Meski poni Mae sudah tidak terlalu tebal seperti Dora. Mungkin karena dia sudah dewasa dan mengikuti trend masa kini, tetap saja mata bulatnya yang besar masih dapat Edwar ingat dengan baik. Mata bulat yang tidak pernah takut ketika melihat dirinya.
"Sudah selesai?" tanya Rudi ketika lima belas menit telah berlalu. Di sisinya Edward tampak tenang sambil menyeruput kopi miliknya.
Mae mengangguk. "Kami hanya bersikap layaknya suami istri jika di depan umun saja, kan?" tanyanya hati-hati.
"Benar. Mengenai hal itu jika kalian harus bertemu tamu atau ibu mertuamu. Di luar itu tidak perlu. Namanya juga kontrak. Hanya saja saya harap anda bisa bersikap profesional." Selesai menjelaskannya Rudi tertawa kecil. Tawa yang entah mengapa terdengar hambar di telinga Mae.
"Begitu..." desahnya. Sekali lagi dia memandang kertas-kertas tersebut. Jumlahnya ada lima dan tulisannya kecil-kecil. Sudah seperti undang-undang dasar daripada surat kontrak pernikahan. Penuh dengan peraturan. Tapi bukankah peraturan dibuat untuk dilanggar?
Ada aturan dilarang pulang melebihi jam sepuluh. Ada juga tulisan tidak boleh banyak bertanya di luar urusan kontrak pernikahan. Kening Mae menyatu. Semua tulisan ini membuat kepalanya sakit. Sama seperti pertanyaan yang tidak mau keluar dari pikirannya. Mengapa dia sampai terjebak dalam situasi seperti ini?
Heran. Kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan Mae saat ini. Kok bisa? Tentu saja bisa! Saat ini hatinya sedang menimbang-nimbang. Haruskah ia menandatangi kertas putih di hadapannya atau tidak? Tanpa sadar Mae mulai menggigiti kuku jari telunjuknya. Kaki kanannya mulai bergoyang-goyang bak tukang penjahit.
"Kenapa begitu lama berpikir? Apa lagi yang perlu dipikirkan? Sudah jelas keuntunganmu di sini cukup besar," sindir Edward sambil bersedekap.
"Sabar kenapa! Tanda tangan juga ada prosesnya. Loading...." balas Mae cepat.
Akhirnya yang dilakukan Edward hanya mendengus kencang. Sengaja memang. Supaya Mae mendengarnya.
Ditariknya napas dalam-dalam sebelum akhirnya ia menggerakan bolpoin yang dipegangnya dengan jantung berdebar-debar berkali lipat lebih cepat dari biasanya.
Selesai.
Dalam diam Edward memperhatikan semua itu dan ketika Mae menandatangani kertas tersebut kedua sudut bibirnya naik ke atas. Membentuk senyum puas.
"Selamat! Kalian berdua sudah sah menjadi pasangan suami dan istri!" seru Rudi bersemangat. "Yang perlu dilakukan hanyalah pesta pernikahan."
"Permisi... soal pernikahan bisakah jika dilakukan tidak terlalu besar? Lagipula ini kan cuma pernikahan pura-pura," usul Mae hati-hati diiringi senyum kaku.
"Meski pura-pura, nyawa ibuku berada dalam pernikahan ini. Jadi bisakah kamu bersikap jika ini adalah pernikahan pertama sekaligus terakhirmu?" potong Edward sinis.
"I-iya. Akan kuusahakan." Ah...melihat kesinisan pria bernama Edward ini membuat Mae ingin membatalkan perjanjian ini. Tapi di mana dia mesti tinggal jika besok dia harus bersiap angkat kaki? Mengingat hal itu akhirnya Mae memberanikan diri bertanya. "Kalau boleh tahu kapan aku bisa mendapatkan tempat tinggal?"
"Soal itu Pak Edward sudah menyediakan anda sebuah kamar di Pure Purnama Hotel untuk sementara sampai kalian menikah nanti. Jadi sesuai info yang saya dapat anda bisa pindah nanti malam."
"Benarkah?" tanya Mae dengan mata berbinar. Alangkah lega hatinya. Keputusannya menyetujui pernikahan palsu ini setidaknya tidak begitu buruk. Selain tidak perlu tidur di jalan malam ini, ia juga tidak perlu membayar sewa tempat selama dua tahun ke depan!
Rudi mengangguk diiringi senyum kecil. Entah mengapa dia menyukai karakter Mae yang terus terang. Sangat cocok dengan kriteria Edward yang dingin dan sinis. Pasti ramai isi rumahnya nanti. Berbanding terbalik dengan Kayana. Meski tersenyum tapi tak ada kehangatan di dalamnya.
"Terima kasih!" ucap Mae tulus.
"Tidak perlu berterima kasih. Itu sudah menjadi bagian dari hasil yang kamu dapatkan sebagai istri kontrak. Jadi selama dua tahun ini, bersikaplah layaknya wanita terhormat. Jangan sampai mencoreng nama baikku," jelas Edward.
Bibir Mae merengut. Dipikirnya siapa dia sampai mengatur dirinya seperti ini hanya karena dia calon suami kontraknya!? "Siap boss! Aku pasti akan menjaga nama baik kamu dan aku harap kamu juga melakukan hal yang sama. Kalau tidak..."
Mae memandang tajam manik cokelat di hadapannya lalu menggoyangkan telapak tangannya yang tertekuk ke lehernya sebagai ancaman bagi Edward. Dasar makhluk egois! Hanya memikirkan dirinya sendiri. Meski dia hanya seorang istri kontrak, tetap saja jika mereka berpisah ia akan menyandang status janda! Tahu sendiri kan status janda di mata masyarakat umum? Sangat buruk.
"Tentu saja. Aku adalah pria yang memegang setiap ucapanku," jawab Edward penuh percaya diri. Seakan tidak melihat ancaman yang baru saja diberikan Mae. "You have my words..."
Ketika Mae menemukan kebenaran di dalam mata pria yang akan menjadi calon suaminya selama dua tahun, ia menarik napas lega dan mereka pun mengakhiri pertemuan itu dengan damai. Setelah kepergian Edward dan Rudi, pandangan matanya jatuh kepada amplop cokelat besar yang berada di dalam pelukannya.
"Apa yang sebenarnya sedang aku lakukan? Mengapa tiba-tiba saja aku beralih profesi sebagai seorang artis? Ditariknya napas dalam-dalam. Berharap sesak di hatinya menghilang. "Maafkan Mae, Ayah. Suatu hari nanti Mae berharap ayah dapat mengerti keputusan Mae saat ini," gumamnya pada diri sendiri sebelum akhirnya memesan ojek online dan kembali menuju kantornya.
Di dalam sebuah mobil sedan hitam keluaran tahun ini, seseorang memandang Mae yang berlari kecil menuju ojek yang telah menunggunya. Wajahnya tampak ceria. Berbeda dari ingatan terakhirnya. "Menurutmu apakah dia mengenalimu?" tanya Rudi membuka suara.
Edward menggeleng. Pandangan matanya sudah kembali lurus ke depan. Kosong. "Entahlah. Tapi sepertinya dia tidak mengenaliku lagi. Bagaimanapun kejadian itu sudah lama berlalu. Jadi aku tidak berharap dia dapat mengingatku."
Rudi terdiam. Begitu juga dengan Edward. Pikirannya melayang pada kejadian itu. Kejadian dimana untuk kedua kalinya takdir mempertemukan mereka. Hanya saja sayangnya kejadian itu tidak seindah pertemuan pertama mereka. Sebaliknya kejadian itulah yang membuat Mae melupakan sosok Edward hingga detik ini dan Edward pun mengharapkan hal yang sama. Setidaknya untuk saat ini. Sampai dia mampu menebus kesalahannya di masa lalu. Itu pun jika takdir masih memberikannya kesempatan untuk memperbaikinya. Meski hati kecilnya tahu kemungkinan itu tidak pernah datang. Yang datang hanyalah mimpi-mimpi buruk yang selalu datang setiap malam. Mengingatkannya akan kesalahannya. Kesalahan yang tak akan pernah bisa diampuni oleh Mae.
Hanya saja satu hal yang terus mengganggu hatinya, apa yang akan dilakukan perempuan itu jika Edward adalah seseorang yang paling dibencinya? Seseorang yang pernah menjadi malaikat sekaligus iblis di dalam kehidupannya? Seseorang yang telah mengambil sesuatu yang paling berharga bagi Mae. Sesuatu yang tak akan pernah kembali.
***