BAB - 01
Peperangan.
Tidak ada yang tersisa dari hal yang dinamakan sebagai perang, dua belah pihak sama-sama mengalami kehancuran, kematian, dan kemarahan, tidak ada yang menang ataupun kalah, yang ada hanya penyesalan. Korban dari setiap peperangan bukan hanya para tentara, prajurit, atau komandan yang gugur, tetapi juga keluarga mereka yang kehilangan, entah kehilangan suami tercinta, ayah tersayang, kakak terhebat, atau adik terbaik, mereka semua pergi meninggalkan keluarga masing-masing untuk selama-lamanya dan itulah korban sesungguhnya dari sebuah peperangan.
Manusia memang memiliki emosi yang dapat menciptakan sebuah konflik, entah konflik antar individu, kelompok, atau bahkan negara, dan konflik tersebut jika terus diperpanjang, akan menghasilkan sebuah kebencian dan penderitaan yang berulang. Harga diri atau balas dendam, selalu dijadikan sebagai alasan untuk memulai sebuah peperangan besar, baik berasal dari masalah masa lalu, atau pun masa depan.
Hari ini, suara peluru yang ditembakkan berkali-kali terdengar di sebuah pemukiman kota yang telah porak-poranda di negara-negara tertentu, era peperangan sedang berkecamuk di setiap wilayah. Penjajahan, penjarahan, dan p*********n tidak lepas dari masalah tersebut. Banyak sekali jasad yang bergelimpangan di tanah, banyak pula gedung bangunan yang hancur jadi puing-puing tak layak huni.
Zira, seorang komandan berambut biru keriting, berbadan tinggi atletis, yang berasal dari pihak penjajah, tengah berjalan-jalan pelan di tengah puing-puing bangunan yang hancur, dia sedang berada di wilayah negara lawan, meskipun begitu, dia tampak begitu tenang karena dia tahu peperangan di daerah sini sudah berakhir dengan kemenangan dari pihaknya. Tidak ada alasan lagi untuk orang-orang di negara ini melawan pihak penjajah, sebab semua tentara negara ini telah dihabisi, yang tersisa hanya jasad-jasad mereka yang penuh dengan darah.
Di tangannya, Zira menenteng sebuah pistol biasa, untuk berjaga-jaga jika ada seseorang yang masih hidup, sebab dia diperintahkan oleh Ketua Militer untuk menghabisi seluruh penduduk di negeri ini. Memandangi langit, Zira mengela napasnya, dia tidak ingin terus berlama-lama di sini, mungkin sekarang sudah saatnya untuk kembali, lagipula sejauh ini dia tidak merasakan keberadaan seseorang yang masih hidup di sekitar sini, sudah dapat dipastikan semua manusia yang tinggal di sini telah tewas.
Membalikkan badannya, untuk kembali ke markas pangkalan militernya, sayup-sayup Zira mendengar sesuatu dari kejauhan, didengar baik-baik seperti suara tangisan yang tersengguk-sengguk, kembali membalikkan tubuhnya, ia mulai bersikap waspada. Sepertinya ada yang masih hidup, Zira mencoba menajamkan indera pendengarannya, dan dia merasa suara tangisan itu berasal dari arah utara. Dengan suara sepatunya yang lumayan keras, Zira berlari mendatangi ke lokasi yang ia curigai dan saat dia memutari sebuah bangunan, dia menemukan dua anak kecil yang menangis di samping jasad dua orang dewasa yang seperti pasangan suami istri.
“Apakah kalian baik-baik saja!?”
Melupakan fakta bahwa anak-anak itu berasal dari pihak lawan, Zira mendekati dan mencemaskan keadaan mereka, mau bagaimana pun ia sangat lemah pada yang namanya anak kecil, sebenci apapun dia pada negeri ini, dia tetap tidak menganggap anak-anak sebagai sebuah ancaman. Dengan memasang wajah gelisahnya, Zira berusaha menenangkan mereka.
“Ayah dan Ibu kami,” dengan suara sesenggukan, anak laki-laki yang sepertinya kakak dari anak perempuan di sampingnya, berusaha menjawab pertanyaan dari Zira, meski air mata dan ingusnya membasahi wajah polosnya. “Mereka tertembak, mereka pingsan, mereka tidak bangun lagi. Tolong, bangunkan Ayah dan Ibu kami.”
Meneguk ludahnya, Zira hanya bisa terdiam dan mencari cara untuk bisa menjelaskan keadaannya dengan baik pada anak-anak itu. “D-Dengar, aku tahu kalian tidak mau mendengar ini, tapi Ayah dan Ibu kalian tidak bisa diselamatkan lagi. Tapi jangan khawatir, aku akan menguburkan mereka untuk kalian, agar kalian—”
“Tidak! Aku tidak ingin melihat Ayah dan Ibu dikubur! Mereka hanya pingsan! Mereka belum mati!” Sang Adik tampak marah saat mendengar kata-kata Zira, dia tidak terima orang tua mereka akan dikuburkan, sedangkan Sang Kakak hanya mengucurkan air matanya.
“Baiklah, aku akan membantumu mengubur Ayah dan Ibu kami.” Sang Kakak berdiri dan menunjukkan tatapan mata yang tajam pada Zira. “Tapi berjanjilah, setelah ini kau dan teman-temanmu harus pergi dari negara kami.” Mendengar itu, Zira tersentak karena ternyata Sang Kakak sudah menyadarinya sejak awal, bahwa pria dewasa yang ada di depannya adalah seorang tentara dari pihak musuh, yang berarti rekan dari orang yang telah menembak orang tua mereka.
Zira terkagum dengan ketenangan dari Sang Kakak, tidak seperti adiknya yang terus-menerus histeris, anak lelaki itu pandai mengatur emosinya, bahkan ketika dia membantu Zira mengubur jasad orang tuanya, anak itu masih berusaha memasang ekspresi setenang mungkin walaupun bibirnya terlihat bergetar ingin menangis.
Selesai menguburkan jasad pasangan suami istri itu, Zira memandang dua anak itu dengan hening, sebelum akhirnya dia mendapatkan sebuah petunjuk.
“Setelah ini, kalian mau bagaimana?” tanya Zira dengan suara pelan.
“Tinggalkan kami, pergilah dari negara kami, kau dan teman-temanmu tidak boleh datang lagi kemari. Kau sudah berjanji padaku tadi.” Ucap Sang Kakak dengan tatapan yang cukup dingin.
“Aku tidak ingat pernah berjanji denganmu, bukankah kau hanya berjanji secara sepihak? Aku tidak pernah menyetujui perjanjian itu, bukan?”
“Lalu apa? Apakah kau dan teman-temanmu akan membunuh kami?”
“Tidak, itu mustahil, kami tidak akan membunuh anak kecil seperti kalian,” jawab Zira dengan menghela napas. “Begini saja, bagaimana kalau kalian jadi anak angkatku saja? Kalian akan tinggal di negaraku, di sana kalian akan hidup aman.”
“Pergilah! Pergilah dari sini, Pembunuh!” Sang Kakak mulai menunjukkan amarahnya, kini dia tidak lagi menahan emosinya sebab Zira tampak begitu jahat di matanya. “Kami tidak akan sudi menjadi anak angkatmu! Kau dan teman-temanmu adalah pembunuh! Kau dan teman-temanmu seharusnya pergi saja ke neraka!”
“Hey, hey, tenanglah, jangan marah begitu, kalian harusnya paham keadaan kalian sekarang. Aku menawari itu karena kalian tidak akan bisa hidup aman di sini, kalian masih anak-anak, tidak seharusnya kalian tinggal di negara yang sudah antah-berantah, yang menunggu kalian jika kalian ingin tetap tinggal di sini, hanyalah kematian.”
“Kematian masih lebih baik dibandingkan harus tinggal bersama seorang pembunuh sepertimu!” Kini, Sang Adik yang berteriak pada Zira.
“Baiklah, aku akan pergi, tapi setidaknya tolong, sebutkan nama kalian?” Zira menggaruk belakang lehernya dan memandang wajah dua anak itu dengan serius.
“Namaku Goro Emoic, dan adik perempuanku Giny Emoic.”
“Goro dan Giny, ya?” Zira tersenyum kecil. “Nama yang bagus.” Tiba-tiba Zira mendekati mereka dan mengangkat tubuh mereka sekaligus untuk diletakkan di dua bahunya, kemudian pria itu berjalan cepat untuk kembali ke markas pasukannya.
Sesampainya di markas, Zira disambut dengan ekspesi kaget dari bawahan-bawahannya, karena komandan mereka kembali dengan membawa dua anak kecil di bahu-bahunya.
“Sudah, sudah, hentikan muka kaget kalian,” kata Zira setelah menurunkan Goro dan Giny yang kelihatannya telah tertidur pulas di bahunya, anak-anak itu dibaringkan di ranjang terdekat. “Maaf jika komandan kalian suka seenaknya begini, tapi percayalah, dua anak ini tidak bisa kubiarkan begitu saja di sana. Tenang saja, aku akan membicarakan ini pada Ketua, kalian tidak akan ikut campur pada masalah ini. Sekarang bagaimana kalau kita bersiap-siap untuk pulang? Kita menang, loh.”
Dan penjelasan Zira direspon dengan teriakan membara dari rekan-rekannya yang begitu gembira mendengar kemenangan mereka yang diucapkan langsung oleh Sang Komandan.