Akhir pekan telah tiba. Ini waktunya bagi Naira untuk bernapas dengan lebih lega, setelah lima hari sebelumnya bekerja. Sebetulnya, Naira tidak terlalu terbebani dengan pekerjaannya. Semua baik-baik saja, dan ia cukup menyukai jobdesk-nya di kantor. Hanya saja, sejak berurusan dengan Cakra, Naira merasa seolah kebebasannya direnggut paksa oleh bosnya itu.
Naira tahu. Pertemuannya dengan Cakra yang hampir setiap hari bukanlah kebetulan semata. Ia tahu, Cakra menggunakan kekuasaannya untuk membuat semua menjadi tampak serba kebetulan.
“Nafsu banget kayaknya sama mie doang,” komentar Maya, melihat bagaimana cepatnya Naira menyantap mie di hadapannya. Saat ini, mereka sedang memakan mie instan yang dibuat di minimarket.
“Makan mie rebus pas weekend gini vibesnya beda, May. Beneran deh, bisa banget jadi obat stres!” balas Naira.
“Kalau stres bisa diobatin pakai mie doang mah, psikolog nggak laku, Nai …”
Naira cuek, ia kembali menikmati mienya dengan khidmat. “Ini kalau aku nambah satu lagi, bakalan usus buntu nggak, ya?”
Maya memutar bola matanya malas. Ia tahu, sahabatnya itu sedang stres karena pendekatan ugal-ugalan yang dilakukan oleh bos mereka.
“Sekarang sih enggak, Nai.”
“Jadi aman aja, kan, ya? Mie doang ini.” Naira sudah bangkit berdiri. Namun, ucapan Maya selanjutnya berhasil membuat ia kembali diam.
“Ya tapi nggak tahu kalau minggu depan. Palingan tipes aja sih kalau efek instannya.”
“Bangke lah, May!” kesal Naira. Ia kembali duduk di kursi logam yang disediakan di depan minimarket itu. Baru saja Naira akan membuka kaleng minuman soda miliknya, sebuah suara terdengar.
“Ternyata kamu bisa mengumpat juga, ya?”
Naira tersentak. Saking kagetnya, ia sampai refleks menahan napas selama beberapa detik berikutnya.
“Nay, napas!” bisik Maya.
Maya segera bangkit, membungkuk sebentar sambil menyapa seseorang yang baru saja datang itu.
“Malam, Pak Cakra.”
“Pak Cak- APA?!” Kaget, Naira pun ikut berdiri. Ia menatap Maya dengan tatapan tidak percaya. Melihat kode dari Maya yang menyuruhnya menoleh, perlahan, kepala Naira pun berputar ke arah yang sejak tadi menjadi pusat perhatian sahabatnya itu.
Mulutnya menganga mendapati sesosok pria yang nyaris membuat ia gila beberapa hari belakangan. Naira memang tidak bisa menghindar di hari kerja. Pria itu selalu punya cara untuk bisa bertemu dengan Naira. Namun, apakah di akhir pekan seperti ini, Naira juga masih harus berada dalam belenggu atasannya tersebut?
Bahu Naira merosot. Hasratnya untuk menikmati akhir pekannya mendadak buyar. Seolah ia tahu, jika apapun yang ia rencanakan untuk menghabiskan akhir pekannya ini akan musnah begitu melihat sosok Cakra yang kini berada di hadapannya.
Cakra terkekeh. Kemudian, dengan santainya dia duduk di salah satu kursi logam yang ada di meja yang sama dengan Naira dan Maya.
“Bapak ngapain duduk di situ?” sinis Naira, yang suasana hatinya sudah terlanjur kacau.
Maya mendecak, memberi kode pada Naira untuk menjaga tutur katanya. Namun, Naira tidak peduli dan tetap menatap Cakra dengan sinis.
“Saya pengen ketemu kamu,” jawab Cakra.
Naira menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah tidak percaya. Lalu, tangannya ditarik oleh Maya untuk segera duduk kembali.’
Naira berdehem, berusaha untuk meredakan kekesalannya. Ia menatap mangkuk mie yang sudah kosong di depannya.
“Jadi, Bapak ada kepentingan apa mau ketemu saya?” tanya Naira.
Bukannya langsung menjawab pertanyaan yang Naira ajukan, Cakra malah menolehkan kepalanya ke arah Maya. Dari tatapannya, sepertinya pria itu sedang memberikan pesan tersirat pada sahabat Naira tersebut.
“Oh! Sudah malam, ya? Nai, kayaknya aku harus pulang dulu, deh. Nggak papa kan aku tinggal? Lagian ada Pak Cakra juga.”
Naira melebarkan pupil matanya. Harusnya ia sudah curiga sejak Cakra menatap Maya beberapa detik yang lalu.
“Oh, iya ya udah malam? Kalau begitu, sepertinya saya juga harus pulang, Pak. Saya-”
“Nanti aja, Nay!” Maya menahan lengan Naira ketika gadis itu akan berdiri. Naira pun penyipitkan matanya. Yang benar saja, apa Maya sedang membantu Cakra menjerat Naira?
Naira menatap Maya tidak menyangka. Bagaimana bisa sahabatnya itu malah seolah berkomplot dengan Cakra untuk membuat Naira berada di posisi yang sulit?
“Temani saya minum kopi dulu!” sambung Cakra, sambil menatap Naira yang sedang melempar tatapan protes pada sahabatnya.
Naira sontak menoleh. “Pak, ini weekend loh. Untuk hari ini, posisinya Anda bukan atasan saya. Jadi Anda nggak bisa-”
“Saya minta kamu bukan atas dasar posisi di kantor. Bukankah kita masih ada beberapa hal pribadi yang harus dibicarakan?”
Pupil mata Naira menoleh. Belum sempat ia protes, Maya sudah lebih dulu meninggalkannya. Naira merasa dirinya sudah dijebak, dan sekarang tidak tahu lagi harus melakukan apa.
Pada akhirnya, Naira membuatkan kopi untuk Cakra dengan coffee maker yang ada di dalam minimarket. Ia meletakkan gelas kopi itu dengan asal, lalu duduk di kursi yang berseberangan dengan milik Cakra.
“Makasih. Kamu nggak sekalian bikin? Biar kita bisa lama ngobrolnya.”
“Enggak, Pak, makasih. Malahan bagus kalau ngobrolnya jadi nggak kelamaan. Silakan diminum kopinya!” balas Naira.
Cakra mencicipi kopi yang Naira buatkan untuknya. Setelah itu, ia meletakkan kembali gelasnya ke atas meja, dan fokus menatap Naira.
“Nay,” panggilnya.
Naira tidak bisa mengabaikan panggilan itu. Akhirnya, ia pun membalas tatapan Cakra.
“Soal tawaran saya waktu itu, apa kamu sudah mempertimbangkannya lagi?”
Naira menelan salivanya dengan kasar. Tiba-tiba ia teringat percakapannya dengan Cakra tempo hari saat ia sedang mencoba menyerahkan surat pengunduran dirinya. Seketika ia gugup.
Memiliki kekasih seperti Cakra, pastilah Naira akan mendapat banyak keuntungan. Baik secara materi, jabatan, dan lain sebagainya. Pada intinya, ia akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik dengan yang ia miliki saat ini. Meski Naira bukan perempuan matre, tapi, memangnya siapa yang akan menyia-nyiakan peluang seperti ini?
Namun, di waktu bersamaan Naira juga ingat seperti apa tabiat bosnya itu yang sebenarnya. Ia ingat ucapan teman-teman Cakra saat ia menemani pria itu pergi ke acara reuninya tempo hari.
Bagaimana jika kenyamanan hidup itu harus Naira tukar dengan dirinya sendiri? Apakah itu akan sebanding?
“Saya bisa kasih apapun yang kamu mau, asal kamu mau coba menjalin hubungan sama saya. Saya juga bisa jamin, kalau hidup kamu akan jadi jauh lebih indah selama kamu mau menjadi gadis yang baik untuk saya,” bujuk Cakra.
“Saya tahu kamu bukan perempuan murahan, saya juga nggak ada niat buat merusak kamu. Kamu bisa pegang janji saya ini,” imbuhnya.
Naira menggigit bibir bawahnya. Ia tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Semua tampak rumit, seperti ada beberapa gulung benang yang terurai menjadi berantakan.
“Kamu bisa ngomong kayak gitu karena kamu nggak tahu rasanya jadi aku, Nai. Coba sekali aja kamu kenal cinta, lalu pas kamu lagi cinta-cintanya, kamu dapat penghinaan dari keluarganya kayak yang aku rasain!”
Lalu, ucapan Maya kala itu kembali masuk dalam ingatan Naira. Naira ingat, saat itu adalah awal mula ia memiliki pemikiran untuk mendekati seorang Cakrawala Aresta. Dan sekarang, seolah semesta berpihak padanya, untuk mencoba merealisasikan niatannya waktu itu.
Maka, haruskah Naira mencobanya?