14 - Apartemen

1434 Words
“Hari ini kita mau dinner di mana?” tanya Naira dengan antusias. Saat ini, ia dan Cakra sedang berada dalam perjalanan pulang dari kantor. Cakra menoleh sebentar. Tangan kirinya ia gunakan untuk menyentuh kepala Naira, dan memutarnya agar wajah Naira kembali menghadap ke depan. “Kamu coba lihat dan hafalkan saja jalannya!” Naira mengernyit. Kenapa juga ia harus mengingat jalan menuju ke sebuah rumah makan? Lagi pula, kalau tidak sedang bersama Cakra, mustahil juga ia akan datang sendirian ke tempat yang akan mereka kunjungi. Karena tentu saja, list menu di tempat itu pasti tidak bersahabat dengan kondisi dompetnya. “Loh kok-” Naira menggantungkan kalimatnya. Ia merasa aneh, ketika Cakra membelokkan mobilnya ke suatu pelataran yang cukup luas, tetapi bukan merupakan kawasan restoran. Belum lagi, saat mobil mereka mulai memasuki basement yang sedikit gelap. Dari keadaannya saja, Naira yakin bangunan ini bukan merupakan tempat makan. “Aku mau tunjukin sesuatu ke kamu,” kata Cakra, sambil melepas sabuk pengamannya. Ia menoleh, dan tersenyum misterius ke arah Naira sebelum akhirnya ia lebih dulu keluar dari mobil. Merasa penasaran, Naira pun segera menyusul Cakra. Ia berlari kecil mengitari mobil untuk bisa menemukan kekasihnya itu. “Ini kita mau ke mana, sih? Kamu nggak akan aneh-aneh, kan?” Cakra mengunci mobilnya, lalu menggandeng tangan Naira tanpa banyak bicara. Ia mengajak Naira menaiki lift. Dan mata Naira membulat, saat Cakra menekan tombol lantai atas di lift itu. “Tunggu dulu! Bilang dulu kita mau ke mana!” desak Naira. Pasalnya, semakin ia pikirkan, sepertinya ini merupakan bangunan apartemen mewah. Apa yang akan Cakra lakukan dengan membawa Naira ke tempat seperti ini? Apalagi, di lantai yang paling atas, yang Naira tahu tidak bisa diakses oleh sembarangan orang. Begitu pintu lift terbuka, Cakra kembali menggandeng tangan Naira untuk menuju ke salah satu pintu yang ada di sana. Cakra memencet tombol untuk memasukkan password. Namun, saat pria itu menarik tangan Naira untuk masuk, Naira membeku di tempat dengan wajah kaku. Naira masih ingat, apa yang teman-teman Cakra katakan tentang pria itu. Di balik sisi yang tampak tenang itu, Cakra memiliki track record yang buruk dalam urusan percintaan. Dan Naira cukup khawatir jika akan tiba hari di mana ia dapat melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana sisi gelap dari seorang Cakrawala Aresta itu. “Kenapa?” tanya Cakra, saat merasakan tarikan di tangannya terasa berat karena Naira yang enggan ikut dengannya. “M- mau apa?” tanya Naira dengan nada was-was. Meski ia matrealistis dan memiliki niat yang tidak baik untuk mendekati Cakra, tapi dia tidak sebodoh itu untuk menjual dirinya hanya demi uang. Sejak awal, Naira tidak pernah berharap jika hubungannya dengan Cakra akan berakhir dengan pernikahan. Sejak awal, Naira tahu cepat atau lambat mereka akan berakhir. Jadi, tidak mungkin ia menyerahkan tubuhnya pada pria itu hanya demi uang. “Aku mau tunjukin sesuatu ke kamu. Sekalian kita makan di dalam nanti,” jawab Cakra. Pria itu kembali menarik tangan Naira, tetapi Naira masih enggan untuk beranjak. “Nay-” “Nggak bisa emang kalau kita makan di resto kayak biasa aja?” Gadis itu tampak tidak nyaman, dan akhirnya Cakra sadar akan hal itu. “Aku tinggal sendiri di sini, nggak ada orang tua atau keluargaku yang lain, kalau itu yang bikin kamu resah dari tadi.” Naira menggeleng. Justru karena itulah ia semakin tidak mau masuk ke dalam sana. Ia tidak ingin hanya berduaan di ruang pribadi pria itu. “Kamu takut aku bakal apa-apain kamu?” tanya Cakra. Pria itu tersenyum geli membayangkan apa yang ada di kepala Naira saat ini. “Ayolah, kita pacaran juga baru beberapa hari. Aku juga tahu, kamu masih belum sepenuhnya yakin sama hubungan ini. Jadi, mana mungkin aku punya pikiran ke arah sana?” lanjut Cakra. Naira mengernyitkan keningnya. Merasa ada yang mengganjal dengan ucapan Cakra. “Kenapa lagi?” “Jadi, kalau kita udah jalan lama, terus aku udah kelihatan yakin sama hubungan yang kita jalani ini, kamu bakal …” Naira menggantungkan kalimatnya, merasa tidak sanggup melanjutkannya. Cakra terkekeh. Ia memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah Naira sepenuhnya. Ia menatap teduh gadis di hadapannya. Genggamannya pada tangan Naira pun semakin mengerat. “Aku nggak akan lakuin apapun kalau kamu nggak mau. Aku memang bukan pria baik-baik, tapi aku juga nggak seberengsek itu buat merusak anak orang, kalau bukan karena dia sendiri yang menyerahkan dirinya padaku,” jelas Cakra. Naira merasa sedikit tenang mendengar ucapan Cakra. Dari raut wajahnya, tampaknya dia serius dengan ucapannya. Namun, pikirannya justru berkeliaran membayangkan banyak hal lain. “J- jadi kamu pernah-” “Sudahlah. Ayo masuk dulu! Aku sudah sangat lapar,” kata Cakra. Ia menarik tangan Naira dengan lebih kuat, menggiring gadis itu untuk duduk di salah satu kursi makan. Naira mengerutkan keningnya. Di atas meja, masih tampak kosong. Ia juga tidak melihat kantong plastik makanan di tempat-tempat yang sudah ia lewati tadi. “Kamu lagi pengen makan sesuatu? Kalau enggak, aku mau bikin steak aja yang simpel,” tawar Cakra. “Hah? Kamu mau masak?” tanya Naira tidak percaya. Memang, Cakra bisa memasak? “Kalau cuma steak, bisa. Karena bumbunya simpel dan cara masaknya juga gampang. Tapi kalau yang harus pakai bumbu-bumbu banyak itu, aku belum bisa. Cuma kalau kamu memang suka makanan seperti itu, mungkin kapan-kapan kita bisa belajar bareng.” Cakra mengatakan hal itu sambil mengeluarkan daging dari dalam kulkas. Dan sepertinya, Cakra memang sudah merencanakan ini sejak pagi. Karena daging itu sudah tidak berada dalam freezer, dan mungkin sudah dikeluarkan sejak sebelum Cakra berangkat ke kantor. Mendengar ucapan manis Cakra, yang seolah ingin berusaha menyenangkan Naira, pipi gadis itu memerah seketika. Untungnya, saat itu Cakra sedang sibuk dengan kegiatannya, sehingga tidak sempat melihat rona merah memalukan di wajah Naira. “Kamu bisa masak?” tanya Cakra. Pria itu menoleh. Naira pun langsung membuang muka agar Cakra tidak menyadari jika saat ini wajahnya sedang memerah. “S- sedikit. Tapi cuma untuk makanan rumahan biasa. Itu pun sudah jarang aku lakukan karena malas masak di dapur kos-kosan, sering rebutan,” kata Naira. “Tapi, kamu suka masak?” “Dibanding makanan hasil beli sih, sebenarnya aku lebih suka masak sendiri,” jawab Naira. Cakra mengangguk mengerti. Kemudian, pria itu kembali menyibukkan diri dengan bahan-bahan masakan yang ada di depannya. Sementara itu, Naira sibuk memperhatikan sekeliling ruangan. Ia baru sadar, tempat ini tidak seperti apartemen pada umumnya. Ukurannya jauh lebih besar. Fasilitas dan perabotnya juga tidak sebanding dengan apa yang biasanya ada di apartemen pada umumnya. “Kalau kamu mau, kamu bisa berkeliling biar nggak bosan,” kata Cakra, merebut perhatian Naira. Naira mengejap. “Enggak usah. Aku nungguin kamu di sini aja. Siapa tahu, kamu bakalan butuh bantuan.” “Nggak akan, ini cuma masakan sederhana yang biasa aku buat aja. Jadi, aku bisa menyelesaikannya sendiri.” Naira tetap tidak mau beranjak dari duduknya. Merasa tidak sopan jika ia berkeliling tempat tinggal seseorang, apalagi orang itu adalah seorang pria dewasa seperti Cakra. Setelah menumpangkan irisan daging pada pan, Cakra mencuci tangannya. Ia membawa beberapa sayuran segar ke hadapan Naira lalu duduk di hadapan gadis itu. “Biar aku ban-” “Nggak usah. Aku sendiri aja. Kamu tinggal duduk manis di situ. Aku pengen kamu cicipi hasil makananku,” potong Cakra. Naira menelan salivanya dengan kasar. Merasa gugup setelah berhadapan dengan Cakra. Ia akhirnya berdiri, dan berusaha untuk mengalihkan perhatiannya ke tempat lain. “Ada apa? Mau keliling? Di sebelah sana ada ruang tamu, terus kamarnya yang ada di-” “Gelasnya di mana? Aku pengen minum,” ucap Naira. Cakra tersenyum, menunjuk salah satu sisi dapur di mana peralatan makan dan minumnya tersimpan. Ternyata, itu tidak jauh dari tempat mereka. Dan harusnya Naira bisa melihat beberapa gelas di sana tanpa harus bertanya pada Cakra. Intinya, kelihatan sekali jika Naira hanya sedang berusaha untuk mengalihkan perhatiannya. “O- oke. Kamu mau juga? Biar sekalian aku ambilin,” tawar Naira. “Boleh, deh,” jawab Cakra. Setelah itu, Naira pun mengambil dua gelas air minum, dan menyodorkan salah satunya pada Cakra. Kemudian, tidak ada lagi percakapan di antara mereka, hingga akhirnya Cakra selesai dengan urusan memasaknya. Ia menyajikan dua porsi steak beserta salat sayuran di atas meja. Salah satunya ia sodorkan pada Naira, dan memberi kode pada gadis itu untuk segera mencicipinya. “Aku harap kamu bakalan suka. Karena bisa dibilang, inilah masakan andalanku untuk saat ini,” ucap Cakra. “Tahu kamu bisa bikin steak aja aku udah syok, sih. Jadi aku nggak berani berekspektasi tinggi juga. Kamu nggak perlu khawatir aku bakalan kecewa. Lagian, steak ini kelihatan cukup baik, kok,” balas Naira. Cakra tersenyum, dan terus memperhatikan Naira hingga sepotong daging berhasil masuk ke mulut gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD