Menjalin hubungan dengan seseorang yang satu kantor dengan kita memang tidak mudah. Apalagi, jika orang itu adalah sosok yang selalu menjadi pusat perhatian bagi para karyawan yang lain.
Untuk menghindari konflik serta gosip pedas dari rekan-rekan sekantornya, Naira memilih untuk merahasiakan hubungannya dengan Cakra untuk sementara waktu. Meski selalu pulang-pergi bersama, tapi biasanya Naira akan menunggu Cakra di halte. Ia tidak ingin ada pegawai lain yang melihat kebersamaannya dengan Cakra.
Dan satu-satunya orang yang tahu mengenai hubungan asmaranya dengan Cakra hanyalah Maya.
“Apa?! Kamu bercanda kan, Nay?” tanya Maya. Saat ini mereka sedang berada di kantin kantor.
“Ya kan kamu sendiri juga yang bantuin dia buat cari kesempatan dekat-dekat aku. Kamu loh yang selalu ngide tiba-tiba pergi ninggalin aku kalau dia muncul,” balas Naira.
Maya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Ya gimana pun juga kan dia masih bos kita. Aku cuma bisa nurut kalau dia udah minta sesuatu. Lagian, aku pikir kamu bakalan bisa cari jalan sendiri buat ngehindar.”
Naira menopang dagunya, sambil menatap Maya. Tatapannya tampak santai, seolah ia tidak menyesali keputusan besar yang telah ia buat.
“Ya udah sih, jalanin aja. Lagi pula dua hari ini aku jadi hemat ongkos. Irit budget makan malam juga, hehe …”
Maya menatap sahabatnya itu dengan tatapan tak percaya. “Nay-”
“Iya iya, aku tahu semua risikonya kok. Tapi tenang aja kali, May. Mungkin kamu khawatir karena kamu pernah punya trauma. Tapi, aku jamin itu nggak akan terjadi ke aku, kok. Ingat, aku nggak beneran cinta juga sama dia, beda sama kasus kamu yang dari awal emang udah pakai hati,” terang Naira. Ia tidak ingin, Maya terlalu memikirkan masalah pribadinya.
Baru saja Naira ingin menikmati bakso yang ia pesan, layar ponselnya tampak menyala. Awalnya, Naira berniat untuk mengabaikannya. Namun, Maya menegurnya, meminta Naira untuk mencoba mengeceknya terlebih dahulu.
Pak Cakra
[Bisa ke ruanganku sekarang? Aku udah pesen makanan buat kita.]
Pupil mata Naira melebar membaca pesan itu. Maya yang kebetulan sedang memperhatikannya pun sontak bertanya. “Kenapa?”
“Ngada-ngada banget nih cowok,” keluh Naira.
“Kenapa, sih? Pak Cakra?”
Naira mengangguk. Lalu, ia mengetikkan pesan balasan untuk pria yang berstatus sebagai kekasihnya itu.
Naira
[Aku udah terlanjur pesen makanan juga, udah dianter nih.]
[Lagi pula, bukannya kita udah sepakat buat berpura-pura nggak saling kenal kalau di kantor?]
Pak Cakra
[Terus ini gimana dong? Masa harus aku buang makanannya?]
[Kita bisa pua-pura bahas soal kerjaan. Nanti aku yang urus kalau ada yang mau macam-macam.]
Naira memutar bola matanya malas. Ia berusaha berpikir, mencari alasan untuk menolak ajakan makan siang di ruangan kekasihnya itu.
“Gimana? Dia nyuruh apa?”
“Dia minta aku makan di ruangannya. Udah pesen katanya,” adu Naira pada Maya.
“Ya tinggal bilang aja kalau kamu udah di kantin, kan? Kalau perlu, kirim aja tuh foto baksonya!” usul Maya.
“Udah … tapi dia ngancem mau buang makanannya kalau aku nggak datang. Kan sayang. Gimana, dong?”
Pak Cakra
[Send pict]
Perlahan, Naira berdiri dari kursinya, membuat Maya mengernyitkan kening tidak mengerti.
“Nay, kenap-”
“Baksoku kamu makan aja deh, May! Udah aku bayar juga, kok,” potong Naira cepat.
“Lah, terus kamu? Jangan bilang kamu-”
Ucapan Maya kembali terpotong saat Naira memperlihatkan layar ponselnya. Tampak Cakra yang baru saja mengirimkan foto makanan yang ada di atas sebuah meja di ruang kerja pria itu. Makanan yang cukup banyak, dan semua tampak begitu lezat.
“Wah …”
“Kalau gitu, aku cabut dulu ya, May! Bye!”
Maya mengejap. Seketika, alarm bahaya berbunyi di kepalanya. Bagaimana jika ada yang melihat Naira masuk ke ruangan Cakra? Bagaimana jika ada yang curiga? Bukankah mereka berencana untuk menyembunyikan hubungan itu sementara?
“Nay! Eh, Nay! Tunggu dulu! Nay!!!”
Namun, sayangnya percuma saja Maya mengkhawatirkan sahabatnya itu. Harusnya ia ingat, bagaimana keras kepalanya seorang Naira Bintang Syabila. Apalagi, jika sudah berhubungan dengan makanan, Naira akan buta terhadap apapun juga.
Dikarenakan saat ini masih memasuki jam makan siang, suasana kantor pun cukup sepi. Khususnya saat Naira menuju ke lantai paling atas gedung, tempat ruangan kekasihnya berada.
Tangan Naira berhenti di udara saat tangannya akan menggapai ganggang pintu yang ada di ujung lorong. Ia merasa ragu, untuk masuk begitu saja. Namun, saat menoleh ke sekeliling, ia tidak dapat melihat siapa pun yang bisa membantunya. Kemudian, dengan gerakan ragu, ia mengepalkan tangannya, menggunakannya untuk mengetuk pintu di depannya.
“Masuk!”
Naira menghela napas panjang. Mendengar dirinya sudah dipersilakan untuk masuk. Ia membuka pintu kayu itu perlahan. Kepalanya masuk lebih dulu untuk melihat keadaan. Takut-takut, ada orang selain Cakra di ruangan itu.
Mendengar suara pintu terbuka, Cakra pun menolehkan kepalanya ke arah pintu. Ia tersenyum saat melihat sosok yang ia tunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Lelaki itu segera berdiri, berjalan ke arah sofa empuk yang ada di ruangannya. Setelah duduk di salah satu sofa, ia pun menepuk bagian kosong di sampingnya.
Naira pun melangkah pelan masuk ke ruangan itu. Kemudian, ia berbalik untuk menutup pintu. Namun, saat ia kembali membalik tubuhnya, ia dikejutkan dengan Cakra yang tiba-tiba sudah berada tepat di hadapannya.
Cakra meraih pergelangan tangan Naira, kemudian menggandengnya untuk segera duduk di sofa.
“Aku gemes lihat kamu geraknya lambat banget,” ucap Cakra.
Naira mengembuskan napas panjang. “Kamu mana ngerti gimana takutnya aku kalau sampai ada yang lihat aku tiba-tiba masuk sini.”
Cakra terkekeh. Ia segera mendorong beberapa makanan ke hadapan kekasih hatinya.
“Aku masih tidak tahu apa yang kamu suka. Jadi, aku beli semua ini,” kata Cakra.
Naira menelan salivanya dengan susah payah. Jujur saja, ia merasa tersanjung melihat Cakra yang rela berkorban demi menyenangkannya.
“Kan aku udah bilang, aku bisa makan apa aja. Lain kali, beli seperlunya aja! Takut nggak habis.”
Cakra mengernyitkan keningnya. “Benarkah? Tapi kata teman satu divisi kamu, kamu makannya banyak.”
Naira membulatkan matanya. Pipinya memerah seketika. “Eng- enggak, kok. Aku-”
“Kalau pun iya, nggak papa. Kamu bisa makan apa aja yang lagi kamu pengen,” potong Cakra.
“Ish, serius enggak!” bantah Naira. Ia mendecak kesal. Apa selama ini Cakra sudah banyak mencari tahu tentang dirinya dari Maya? Namun, kenapa Maya tidak mengatakan apa-apa? Bahkan sahabat Naira yang satu itu tampak terkejut saat mengetahui jika Naira sudah resmi berpacaran dengan Cakra.
“Ya udah ya udah, makan gih! Nanti waktu istirahatnya keburu kelar.”
Naira meraih gelas plastik di depannya. Ia menyeruput isinya yang ternyata jasmine tea dingin. Ia memang sering pesan minuman ini. Namun, tidak menyangka jika Cakra juga akan membelikannya minuman yang sama. Menurutnya, jasmine tea punya aroma yang menenangkan. Lembut, dan membuat ia relaks ketika kepalanya menegang karena aktivitas kantor.
Saat Naira mulai menikmati makanan di depannya, tanpa sengaja Naira melihat sebuah panggilan yang masuk ke ponsel Cakra. Di layar ponsel pria itu tertulis kontak dengan nama “Mama”. Naira seketika menghentikan kegiatannya. Tubuhnya membeku, dan pikirannya melayang pada cerita Maya beberapa waktu yang lalu.
“Sebentar, aku angkat telepon dulu. Kamu lanjut aja makannya!” ucap Cakra.
Naira mengangguk. Namun, sebenarnya ia masih membeku. Pikirannya seketika menjadi kacau. Apa akan secepat ini hubungannya diketahui oleh ibu Cakra? Apa akan secepat ini Naira bisa menikmati kehidupan sebagai kekasih dari seorang Cakrawala Aresta?
“Tapi kalau ketahuan sekarang, Cakra pasti masih belum cinta ke aku. Belum tentu dia bakal kekeuh pertahanin aku kalau mamanya menentang. Kalau begitu ceritanya, buat apa dong mama Cakra nawarin uang aku segala? Wah … bisa kacau ini,” batin Naira.
Jika hubungannya dan Cakra terlalu cepat terbongkar sebelum Cakra benar-benar mencintainya, itu artinya keluarga Cakra tidak perlu susah payah sampai mengusir Naira, kan, untuk memisahkan mereka? Karena Cakra yang belum terlanjur jatuh cinta pada Naira pasti akan lebih mudah untuk mereka kendalikan untuk meninggalkan Naira.