Batas Kesabaran

1133 Words
Batas Sebuah Kesabaran Sejak pertengkaran Dimas dan Farel, sifat Farel semakin dingin, melebihi dinginnya bongkahan es di kutub utara, bahkan, sifat dinginnya seakan-akan mampu membekukan seisi kamar, yang ia tempati bersama Alisa. Susah memang menghadapi sikap pendiam, lautan bisa diukur berapa kedalamannya, Namun, hati dan pikiran seseorang tidak ada yang tahu. Hanya sang pemilik kehidupan yang bisa mengetahui. Maka karena itu, Alisa hanya bisa berdoa dan bersikap pasrah, dan menyerahkan semuanya sama yang Kuasa. Saat pagi tiba, Farel tampak mondar-mandir mencari sesuatu, tetapi ia tidak mau bertanya pada Alisa, yang saat itu sedang membereskan pakaian si kembar, ia selalu memeriksa keperluan si kembar setiap pagi, sebelum berangkat ke rumah sakit. Farel masih dengan sikap diam, tetapi tubuhnya terus bergerak mencari. Tidak ingin kepalanya bertambah pusing, karena melihat suaminya yang seperti setrikaan, mondar-mandir, Alisa memutuskan bertanya. “Mas Farel, cari apa?” tanya Alisa dengan suaranya yang amat lembut. Lelaki bertubuh tinggi berambut cepak itu, hanya diam, membiarkan pertanyaan istrinya menguap begitu saja, Alisa hanya menghela napas pendek, melihat sikap Farel yang kian hari semakin menjengkelkan baginya. ‘Ya, Allah, berikan hambamu ini kesabaran’ ucap Alisa dalam hati. Tidak ingin hubungan mereka semakin rumit, ia berdiri dan bertanya lagi. ”Mas Farel cari apa? biar aku bantu.” “Kamu tidak akan tahu walau aku bilang.” “Ya, katakan saja dulu, biar aku tau.” “Tidak perlu. Teruskan saja pekerjaanmu,” ujarnya ketus. “Kenapa jadi marah, aku hanya ingin membantumu, karena aku istrimu.” Farel menatap tajam. “Aku tidak pernah memintamu jadi istriku, kamu yang datang padaku,” ucap Farel. Mendengar itu, sebenarnya hatinya sakit, ia marah, seolah-olah ia wanita yang gampangan, yang mengejar-ngejar Farel. Padahal ia wanita terpelajar, seorang wanita pekerja. Setuju menikah, demi kedua keponakannya, menikahi kakak iparnya yang super-duper egois. ‘Aku juga tidak ada niat menikah denganmu, ini demi keponakanku’ ucap Alisa dalam hati. Namun, ia tidak mengungkapkannya, ia hanya butuh kedamaian di rumah itu. “Iya ampun kenapa jadi merembet sampai kemana-mana, aku hanya ingin membantu,” ujar Alisa, masih mempertahankan sikapnya yang lemah lembut. Tetapi batas kesabaran manusia itu ada batasannya, bisa saja Alisa lepas kendali. Wanita cantik itu belum menyerah, ia membuka laci meja dan mengambil bros kecil, berbentuk bunga lima sudut, sebagai lambang pangkat Farel. “Apa Mas mencari ini?” Alisa meletakkan di telapak tangannya dan menyodorkan padanya. “Iya” Saat Alisa menemukan apa yang ia cari. Farel menarik napas lega, karena ia sudah hampir sepuluh menit berkutat mencari benda kecil tersebut. Tetapi karena keegoisannya, ia tidak bertanya. Ia menerima, tapi, ia enggan mengucapkan kata terimakasih. Tidak mengucapkan satu kata pun, untuk apa yang sudah Alisa lakukan untuknya, tidak ada ungkapan terimakasih, saat Alisa sudah membantunya, hanya mengambilnya dari tangannya dan memakaikannya di seragam polisi yang ia kenakan. ‘Terimakasih , tidak bisakah di mengucapkan satu kalimat itu, apa susahnya hanya mengucapkan itu?’ Alisa membatin. Wajah itu kembali ke mode awal, dingin dan wajah datar. ‘Bagaimana mbak Ratna bertahan selama ini, menghadapi suami dan ibu mertuanya? Salut sama mbakku, ia jarang mengeluh dan mengadu pada kami tentang kehidupannya. Kami bisa tahu, semua masalahnya hanya dari seorang karyawannya, tunggu, karyawan …?’ tiba-tiba ia mengingat seseorang, yang sering memberitahukan keadaan Ratna pada keluarganya, saat otaknya berpikir keras, tapi tiba-tiba mengucapkan kata-kata yang membuatnya seakan-akan tak terkendali. Alisa marah. “Jangan pernah berharap banyak dariku,” ucap Farel lagi. Alisa hanya mengangguk menahan amarah di dalam hati. Tetapi yang membuat suasana makin buruk pagi itu, karena kehadiran Ibu mertuanya, yang ikut campur dalam urusan rumah tangganya. “Katakan juga pada si Alisa itu, jangan hanya sibuk kerja, anak kok ditelantarkan.” Mulut Alisa langsung menganga, mendengar tuduhan yang di lakukan ibu mertuanya. Lalu matanya menatap tajam pada Farel, lelaki itu tidak mengatakan apa-apa , ia hanya merapikan penampilannya di depan cermin, ibunya kembali memancingnya marah. “Tanyakan juga padanya, apa tujuan dia datang ke rumah ini.” Alisa tidak tahan lagi dengan mulut ibu mertuanya. Wanita yang lemah lembut ibu tiba-tiba berubah jadi murka, bak benteng yang siap menyeruduk. Ia berjalan dan menutup pintu kamar, membuat wanita paruh baya itu mundur beberapa langkah. “Tidak sopan kamu iya sama orang tua!” “Apa yang kamu lakukan?”tanya Farel marah. “Ini urusan aku dan kamu, tidak sepantasnya ibu ikut campur, ada baiknya orang tua tidak mencampuri masalah anak-anaknya, apa lagi sudah menikah!” seru Alisa dengan marah. “Tapi tidak sepantasnya, kamu menutup pintu saat ibu di sana, kamu dari luar terlihat seperti malaikat yang lemah lembut, tetapi, aku tidak menduga kamu akan berbuat kasar seperti itu.” “Tidak semua yang kamu lihat diluar baik, baik juga dengan bagian dalamnya, apa kamu menyuruhku diam dan menangis dipojokan, saat ibumu memojokkanku dan menuduh? Menyebutku menelantarkan anak?” tanya Alisa marah. “Kok kamu ngomong seperti itu? Kamu kasar” Farel menatap tajam. “Itu bukan kasar, harusnya yang kasar itu, orang yang bersikap bodoh amat, saat saudaranya dan ibunya, memojokkan istrinya dan ingin menyakiti anak-anak tidak berdosa, binatang saja masih punya empati, jika melihat anak bayi yang tidak berdosa di sakiti,” ujar Alisa lagi. “Kamu menyamakan aku dengan binatang!?” “Tidak, jika kamu seorang polisi, bersikaplah sebagai polisi, jika kamu merasa seorang lelaki maka bersikaplah menjadi seorang lelaki, jika salah katakan salah. Jika benar katakan benar,”ucap Alisa dengan nada tegas. “Aku tidak perduli dengan kamu dan mereka.” “Kamu berkata seperti itu sebagai apa? Polisi atau seorang suami?” “Dua-duanya?” “Baiklah, harusnya kamu malu dengan seragam polisi yang kamu pakai, coba ingat dan renungkan sumpah jabatan yang kamu ucapkan, saat menjabat menjadi polisi, bukankah kamu berjanji melayani masyarakat dengan baik?” “Jangan mengguruiku!” “Aku tidak mengguruimu pak polisi. Hanya mengingatkanmu sebagai warga masyarakat Indonesia yang baik, barang kali bapak lupa,” ucap Alisa demgam tegas. Farel benar-benar kalah debat dengan Alisa. “Jangan kamu pikir, karena kamu seorang bidan bisa berkata seenaknya padaku” “Tidak, aku tidak berpikir seperti itu, itu pemikiran yang dangkal, aku hanya mengatakan sebagai masyarakat bukan sebagai bidan. Jika kamu menghargai orang lain, maka kamu juga akan dihargai.” Ibu mertuanya meninggalkan kamar mereka, setelah mendengar pertengkaran sengit, antara anak dan menantunya, karena Alisa berani melawan. Tidak seperti kakaknya yang hanya diam saat dimarahi. “Saya menghargai orang yang pantas saya hargai,” ucap Farel, masih belum mau mengalah. “Baiklah, kamu tidak perlu menghargaiku, mari kita hidup seperti yang kamu inginkan. Jangan urusi hidupku, dan aku juga tidak akan mengurusi hidup kamu, kamu sendiri yang menggali nerakamu sendiri di rumah ini.” Alisa keluar meninggalkan Farel, yang masih kaget dengan kata-kata pedas dari Alisa, ia tidak pernah menduga kalau wanita yang tampak seperti malaikat itu, tiba-tiba mengeluarkan kata-kata pedas padanya. Mampukah Alisa bertahan saat suami dan ibu mertuanya selalu memojokkannya? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD