelum beliau jatuh sakit. Beliau dengan jelas berkata tidak ingin memiliki menantu seorang foto model. Karena entah mengapa ibunya itu yakin jika sifat Kayana tidaklah sebaik wajahnya! Teori yang sangat tidak masuk akal menurut Edward. Tapi apa daya jika ibunya berkata tidak, sangatlah sulit untuk membujuknya untuk menarik ucapannya. "Karena kamu terlalu cantik," jawab Edward sambil membelai lembut rambut Kayana yang hitam dan panjang. Menambah kecantikan pada wajahnya yang sudah dasarnya cantik. Rahang mungil dengan mata bulat dihiasi bulu mata yang lebat. Hidung yang mancung dan bibirnya yang tipis menambah kesempurnaan kecantikannya. Belum lagi kulitnya yang putih bersih menambah kecerahan. Tidak heran jika ia terpilih menjadi the mostwanted model tahun ini. "Memangnya salah jika aku cantik?" "Tidak." "Lalu mengapa ibumu tidak menyukaiku?" "Um... soal itu bisakah kita membicarakannya lain waktu? Sekarang mengapa kita tidak melepas rindu? Berapa lama kita tidak bertemu? Satu bulan? Dua bulan?" Edward mencoba mengalihkan pembicaraan. Tidak baik rasanya jika dia membicarakan ibu kandungnya saat beliau sedang sakit seperti saat ini. "Dua bulan dua belas hari," ralat Kayana. "Wah...lama sekali. Aku sampai tidak bisa menghitungnya dengan benar." Tentu saja itu sebuah sindiran. Tapi bagi Kayana yang sedang di mabuk asmara hal itu tidaklah penting. "Maaf. Aku terlalu sibuk bekerja. Haruskah aku meninggalkan dunia modelku untukmu?" goda Kayana. Edward mendengus. "Kalau itu bisa kamu lakukan, mengapa aku harus mencari istri kontrak?" "Maafkan aku," ujar Kayana sekali lagi. "Aku berjanji. Setelah dua tahun aku akan mengundurkan diri dan menerima ajakanmu menikah." Dalam diam Edward menatap kekasihnya lekat-lekat. Mencari kepastian di dalam maniknya yang cokelat. Tapi seberapa keras dia berusaha, ia tak mampu menemukannya. "Aku berharap kamu memegang kata-katamu itu." "Kamu bisa mempercayaiku," bisik Kayana di telinga Edward lalu menyandarkan kepalanya di atas bahu kekasihnya. Mendengarkan alunan musik The Moment mengalun merdu menemani kebersamaan mereka. Hal yang selalu mereka lakukan bersama sebelum akhirnya menyatukan cinta mereka. Melebur menjadi satu dengan harapan untuk selamanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD